Khazanah
Beranda » Berita » Minhājul ‘Ārifīn: Jalan Para Pencari Kedekatan dengan Allah

Minhājul ‘Ārifīn: Jalan Para Pencari Kedekatan dengan Allah

seorang muslim sedang merenungi ajaran tasawuf dalam ruang ibadah tradisional.
Gambaran seorang penempuh jalan spiritual yang sedang mendalami ajaran Minhājul ‘Ārifīn.

Surau.co. Kitab Minhājul ‘Ārifīn menjadi salah satu karya penting dalam khazanah etika dan spiritualitas Islam. Para ulama pesantren sering menempatkan kitab ini sebagai pendamping karya-karya Imam Abū Ḥāmid al-Ghazālī, terutama yang membahas penyucian jiwa dan pembinaan akhlak. Kitab ini mengajak pembaca menelusuri proses pengenalan diri, pengendalian hawa nafsu, hingga kesadaran spiritual yang terus bertingkat.

Sejak awal, penulis kitab menegaskan bahwa Minhājul ‘Ārifīn tidak hanya menyodorkan konsep tasawuf, tetapi juga mengarahkan pembaca memasuki jalan pengenalan hakikat diri. Kitab ini mengurai konsep tazkiyatun nafs, tajrīd, muraqabah, dan maqāmāt, lalu menyatukannya dalam tujuan besar: membentuk seorang ‘ārif billāh yang mengenal Allah dengan kedalaman spiritual yang bertahap.

Imam Ghazali menyusun kitab dengan struktur yang rapi, dimulai dari fondasi penyucian jiwa, penjagaan amalan, hingga pendalaman hubungan rohani. Pada bagian awal disebutkan:

﴿وَأَصْلُ هَذَا الطَّرِيقِ تَخْلِيَةُ الْقَلْبِ مِنْ أَدْرَانِ النَّفْسِ، ثُمَّ تَحْلِيَتُهُ بِالْأَخْلَاقِ الرَّبَّانِيَّةِ﴾
“Dasar jalan spiritual ini berawal dari membersihkan hati dari kotoran jiwa, kemudian menghiasinya dengan akhlak ketuhanan.”

Melalui kutipan ini, penulis mengarahkan pembaca agar memahami bahwa pembersihan hati selalu menjadi syarat utama untuk memasuki maqam-maqam berikutnya. Ia menegaskan bahwa tidak ada kedalaman rohani yang bisa tercapai tanpa disiplin hati, ibadah, dan pengendalian diri.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Konsep Mengenal Diri (Ma‘rifat an-Nafs)

Kitab ini memulai pembahasan dengan menekankan bahwa mengenal diri merupakan gerbang pertama menuju ma‘rifat. Imam Ghazali menuntun pembaca mengenali tabiat jiwa, kecenderungan manusia terhadap kelalaian, serta potensi hawa nafsu yang dapat menjerumuskan bila tidak diarahkan. Pembaca juga diajak memahami cara mengendalikan gerak hati melalui muhasabah dan riyaḍah.

Al-Qur’an menguatkan urgensi penyucian jiwa sebagaimana firman Allah:

﴿قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا۝ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا﴾
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu. Dan sungguh rugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams: 9–10)

Melalui ayat ini, pembaca diarahkan semakin menyadari bahwa perjalanan batin harus selalu disertai pengenalan diri yang jujur dan disiplin hati yang berkesinambungan.

Tahapan Penyucian Jiwa (Tazkiyatun Nafs)

Dalam Minhājul ‘Ārifīn, penyucian jiwa dijelaskan sebagai proses bertahap yang menuntut kesungguhan. Penulis menjelaskan bahwa kedekatan dengan Allah hanya dapat tercapai ketika seseorang benar-benar melawan hawa nafsunya. Dalam salah satu bagian kitab disebutkan:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

﴿وَمَنْ لَمْ يُجَاهِدْ نَفْسَهُ لَمْ يَتَذَوَّقْ طَعْمَ الْقُرْبِ مِنَ اللهِ﴾
“Barang siapa tidak bersungguh-sungguh melawan hawa nafsunya, ia tidak akan merasakan manisnya kedekatan kepada Allah.”

Tahapan tazkiyah dalam kitab ini meliputi mujāhadah, riyāḍah, dan muraqabah. Seluruh proses ini menunjukkan bahwa perjalanan spiritual tidak akan pernah menjadi jalan yang instan. Sebaliknya, seseorang harus melatih ibadah, mengendalikan emosi, serta menumbuhkan keikhlasan melalui latihan yang berulang.

Penjelasan ini sejalan dengan sabda Nabi Muhammad SAW:

«اَلْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي طَاعَةِ اللهِ»
“Seorang mujahid adalah orang yang bersungguh-sungguh melawan dirinya dalam menaati Allah.”(HR. Ahmad)

Melalui hadits ini, pembaca dapat memahami bahwa mujahadah merupakan inti penyucian jiwa, sesuai dengan ruh ajaran dalam kitab.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Maqāmāt Menuju Ma‘rifatullah

Selanjutnya, Minhājul ‘Ārifīn mengurai maqāmāt dengan sistematis. Penulis menjelaskan jenjang-jenjang seperti taubat, sabar, syukur, tawakkal, hingga ridha. Setiap maqam tidak hanya hadir sebagai teori, tetapi sebagai karakter spiritual yang harus pembaca bangun melalui latihan dan ketekunan.

Dalam salah satu bagian disebutkan:

﴿لَا يَرْتَقِي الْعَبْدُ إِلَى مَقَامِ الرِّضَا حَتَّى يَثْبُتَ عَلَى بَلَايَا الدُّنْيَا وَيَرَى فِيهَا تَدْبِيرَ اللهِ﴾
“Seorang hamba tidak akan naik ke maqam ridha hingga mampu teguh dalam ujian dunia dan melihat seluruhnya sebagai ketentuan Allah.”

Melalui penjelasan ini, imam Ghazali memandu pembaca agar memahami bahwa maqāmāt hanya bisa dicapai dengan kestabilan hati dan keteguhan menghadapi ujian. Ia juga mengingatkan bahwa taubat harus menjadi fondasi kuat sebelum seseorang melangkah menuju maqam lain.

Al-Qur’an menyebutkan ciri hamba yang mencapai ketenangan hati:

﴿اَلَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللهِ ۗ أَلَا بِذِكْرِ اللهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ﴾
“Orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenang dengan mengingat Allah. Ketahuilah bahwa hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”(QS. Ar-Ra‘d: 28)

Ayat ini mempertegas bahwa maqāmāt bertujuan membawa seseorang menuju ketenangan batin yang mantap melalui dzikrullah.

Peran Muraqabah dan Muhasabah

Kitab ini memberikan porsi besar pada konsep muraqabah dan muhasabah, dua pilar utama dalam tasawuf amali. Dalam salah satu bagian tertulis:

﴿مَنْ لَمْ يُرَاقِبِ اللهَ فِي سِرِّهِ لَمْ يُصْلِحِ اللهُ جَهْرَهُ﴾
“Barang siapa tidak menjaga kesadarannya kepada Allah dalam rahasianya, Allah tidak akan memperbaiki keadaan lahiriahnya.”

Penulis mengarahkan pembaca agar senantiasa merasa dalam pengawasan Allah. Sementara itu, muhasabah mengajak pembaca menilai amal, memperbaiki niat, dan membersihkan hati dari sifat tercela.

Umar bin al-Khaththab RA juga memiliki ungkapan masyhur:

﴿حَاسِبُوا أَنْفُسَكُمْ قَبْلَ أَنْ تُحَاسَبُوا﴾
“Hisablah diri kalian sebelum kalian dihisab.”
(Diriwayatkan dalam Az-Zuhd karya Imam Ahmad)

Melalui kutipan ini, pembaca dapat melihat bagaimana tradisi muhasabah menempati posisi penting dalam disiplin spiritual ulama terdahulu dan menjadi inti dalam kitab ini.

Minhājul ‘Ārifīn dan Relevansinya bagi Modern

Hingga kini, Minhājul ‘Ārifīn tetap relevan karena menawarkan prinsip yang dibutuhkan manusia modern: pengendalian diri, kejernihan hati, serta ketenangan batin. Di tengah dinamika kehidupan dan derasnya distraksi, kitab ini mendorong pembaca menumbuhkan sifat sabar, tawakkal, dan keteguhan melalui riyaḍah yang konsisten.

Kitab ini juga menjelaskan cara menyeimbangkan ikhtiar lahir dan ketenangan batin. Proses spiritual tidak meniadakan kehidupan dunia; justru proses tersebut membantu pembaca menjalani kehidupan dengan lebih jernih. Dalam salah satu bagian disebutkan:

﴿وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَ عَمَلِ الدُّنْيَا وَسُلُوكِ الْآخِرَةِ فَقَدْ حَازَ كَمَالَ الطَّرِيقِ﴾
“Barang siapa mampu menggabungkan amal dunia dan perjalanan akhirat, sungguh ia telah memperoleh kesempurnaan jalan.”

Melalui pesan ini, penulis menegaskan bahwa kesempurnaan spiritual hadir ketika seseorang mampu menyeimbangkan peran dunia dan akhirat secara harmonis.

Penutup

Pada akhirnya, Minhājul ‘Ārifīn hadir sebagai lentera bagi siapa pun yang ingin menyelami kedalaman akhlak dan spiritualitas Islam. Kitab ini tidak hanya menjadi panduan, tetapi juga jalan panjang menuju keteduhan hati. Mengajak pembaca berjalan perlahan, menapaki tangga menuju ma‘rifat dengan ketulusan dan kesungguhan.

Perjalanan menuju Allah selalu menjadi perjalanan kembali kepada diri—kembali kepada hati yang jernih. Setiap halaman kitab ini mengajak manusia menyingkap tabir yang menutupi cahaya ketenangan, hingga akhirnya menemukan keindahan hidup sebagai hamba. Jalan para ‘ārifīn adalah jalan cahaya, dan setiap pencari yang berjalan dengan kesungguhan akan menemukan pelita itu bersinar dalam dirinya.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement