SURAU.CO. Umat Islam menganggap kohabitasi atau kumpul kebo sebagai perbuatan haram. Agama Islam melarang keras praktik kumpul kebo. Islam menganggap kumpul kebo sebagai perbuatan mendekati zina. Umat Islam memandang kohabitasi sebagai dosa besar. Masyarakat menganggap hubungan tanpa ikatan pernikahan yang sah sebagai bentuk perzinahan. Hukum pidana tidak otomatis mengidentikkan semua kasus kohabitasi sebagai perzinaan. Secara umum, perilaku ini melanggar ajaran agama dan norma sosial dalam Islam.
Umat Islam menganggap kohabitasi (hidup bersama di luar nikah) hukumnya haram. Kohabitasi melanggar ajaran agama Islam. Islam memandang kohabitasi sebagai bentuk perzinahan atau perbuatan yang mendekati zina. Perspektif Islam mengharamkan kohabitasi karena dapat menjadi sarana menuju perzinahan. Islam menerapkan prinsip sadd adz-dzariah (menutup jalan kemaksiatan) dalam melarang kohabitasi. Prinsip sadd adz-dzariah menjelaskan mengapa Islam melarang kohabitasi.
Ajaran agama melarang kohabitasi. Masyarakat Indonesia menganggap kohabitasi melanggar norma-norma sosial dan etika yang berlaku. Al-Qur’an melarang perbuatan kohabitasi. Larangan ini juga didasarkan pada Hadis. Al-Qur’an dan Hadis secara tegas melarang hubungan di luar pernikahan yang sah.
Alasan pelarangan kohabitasi dalam Islam
- Mengharamkan perbuatan mendekati zina (Saddu al-Dzari’ah): Islam melarang segala sesuatu yang dapat mengarah pada perbuatan dosa, termasuk perzinahan. Masyarakat menganggap kohabitasi sebagai sarana atau perantara yang mempermudah terjadinya perzinahan.
- Melanggar nilai dan norma agama: Umat Islam melarang hubungan semacam ini karena melanggar konsep pernikahan yang sah. Ajaran Islam memperbolehkan hubungan intim hanya dalam ikatan perkawinan yang suci.
- Memiliki konsekuensi hukum dan sosial: Pemerintah mengatur kohabitasi di Indonesia dalam hukum pidana baru (Pasal 412 UU No. 1 Tahun 2023). Hukum pidana Islam juga memberikan sanksi bagi pelaku kohabitasi.
Sanksi menurut Islam
- Jika terbukti sebagai perzinahan (Zina):
- Bagi pelaku yang sudah menikah (muhsan): Hukuman rajam.
- Bagi pelaku yang belum menikah (ghairu muhsan): Hukuman cambuk 100 kali dan pengasingan (taghrib).
- Dalam kasus kohabitasi (belum tentu perzinahan): Ulama atau pemerintah dapat mengenakan sanksi ta’zir kepada pelaku sesuai keputusan mereka, meskipun sanksi tersebut tidak sampai pada hukuman had.
Kohabitasi merupakan hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah. Orang-orang sering menggunakan istilah ini untuk menggambarkan pasangan yang tinggal serumah. Pasangan tersebut berbagi hubungan intim atau romantis. Istilah “kumpul kebo” lebih dikenal di Indonesia. Masyarakat Indonesia menggunakan istilah “kumpul kebo” secara luas.
Pasangan yang berpacaran atau tidak menikah sering tinggal bersama di bawah satu atap.
- Makna dalam hukum: Dalam konteks hukum, terutama di luar negeri, sistem hukum menganggap kohabitasi memiliki makna spesifik sebagai hubungan yang ditandai dengan ketergantungan finansial, sosial, dan seksual antar pasangan. Ada juga “perjanjian kohabitasi” yang merupakan kontrak untuk mengatur masalah keuangan dan properti antara pasangan yang hidup bersama tanpa menikah.
- Dampak di Indonesia: Fenomena kohabitasi di Indonesia sering dianggap melanggar norma sosial, budaya, dan agama. Selain itu, dalam KUHP baru, kohabitasi juga bisa menjadi tindak pidana.
- Alasan: Alasan pasangan memilih kohabitasi bervariasi, mulai dari pandangan sosial yang berubah, keinginan untuk saling mengenal lebih baik sebelum menikah, hingga pertimbangan biaya pernikahan.
Filosofi
Filosofi kohabitasi menggambarkan hidup bersama sebagai pasangan. Pasangan tersebut menjalani hubungan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Orang sering menganggap kohabitasi sebagai bentuk hubungan romantis atau seksual jangka panjang. Orang-orang yang menganut filosofi ini memegang pandangan bahwa pernikahan tidak selalu diperlukan untuk menjalani hubungan yang bermakna. Pasangan dapat menemukan komitmen dan kebahagiaan bersama dalam pengaturan ini. Mereka juga dapat memikul tanggung jawab bersama tanpa status hukum pernikahan.
Konsep dan aspek filosofis
- Hubungan tanpa ikatan formal: Kohabitasi berfokus pada hubungan intim dan komitmen emosional tanpa tekanan dan tanggung jawab yang melekat pada pernikahan resmi.
- Tanggapan terhadap pandangan sosial: Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap pandangan sosial yang berubah. Perubahan ini terjadi terutama di negara-negara Barat. Di sana, masyarakat tidak lagi melihat pernikahan sebagai satu-satunya bentuk hubungan yang sah.
- Alternatif atau persiapan: Beberapa menganggapnya sebagai latihan atau simulasi untuk pernikahan, sementara yang lain melihatnya sebagai alternatif jangka panjang yang memuaskan.
- Penekanan pada kebebasan dan komitmen pribadi: Filosofi ini mengutamakan kebebasan individu untuk menentukan kebahagiaan dan hubungan mereka. Individu membangun komitmen mereka atas dasar kesepakatan pribadi. Kesepakatan pribadi mendasari komitmen, bukan kewajiban hukum atau sosial.
Dalam konteks Indonesia
- Perbedaan pandangan: Masyarakat Indonesia menganggap kohabitasi atau kumpul kebo sebagai hal yang tabu dan bertentangan dengan norma sosial serta agama.
- Regulasi hukum: Pemerintah tidak mengatur kohabitasi secara spesifik dalam KUHP lama. Pemerintah dan DPR mengatur kohabitasi sebagai tindakan melanggar kesusilaan dalam KUHP baru. Pihak yang berhak (orang tua, anak, atau pasangan yang terikat perkawinan) dapat melaporkan pasangan kohabitasi, yang kemudian akan dikenai sanksi berdasarkan KUHP baru. Pemerintah akan mulai menerapkan sanksi tersebut pada tahun 2026.
- Stigma dan tantangan: Pasangan yang memilih kohabitasi dapat menghadapi stigma sosial, tekanan keluarga, dan kurangnya perlindungan hukum jika hubungan berakhir, yang dapat menimbulkan kerugian emosional dan ekonomi.
(mengutip dari berbagai sumber)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
