SURAU.CO – Untuk menyatakan KUHAP 2026 sebagai jalan “Police State”, maka kita harus mengetahui terlebih dahulu defenisi “Police State”. Menurut kamus Oxford, negara polisi adalah “a totalitarian state controlled by a political police force that secretly supervises the citizens’ activities”.
Dari defenisi ini kata kuncinya adalah “political police force” yaitu “Kekuatan/kewenangan Polisi yang digunakan untuk Politis”. Maksudnya adalah, ‘kepolisian yang terkooptasi ke dalam kegiatan politik dan digunakan untuk kepentingan politik penguasa’.
Dan menurut Wikipedia, “Police State is country where activities of its people are controlled by the goverment with the help of a strong police force.” Artinya, “negara di mana aktivitas rakyatnya dikendalikan oleh pemerintah dengan bantuan kepolisian yang kuat”. Dari defenisi ini kata kuncinya adalah “controlled by the goverment with the help of a strong police force.” Rezim Pemerintah melakukan kontrol terhadap rakyat menggunakan kekuatan polisi.
Polri: Kewenangan Penegakan Hukum
Sedangkan defenisi KUHAP (Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana) adalah buku pedoman yang mengatur “bagaimana” proses hukum pidana dijalankan di Indonesia, mulai dari penyelidikan hingga pelaksanaan putusan pengadilan. Ini mencakup semua prosedur yang harus dijalani oleh aparat hukum dan hak-hak yang dimiliki oleh setiap orang yang terlibat, baik sebagai saksi, tersangka, maupun terdakwa.
Berdasarkan penjelasan diatas, KUHAP tidak secara langsung dapat disebut sebagai jalan utama menjadikan “police state” karena yang memberikan kewenangan kepada penegak hukum untuk melakukan tindakan tidak hanya pada KUHAP melainkan hampir seluruh Peraturan Perundang-Undangan memberikan “kewenangan luas” kepada penegak hukum. Olehkarena itu tergantung kepada rezim apakah akan menggunakan Polisi sebagai alat untuk represi atau tidak.
POLRI memiliki kedudukan ganda di ranah eksekutif dan yudikatif. Kedudukan ganda inilah yang menyebabkan POLRI sebagai “super body”. diranah eksekutif memiliki peran untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta merupakan alat negara yang berada di bawah Presiden. Sedangkan diranah yudikatif sebagai penegak hukum. Sehingga POLRI alat negara yang memiliki senjata api seperti militer dan juga memiliki kewenangan penegakan hukum.
Instrumen Hukum
Saya berpendapat sebagaiknya kewenangan ranah eksekutif dan yudikatif tersebut dipisah dengan membentuk lembaga independen yang berfungsi sebagai penegakan hukum, sedangkan Polri hanya memiliki peran untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat. Pemisahan ini agar Polri tidak terjerumus dalam politik praktis atau menjadi alat kekuasaan dengan menggunakan instrumen hukum.
Police state adalah bentuk pemerintahan di mana kekuatan aparat keamanan menjadi instrumen utama kontrol sosial dan politik. Hukum dijalankan secara selektif, kebebasan berpendapat dibatasi, dan oposisi dikriminalisasi. Polri rawan digunakan oleh kekuatan politik sebagai rezim penguasa. Beberapa gejala ke arah ini terlihat pada penggunaan Pasal-pasal karet dalam UU ITE masih digunakan untuk menjerat kritik terhadap pejabat atau pemerintah.
Kekhawatiran masyarakat pada KUHAP dapat menjadi jalan “police state” dikarenakan terdapat norma “keadaan mendesak”. norma “keadaan mendesak” adalah keadaan di mana penyidik dapat melakukan tindakan upaya paksa (seperti penggeledahan atau penyitaan benda bergerak) tanpa izin ketua pengadilan negeri terlebih dahulu.
Sanksi Hukum yang Tegas
Untuk menghindari penyalahgunanaan wewenang “keadaan mendesak”. Maka diperlukan adanya “Mekanisme Komplain secara Yudisial” yaitu mekanisme yang efektif. Untuk mengontrol dan menindaklanjuti penyalahgunaan wewenang ini. Sehingga “prosedur pasca tindakan” dapat diuji dan dinilai. Apabila terdapat pelanggaran yang dilakukan penyidik, maka diberikan sanksi hukum yang tegas.
“Mekanisme Komplain secara Yudisial”. Upaya untuk meminta akuntabilitas dari pelaksanaan upaya paksa. pengawasan yudisial mencegah kesewenangan pemerintah. Dalam hal ini dapat diwakilkan aparat penegak hukum. Pengadilan bertugas memeriksa pelaksanaan, termasuk dalam peradilan pidana.
Pengadilan harus menilai sah atau tidaknya suatu penangkapan dan menguji kebutuhan penahanan di depan sidang imparsial yang terbuka untuk umum. “Mekanisme Komplain secara Yudisial” ini disebut sebagai Konsep hakim periksa / hakim komisaris. Demikian. (Chandra Purna Irawan-Ketua LBH Umat/The Delictum)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
