Khazanah
Beranda » Berita » Ketaatan adalah Anugerah: Cara Allah Memuliakan Seorang Hamba Menurut Al-Hikam

Ketaatan adalah Anugerah: Cara Allah Memuliakan Seorang Hamba Menurut Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang bermunajat kepada Allah.
Ilustrasi hamba yang bermunajat kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam Al-Hikam menawarkan metode introspeksi spiritual yang paling jujur dan langsung. Untuk mengukur nilai diri yang sebenarnya, kita tidak perlu melihat pujian manusia atau banyaknya harta, melainkan kita perlu melihat apa yang telah Allah pilihkan untuk kita. Beliau berkaidah:

“Jikalau kita ingin mengetahui kedudukan kita di sisi Allah Swt., maka lihatlah bagaimana Dia menempatkan kita.”

Kedudukan Hamba di Hadapan Allah

Menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah, kedudukan kita di hadapan Tuhan tergantung dari  posisi yang Dia tetapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jikalau Dia menempatkan kita pada jalur ketaatan—dengan kemampuan kita menjalankan semua perintah-Nya. Kemudian menjauhi larangan-Nya, selalu merasakan kerinduan untuk beribadah, berkhalwat dalam munajat, dan memelihara hati—berarti kita telah mendapat anugerah kedudukan yang tinggi dan mulia. Posisi ini adalah karunia, dan kita wajib bersyukur serta berjuang untuk terus mempertahankan dan meningkatkan keadaan spiritual tersebut.

Sebaliknya, jikalau kita berada pada posisi suka bermaksiat, terus-menerus melanggar perintah-Nya, hati kita menjadi kasar dan keras, serta tidak ada getaran rindu untuk beribadah, berarti kita menempati posisi yang sangat buruk di hadapan-Nya. Ini adalah kesengsaraan batin yang harus segera kita basmi melalui kesungguhan taubat (nasuha). Kita harus meninggalkan segala kemaksiatan yang menghalangi kita dari-Nya.

Pesan penting dari Syekh Ibnu ‘Athaillah adalah kita jangan pernah berputus asa, apa pun posisi kita saat ini. Syekh Ibnu ‘Athaillah mengingatkan kita untuk tidak hanya berfokus pada penampilan luar. Jikalau kita sudah menjaga pakaian lahiriah kesalehan, marilah kita pertahankan itu. Namun, inti dari segalanya adalah keimanan batin. Keimanan kita harus terus meningkat agar kita bisa mencapai posisi tertinggi dan terpuji di sisi Allah Swt., yang bukan hanya terlihat baik di mata manusia, tetapi disertai dengan hal (kondisi batin) yang diridhai.

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

Ketaatan: Puncak Nikmat yang Melampaui Harta Dunia

Hikmah kedua menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah yakni mengalihkan fokus dari ketaatan sebagai kewajiban menjadi ketaatan sebagai anugerah. Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa ketaatan adalah nikmat terbesar:

“Ketika Allah Swt. mengaruniakan ketaatan kepada kita dan merasa cukup dengannya, berarti Dia telah mencurahkan berbagai nikmat-Nya kepada kita, baik lahir maupun batin.”

Jikalau Allah Swt. menganugerahkan kepada kita kemampuan untuk taat, sehingga kita menjalani hidup dengan unsur ibadah, dan kita merasa puas serta tenang dengan anugerah ini, berarti kita telah menerima kenikmatan-Nya yang paling besar.

Ketaatan sejati meliputi aspek lahiriah (seperti shalat, zakat, puasa) dan aspek batiniah. Ketaatan hati—seperti kerinduan tulus untuk melaksanakan perintah-Nya dan rasa takut mendalam untuk melanggar larangan-Nya—jauh lebih penting daripada sekadar gerakan fisik.

Kemampuan untuk Taat Semata-Mata Karunia dari  Allah

Syekh Ibnu ‘Athaillah menyampaikan bahwa kita harus menyadari bahwa semua kenikmatan—termasuk kemampuan untuk taat itu sendiri—adalah semata-mata karunia-Nya (tawfiq) dan kebaikan-Nya. Kita tidak boleh pernah menyangka bahwa ketaatan kitalah yang menyebabkan semua kebaikan ini. Ini murni kebaikan Ilahi, yang nilainya tidak dapat kita bandingkan dengan harta dan materi duniawi yang diperjuangkan oleh mereka yang hanya berorientasi pada dunia. Ketaatan adalah nikmat fundamental di dunia ini. Karena  ia berfungsi sebagai jembatan yang akan mengantarkan kita menuju nikmat yang lebih besar lagi di akhirat, di mana kita akan menikmati surga yang keindahannya tidak terlukiskan oleh kata-kata.(St.Diyar)

Ziarah Makam Hari Jum’at, Apa Hukumnya?

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement