SURAU.CO – Dalam kehidupan modern, kata sukses telah menjadi simbol yang diagungkan. Namun, definisi sukses seringkali menyempit hanya pada keberhasilan materi, jabatan, atau pengakuan sosial.
Padahal, kesuksesan sejati tidak berhenti pada capaian duniawi, melainkan mencakup keselamatan dan kemuliaan di akhirat.
Manusia yang visinya hanya dunia, ibarat seorang pemanah yang hanya ingin menjadi atlet panahan bukan juara turnamen.
Sedangkan manusia yang visinya menembus akhirat, bagaikan pemanah yang menatap podium tertinggi, menyiapkan dirinya bukan hanya untuk memanah, tapi untuk menang dengan cara yang benar dan terhormat.
𝗗𝗲𝗳𝗶𝗻𝗶𝘀𝗶 𝗦𝘂𝗸𝘀𝗲𝘀: 𝗣𝗲𝗿𝘀𝗽𝗲𝗸𝘁𝗶𝗳 𝗗𝘂𝗻𝗶𝗮𝘄𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗜𝗹𝗮𝗵𝗶𝗮𝗵
- Sukses Duniawi
Secara umum, sukses duniawi diartikan sebagai pencapaian terhadap target-target lahiriah — harta, jabatan, reputasi, atau prestasi. Sukses ini berfokus pada hasil yang tampak, seringkali diukur oleh manusia lain.
Namun, sukses seperti ini bersifat terbatas oleh waktu dan ruang. Ia lenyap bersama usia, jabatan, dan kehidupan itu sendiri.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:
> “Barangsiapa yang menghendaki kehidupan dunia dan perhiasannya, niscaya Kami berikan balasan pekerjaan mereka di dunia dengan sempurna di sana, dan mereka tidak dirugikan sedikit pun.”
(QS. Hūd [11]: 15)
- Sukses Ilahiah (Hakiki)
Sukses dalam pandangan Islam adalah keberhasilan hidup dalam ridha Allah yaitu beramal sesuai petunjuk-Nya hingga memperoleh keselamatan di akhirat.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:
> “Barang siapa yang diselamatkan dari neraka dan dimasukkan ke surga, sungguh ia telah beruntung.”
(QS. Āli ‘Imrān [3]: 185)
Maka sukses hakiki bukan sekadar memiliki dunia, tetapi selamat melampaui dunia.
𝗔𝗻𝗮𝗹𝗼𝗴𝗶: 𝗗𝘂𝗮 𝗣𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮𝗵 𝗱𝗮𝗻 𝗗𝘂𝗮 𝗩𝗶𝘀𝗶
Bayangkan dua atlet yang mengikuti perlombaan panahan:
𝗣𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮𝗵 𝗣𝗲𝗿𝘁𝗮𝗺𝗮, 𝗩𝗶𝘀𝗶: 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗦𝗲𝗼𝗿𝗮𝗻𝗴 𝗔𝘁𝗹𝗲𝘁
Tujuannya sederhana: ia ingin dikenal sebagai pemanah yang baik. Ia berlatih secukupnya, menjaga teknik agar tidak salah, dan berpartisipasi di turnamen sebagai bentuk pencapaian diri.
Ciri-ciri dan pola latihannya:
Fokus pada keterampilan dasar: postur, pegangan, dan kecepatan.
Tidak terlalu memikirkan strategi kompetisi.
Latihan dilakukan karena kewajiban, bukan dorongan kemenangan.
Emosinya mudah goyah saat gagal, sebab tidak punya target yang jelas.
Ia puas hanya dengan ikut bertanding.
Hasilnya: ia mahir, tapi jarang menang. Ia bermain baik, tapi tidak pernah sampai podium. Ia hanya “berpartisipasi dalam permainan.”
𝗣𝗲𝗺𝗮𝗻𝗮𝗵 𝗞𝗲𝗱𝘂𝗮 — 𝗩𝗶𝘀𝗶: 𝗠𝗲𝗻𝗷𝗮𝗱𝗶 𝗝𝘂𝗮𝗿𝗮
Ia memiliki pandangan melampaui sekadar “menjadi atlet.” Ia ingin berdiri di podium tertinggi. Maka seluruh prosesnya diatur secara sistematis.
Ciri-ciri dan pola latihannya:
Ia memiliki tujuan akhir yang jelas: juara.
Latihan dilakukan dengan disiplin, bukan hanya untuk teknik, tapi juga ketahanan mental dan fokus spiritual.
Ia mempelajari aturan pertandingan agar tidak didiskualifikasi.
Ia memperhatikan setiap detail kecil — arah angin, kondisi busur, bahkan denyut nadinya sebelum menarik tali.
Ia menahan diri dari hal-hal yang mengganggu performa (gaya hidup, makanan, tidur).
Saat gagal, ia melakukan evaluasi, bukan menyerah.
Hasilnya: ia berdiri di podium sebagai pemenang.
𝗞𝗼𝗿𝗲𝗹𝗮𝘀𝗶 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗮𝗻 𝗗𝘂𝗻𝗶𝗮
Kehidupan dunia serupa dengan arena perlombaan. Setiap manusia adalah pemanah yang menembak target kesuksesan.
Mereka yang visinya hanya dunia, ibarat pemanah pertama: ia mungkin terlihat sibuk dan terampil, tetapi tujuannya sempit. Ia berjuang untuk diakui manusia, bukan untuk meraih ridha Pencipta manusia.
Sedangkan mereka yang visinya akhirat, ibarat pemanah kedua: ia mengatur hidupnya dengan disiplin, memperhatikan aturan Ilahi, dan menahan diri dari larangan karena ia tahu podium sejati adalah Surga.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:
> “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) dunia…” > (QS. Al-Qashash [28]: 77)
Panahan adalah olahraga yang sangat simbolik dalam Islam. Rasulullah ﷺ bersabda:
> “Ajarilah anak-anakmu memanah, berenang, dan berkuda.” > (HR. Baihaqi)
Mengapa panahan disebut secara khusus? Karena ia menggambarkan fokus, kendali diri, dan arah tujuan semua yang juga berlaku dalam kehidupan spiritual.
𝗙𝗶𝗹𝗼𝘀𝗼𝗳𝗶 𝗱𝗮𝗻 𝗜𝗺𝗽𝗹𝗶𝗸𝗮𝘀𝗶 𝗧𝗲𝗸𝗻𝗶𝘀
- Orientasi Menentukan Strategi
Visi akhirat membentuk strategi hidup. Orang yang hidup untuk dunia, akan memilih cara tercepat walau melanggar aturan. Tapi yang hidup untuk akhirat, akan berjalan sabar, mengikuti syariat, karena tahu bahwa nilai kemenangan ditentukan oleh ketaatan, bukan sekadar kecepatan. -
Etika sebagai Mekanisme Keselamatan
Dalam panahan, melanggar aturan membuat atlet didiskualifikasi. Demikian pula, dalam hidup, dosa dan maksiat menyingkirkan manusia dari podium surga. Maka orang yang visinya akhirat akan berhati-hati dalam setiap langkahnya, sebagaimana atlet berhati-hati dalam setiap bidikan. -
Konsistensi dan Kesadaran Tujuan
Seorang juara tidak hanya fokus saat kompetisi, tetapi sepanjang waktu. Demikian pula seorang mukmin yang berorientasi akhirat: ia murāqabah (merasa diawasi Allah) di setiap keadaan, sehingga seluruh amalnya menjadi ibadah.
𝗔𝗻𝗮𝗹𝗼𝗴𝗶 𝗣𝗼𝗱𝗶𝘂𝗺: 𝗦𝘂𝗿𝗴𝗮 𝘀𝗲𝗯𝗮𝗴𝗮𝗶 𝗣𝘂𝗻𝗰𝗮𝗸 𝗞𝗲𝗯𝗲𝗿𝗵𝗮𝘀𝗶𝗹𝗮𝗻
Podium bagi sang juara bukan sekadar tempat berdiri tapi simbol pengakuan tertinggi. Begitu pula surga bagi orang beriman: bukan sekadar tempat tinggal, tapi puncak penghormatan dari Allah.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:
> “Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, bagi mereka surga Firdaus menjadi tempat tinggal yang kekal.” > (QS. Al-Kahfi [18]: 107)
Mereka yang hanya berorientasi dunia akan berhenti di tengah jalan, sementara mereka yang visinya akhirat akan terus berjuang, karena podium mereka bukan di bumi, melainkan di sisi Rabbul ‘Ālamīn
Rasulullah ﷺ Bersabda:
> “Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya.” > (HR. Bukhari & Muslim)
Dalam konteks ini, niat adalah arah busur kehidupan. Salah arah, maka panah amalmu takkan pernah mengenai sasaran.
𝗩𝗶𝘀𝗶 𝗠𝗲𝗹𝗮𝗺𝗽𝗮𝘂𝗶 𝗗𝘂𝗻𝗶𝗮: 𝗛𝗶𝗸𝗺𝗮𝗵 𝗣𝗮𝗿𝗮 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗙𝗶𝗹𝗼𝘀𝗼𝗳 𝗠𝘂𝘀𝗹𝗶𝗺
Dalam pandangan para filosof Muslim, visi hidup (ghayah) adalah pusat arah eksistensi manusia. Tanpa visi yang benar, semua gerak manusia menjadi acak dan kehilangan nilai.
- Imam Al-Ghazali (w. 1111 M)
Dalam Ihya’ Ulumuddin, Al-Ghazali menegaskan:
“Barang siapa menjadikan dunia sebagai tujuan, maka dunia akan memperbudaknya. Tetapi barang siapa menjadikan akhirat sebagai tujuan, maka dunia akan datang kepadanya dalam keadaan hina.”
Al-Ghazali melihat dunia bukan sebagai musuh, tapi sebagai alat ujian. Dunia diibaratkan busur dan anak panah yang mengantar manusia menuju sasaran akhir: ridha Allah. Siapa yang berhenti pada alatnya, takkan sampai pada tujuannya.
- Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah (w. 1350 M)
Dalam Madarij As-Salikin, beliau menulis:
“Hati yang berorientasi pada akhirat akan menjadikan dunia di tangannya, bukan di hatinya. Dan siapa yang menjadikan dunia di hatinya, maka dunia akan menghancurkannya.”
Secara filosofis, visi akhirat menciptakan hierarki nilai: dunia menjadi pelayan, bukan tuan. Maka orang yang visinya akhirat, justru lebih sukses di dunia — sebab fokusnya tertata, tindakannya terarah, dan hatinya tenang.
- Ali bin Abi Thalib r.a.
Kata beliau yang masyhur:
“Bekerjalah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seakan-akan engkau mati besok.”
Ungkapan ini bukan kontradiksi, tetapi harmoni visi. Dunia tidak ditolak, namun diposisikan sebagai ladang amal menuju hasil abadi.
Sebagaimana pemanah yang menghormati arena lomba, tapi tidak menjadikan arena itu sebagai tujuannya.
𝗜𝗺𝗽𝗹𝗶𝗸𝗮𝘀𝗶 𝗛𝗶𝘀𝘁𝗼𝗿𝗶𝘀: 𝗣𝗲𝗿𝗮𝗱𝗮𝗯𝗮𝗻 𝗗𝗶𝗯𝗮𝗻𝗴𝘂𝗻 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗩𝗶𝘀𝗶 𝗔𝗸𝗵𝗶𝗿𝗮𝘁
Sepanjang sejarah Islam, tokoh-tokoh besar yang meninggalkan jejak duniawi gemilang — justru memiliki visi akhirat yang kuat.
Umar bin Abdul Aziz, khalifah yang zuhud, tidak mengejar kekuasaan, tapi keadilan. Hasilnya: pemerintahan yang makmur dan disegani.
Ibnu Sina (Avicenna), sang filsuf dan dokter besar, menulis ilmu kedokteran dengan kesadaran beribadah kepada Allah melalui akal.
Salahuddin Al-Ayyubi, pejuang yang menolak kemewahan demi membebaskan Al-Quds. Tujuannya bukan ketenaran, tapi keridhaan Rabbnya.
Semua tokoh ini tidak hanya sukses di dunia, tetapi mengabadikan namanya hingga akhir zaman, karena mereka menembak sasaran yang lebih jauh dari dunia.
𝙈𝙪𝙨𝙩𝙖𝙝𝙞𝙡 𝙎𝙪𝙠𝙨𝙚𝙨 𝘿𝙪𝙣𝙞𝙖 𝙏𝙖𝙣𝙥𝙖 𝙑𝙞𝙨𝙞 𝘼𝙠𝙝𝙞𝙧𝙖𝙩
Secara logika spiritual dan sosial, seseorang yang hanya mengejar dunia akan:
Terjebak dalam siklus kecemasan, karena dunia terus berubah.
Kehilangan arah moral, karena menilai baik-buruk dari untung-rugi.
Menjadi lelah secara batin, sebab tujuannya tidak melampaui fana.
Sedangkan orang yang visinya akhirat:
Lebih tekun, karena tahu setiap usaha dicatat meski gagal di dunia.
Lebih tenang, sebab percaya hasil akhir di tangan Allah.
lass=”yoast-text-mark”, Lebih terhormat, karena mengikuti aturan-Nya, bukan hawa nafsu.
Ia sadar, bahwa podium sejati bukan di atas panggung dunia, melainkan di hadapan Rabb semesta alam.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:
> “Pada hari itu, sebagian wajah berseri-seri, kepada Tuhannyalah mereka melihat.”
(QS. Al-Qiyāmah [75]: 22–23)
𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽: 𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗠𝗲𝗻𝘂𝗷𝘂 𝗣𝗼𝗱𝗶𝘂𝗺 𝗞𝗲𝗮𝗯𝗮𝗱𝗶𝗮𝗻
Kesuksesan sejati bukan diukur oleh tepuk tangan manusia, tapi oleh ridha Allah.
Visi yang hanya dunia, akan berakhir bersama dunia.
Tapi visi yang melampaui dunia, akan menuntun manusia menuju podium keabadian surga yang dijanjikan bagi para pemenang sejati.
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:
> “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin, diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka…”
(QS. At-Taubah [9]: 111)
𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻
Pemanah dunia: berlatih untuk tampil.
Pemanah akhirat: berlatih untuk menang dengan cara yang diridhai.
Sukses dunia: sebatas tepuk tangan.
Sukses akhirat: ketenangan abadi.
Maka mustahil manusia benar-benar sukses di dunia jika visinya hanya dunia, sebab dunia hanyalah arena latihan, bukan podium kemenangan.
Podium itu tempat puncak bagi para pemenang sejati hanyalah di akhirat.
Seorang juara sejati tidak mengukur keberhasilannya dari berapa banyak ia menembak, tapi seberapa tepat panahnya mengenai sasaran.
Demikian pula manusia: keberhasilan hidup tidak diukur dari banyaknya amal lahiriah, tetapi dari ketepatan arah niat dan ketaatan kepada Allah.
Maka mustahil manusia benar-benar sukses di dunia, jika visinya hanya dunia.
Sebab dunia hanyalah arena latihan, sedangkan akhirat adalah podium keabadian.
Barang siapa berlatih dengan niat lurus, mengarahkan busur hidupnya menuju ridha Allah, maka suatu hari ia akan berdiri tegak bukan di panggung manusia, tapi di podium surga, di hadapan Rabb yang Mahaadil.
𝗗𝗮𝗳𝘁𝗮𝗿 𝗣𝘂𝘀𝘁𝗮𝗸𝗮:
1. Al-Ghazali, Ihya’ Ulumuddin.
2. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Madarij As-Salikin.
3. Al-Qur’an al-Karim.
4. Hadis Nabi ﷺ (HR. Bukhari, Muslim, Baihaqi).
5. Al-Ghazali, Kimya’ as-Sa‘adah.
6. Ibnu Taimiyah, Majmu’ Fatawa (tentang tujuan hidup dan niat).
𝗦𝗲𝗿𝘂𝗮𝗻 𝗗𝗮𝗸𝘄𝗮𝗵
Wahai kaum Muslimin, jangan biarkan hidup kita terjebak dalam ilusi dunia yang fana. Setiap hari adalah tarikan busur yang menentukan arah akhir perjalanan kita.
Jangan biarkan panah hidupmu tersesat oleh ambisi dunia yang pendek.
Arahkan ia menuju ridha Allah tujuan tertinggi, podium keabadian.
Sebarkan pemahaman ini kepada saudara-saudara kita.
Sampaikan kebenaran ini walau satu paragraf.
Bangunkan hati yang tidur, kemudian kuatkan visi yang rapuh, dan nyalakan kembali semangat umat yang mulai goyah oleh gemerlap dunia.
Mari jadikan tulisan ini wasilah dakwah, kemudian bagikan dan sebarkan, sehingga hidupkan kembali kesadaran bahwa dunia hanyalah batu loncatan menuju podium surga.
Jangan hanya jadi penonton jadilah penyampai kebenaran.
Rasulullah ﷺ Bersabda: “𝗦𝗮𝗺𝗽𝗮𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶𝗸𝘂 𝘄𝗮𝗹𝗮𝘂 𝘀𝗮𝘁𝘂 𝗮𝘆𝗮𝘁.” ( HR. Bukhari)
𝗗𝗲𝘀𝗮𝗸 𝗠𝗨𝗜 𝗦𝗲𝗴𝗲𝗿𝗮 𝗕𝗲𝗿𝘁𝗶𝗻𝗱𝗮𝗸! 𝘒𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳𝘬𝘢𝘯 𝙛𝙖𝙩𝙬𝙖 𝙝𝙖𝙧𝙖𝙢 𝙙𝙚𝙢𝙤𝙠𝙧𝙖𝙨𝙞 karena menjaga akidah 245 juta umat Islam adalah amanah MUI yang hidup dan dibiayai dari pajak dan harta Umat dari hak kekayaan SDA negeri ini!. (Rahmat Daily)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
