SURAU.CO. Yogyakarta selalu menyimpan kejutan di setiap sudutnya, dan salah satu “permata” tersembunyi itu dapat ditemukan saat menyusuri lorong-lorong tua kawasan Tamansari Yogyakarta: Masjid Soko Tunggal Tamansari yang berdiri teduh di bawah naungan tembok Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat.
Sekilas bangunannya tampak sederhana, namun justru kesederhanaan itulah yang membuat banyak wisatawan menghentikan langkah. Masjid ini memiliki daya pikat unik karena seluruh struktur bangunannya bertumpu pada satu tiang penyangga utama—arsitektur yang sangat langka dan hampir tidak ditemukan di masjid lain di Nusantara.
Sejarah Lahirnya Masjid Soko Tunggal
Masjid ini memiliki latar belakang sejarah yang cukup kuat, bermula dari inisiatif para pemuka agama pada akhir tahun 1960-an. Pada masa itu, kawasan Tamansari dikenal sebagai wilayah “merah” karena banyak simpatisan PKI yang bermukim di sana sebelum meletusnya Peristiwa 1965. Situasi tersebut memicu keresahan di kalangan warga maupun tokoh agama, sehingga kehadiran masjid ini menjadi bagian penting dari upaya membangun kembali kehidupan spiritual dan sosial masyarakat setempat.
GBPH Prabuningrat, kakak Sri Sultan Hamengkubuwono IX, mendengar kabar tersebut. Beliau menyambut gagasan itu dengan tangan terbuka. Dukungan penuh dari Keraton mengubah inisiatif kecil ini menjadi sebuah proyek besar yang mulia. Pembangunan pun dimulai di atas tanah wakaf milik Keraton. Presiden Soeharto turut mendukung proyek ini dengan bantuan dana sebesar Rp 7.701.000. Jumlah tersebut sangat bernilai pada masanya.
Masjid Soko Tunggal Tamansari akhirnya berdiri kokoh pada Jumat Pon, 21 Rajab 1392 H. Penanggalan ini bertepatan dengan sengkalan bunyi “Hanembah Trus Gunaning Janma” dan surya sengkala “Nayana Resi Anggatra Gusti” (1 September 1972 M). Setahun berselang, Sri Sultan Hamengkubuwono IX meresmikan masjid ini pada Rabu Pon, 28 Februari 1973. Prasasti di dinding depan masjid mengabadikan momen bersejarah tersebut.
Filosofi Satu Tiang dalam Masjid Soko Tunggal
Pengunjung akan menemukan pemandangan tak lazim begitu melangkah masuk ke ruang utama. Sebuah tiang besar atau soko guru berdiri tegak sendirian di tengah ruangan. Tradisi arsitektur Jawa biasanya menggunakan empat soko guru. Namun, masjid ini mendobrak pakem tersebut dengan hanya menggunakan satu tiang. Hal inilah yang melatari penamaan Masjid Soko Tunggal. Tiang tunggal ini menopang seluruh struktur atap beserta simbol-simbol rumit di atasnya.
Pihak Keraton memilih kayu jati khusus dari hutan Cepu untuk tiang ini. Usia kayu tersebut konon telah mencapai 150 tahun saat penebangan. Tiang sakral ini berdiri di atas umpak batu kuno. Batu tersebut berasal dari era Sultan Agung Hanyakrakusuma di Pleret.
Arsitek merancang tata letak tiang dengan makna simbolis. Empat soko bentung mengelilingi satu soko guru di tengah. Jumlah total lima tiang ini melambangkan Pancasila. Soko guru tunggal merepresentasikan sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sementara itu, empat penyangga lainnya mewakili nilai kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial. Struktur atap memancarkan usuk-usuk ke segala arah layaknya jari-jari payung. Bagian ini bernama Peniung. Hal ini menyimbolkan negara yang memayungi rakyatnya dengan kewibawaan dan keadilan.
Makna di Setiap Ukiran Kayu
Raden Ngabehi Mintobudoyo bertindak sebagai arsitek utama masjid ini. Beliau merupakan arsitek Keraton yang sangat mumpuni. Mintobudoyo tidak sekadar mendirikan bangunan fisik. Ia menanamkan rasa dan filosofi hidup pada setiap elemen masjid. Hampir semua bagian arsitektur mengandung ajaran luhur.
Dinding dan balok masjid juga penuh dengan ukiran indah. Anda bisa melihat ukiran Praba yang bermakna wibawa bumi. Ada pula Saton yang berarti menyatu, serta Sorot yang melambangkan cahaya matahari. Ukiran Tlancap mengajarkan ketabahan, sedangkan Ceplok-ceplok bermakna pemberantas angkara murka. Ukiran Mirong mengingatkan bahwa setiap manusia pasti kembali kepada Tuhan. Simbol tetesan embun di antara daun menggambarkan anugerah bagi orang yang bersujud.
Keistimewaan lain terletak pada teknik konstruksinya. Tukang kayu membangun masjid ini tanpa menggunakan satu pun paku besi. Mereka menerapkan teknik sambungan kayu tradisional Jawa yang rumit.
Denyut Kehidupan di Era Modern
Masjid Soko Tunggal kini telah bertransformasi menjadi destinasi wisata religi unggulan. Lokasinya sangat strategis di pintu masuk Kampung Wisata Tamansari. Posisinya juga dekat dengan area pemandian istana air. Pemandu wisata sering membawa turis asing masuk ke dalam masjid. Para turis biasanya penasaran melihat bagaimana satu tiang kayu bisa menopang atap yang berat.
Namun, masjid ini tetap menjalankan fungsi utamanya sebagai tempat ibadah. Ia bukan sekadar monumen mati. Masjid ini tetap hidup sebagai jantung spiritual kampung. Warga rutin menggelar salat lima waktu, pengajian, dan kegiatan TPA di sini. Serambi masjid yang luas sering menjadi lokasi diskusi warga dan kegiatan budaya.
Masjid Soko Tunggal Tamansari adalah oase sunyi di tengah keramaian wisata. Ia menjadi bukti bahwa bangunan kecil bisa berdiri kokoh berkat topangan nilai, doa, dan filosofi. Sempatkanlah berhenti sejenak jika Anda melewati gerbang Tamansari. Masuklah ke dalam dan rasakan dialog batin dengan sejarah yang ada di sana. (kareemustofa)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
