SURAU.CO–Syekh Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari dalam kitab Al-Hikam menegaskan suatu fundamen kepada setiap penempuh jalan spiritual. Yakni untuk mencapai derajat yang lebih tinggi melalui penyucian diri. Beliau menyeru:
“Keluarlah dari sifat-sifat kemanusiaan kita, yaitu dari semua sifat yang kontradiktif dengan sifat ubudiyah kita, agar kita dapat menyambut seruan Allah Swt. dan dekat kepada hadirat-Nya.”
Panggilan ini adalah ajakan tulus bagi setiap hamba Allah Swt. Syekh Ibnu ‘Athaillah mengajak kita membebaskan diri secara total dari sifat-sifat manusiawi yang berpotensi hina dan tercela. Sifat-sifat ini mencakup hasrat kuat untuk mengikuti syahwat, kebakhilan (kikir) yang mengikat tangan,. Juga pada kecintaan berlebihan pada harta benda, dan berbagai kelemahan moral lainnya. Kita perlu melakukannya agar jiwa kita menjadi siap menyambut segala perintah-Nya dan agar kita bisa menjadi semakin dekat kepada-Nya. Selama kita masih diselimuti oleh “pakaian” syahwat dan nafsu rendah, maka jarak spiritual kita akan membentang semakin jauh dari Dzat Ilahi, dan pancaran cahaya-Nya akan meredup dan samar di dalam hati kita. Kita harus meninggalkan sifat-sifat yang buruk ini, yang sejatinya mirip dengan sifat kebinatangan, supaya kita bisa mencapai kemuliaan di hadapan penduduk bumi dan langit.
Potensi Manusia Bisa Melebihi Malaikat
Sesungguhnya, menurut Syekh Ibnu ‘Athaillah manusia memiliki potensi yang jauh melebihi para malaikat. Potensi luhur ini terwujud ketika mereka mampu menanggalkan semua sifat buruk dan secara konsisten menjalankan semua perintah Tuhan mereka. Namun, di sisi lain, kita juga membawa potensi menjadi lebih rendah daripada binatang. Potensi buruk ini terjadi jikalau kita hanya bersedia mengikuti bisikan hawa nafsu. Kemudian kita berpaling dari aturan-aturan suci yang telah ditetapkan oleh-Nya. Pilihan penuh ada di tangan kita. Allah Swt. telah menjelaskan jalan kebenaran dan jalan kemaksiatan, dan Dia telah menganugerahkan akal kepada kita untuk mempertimbangkan dan membuat pilihan yang bertanggung jawab.
Nasihat selanjutnya dari Syekh Ibnu ‘Athaillah yakni menjelaskan inti permasalahan spiritual, yakni sumber tunggal dari segala perbuatan kita:
“Pangkal segala maksiat, kelalaian, dan syahwat adalah memperturutkan hawa nafsu. Sedangkan pangkal segala ketaatan, kewaspadaan, dan kesucian diri adalah ketidakinginan kita memperturutkan hawa nafsu.”
Ketika kita melakukan perbuatan maksiat yang menyebabkan kita jauh dari Allah Swt., atau ketika kita jatuh dalam kelalaian beribadah sehingga kita merasakan hijab spiritual, atau ketika kita terlalu patuh mengikuti syahwat yang pada akhirnya menghalangi pencapaian makrifat, maka semua kemunduran itu tidak lain adalah konsekuensi langsung dari kita menuruti hawa nafsu.
Syekh Ibnu ‘Athaillah menerangkan bahwa kita harus menyadari bahwa hawa nafsu itu bersifat rakus. Ia tidak akan pernah rela dan tidak akan pernah mengizinkan kita berada di titik aman dan kestabilan keimanan. Ia berfungsi sebagai senjata utama setan yang paling efektif. Kita dapat menyaksikan betapa banyak ahli ibadah yang telah mencapai puncak makrifat, namun kemudian mereka terjerembab sehina-hinanya dalam lumpur kemaksiatan. Hal ini semata-mata karena mereka tidak mampu mengendalikan hawa nafsu yang sudah bersarang dan mengakar dalam diri mereka.
Pertanda Kuat dari Keengganan Menyerah pada Hawa Nafsu
Sebaliknya, Syekh Ibnu ‘Athaillah menjelaskan bahwa ketika kita memilih untuk menjalani kehidupan ini dengan ketekunan penuh dalam ketaatan, diiringi kewaspadaan (muraqabah), dan dengan menjaga kesucian diri (‘iffah). Maka semua kebajikan itu merupakan pertanda kuat dari keengganan kita menuruti dan menyerah pada hawa nafsu. Keadaan batin yang murni seperti ini akan membersihkan hati kita, membuatnya bercahaya dan bersinar terang, sehingga kita akan menjadi semakin dekat kepada-Nya dan berhak menerima cahaya-Nya. Melalui proses ini, lama-kelamaan kita akan mampu melihat hikmah dan rahasia yang tersembunyi di balik setiap peristiwa, karena mata hati kita telah terbuka lebar, dan hijab kemaksiatan yang semula menutupi kita sudah lenyap sepenuhnya.(St.Diyar)
Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
