Khazanah
Beranda » Berita » Adab, Ikhlas, dan Tartil dalam Membaca Al-Qur’an Menurut Kitab Hidayatush Shibyan

Adab, Ikhlas, dan Tartil dalam Membaca Al-Qur’an Menurut Kitab Hidayatush Shibyan

santri membaca Al-Qur’an dengan tartil dan adab
Ilustrasi santri membaca Al-Qur’an dengan khusyuk, menggambarkan adab, ikhlas, dan tartil

Surau.co. Membaca Al-Qur’an bukan hanya aktivitas lisan, tetapi juga perjalanan batin seorang hamba. Para ulama pesantren selalu menekankan bahwa adab, keikhlasan, dan tartil merupakan tiga pilar utama yang menyempurnakan tilawah.  Jika tidak dengan adab, bacaan kehilangan hormatnya. Tanpa ikhlas, bacaan kehilangan ruhnya. Tanpa tartil, bacaan kehilangan ketertiban dan keindahannya. Tiga pilar inilah yang mendapat perhatian dalam kitab Hidayatush Shibyan karya Syaikh Sa‘id al-Hadhrami, sebuah kitab dasar yang membimbing santri memahami hakikat membaca Al-Qur’an secara benar dan beradab.

Al-Qur’an memberikan arahan yang jelas mengenai cara membaca. Dalam QS. al-Muzzammil ayat 4 disebutkan:

﴿وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا﴾
“Dan bacalah Al-Qur’an dengan tartil.”

Perintah tersebut tidak hanya mengarahkan teknis bacaan, tetapi mengandung makna mendalam tentang ketertiban, ketenangan, dan kesungguhan. Pesantren Nusantara memegang teguh pesan ini dan mengajarkannya sejak tahap paling awal.

Adab Membaca Al-Qur’an: Memulai Bacaan dengan Hati yang Tertib

Para ulama selalu mengajarkan bahwa adab merupakan pintu masuk pertama sebelum seseorang menyentuh mushaf. Adab bukan sekadar tata cara lahiriah, tetapi juga kesiapan batin yang melandasi seluruh aktivitas membaca. Dalam konteks ini, Hidayatush Shibyan memberikan pengingat penting:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

«وَقَدِّمِ الأَدْبَ فِي التِّلَاوَةِ حَاضِرًا
فَالْقُرْآنُ يُتْلَى فِي أَجَلِّ الْمَحَاضِرِ»

“Dahulukan adab saat membaca Al-Qur’an,
sebab Al-Qur’an dibaca dalam majelis yang paling mulia.”

Bait tersebut menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an selalu membutuhkan persiapan batin. Seorang pembaca dianjurkan berada dalam keadaan suci lahir dan batin, menjaga kebersihan tempat, serta memposisikan tubuh dengan sikap hormat. Ketika adab dijaga, suasana batin menjadi lebih teduh dan bacaan mengalir lebih tertib.

Para ulama menambahkan bahwa adab harus meliputi niat dan rasa hormat. Imam an-Nawawi dalam At-Tibyan berkata:

«مِنْ تَعْظِيمِ الْقُرْآنِ أَنْ لَا يُقْرَأَ إِلَّا عَلَى طَهَارَةٍ وَسُكُونٍ»
“Termasuk memuliakan Al-Qur’an ialah tidak membacanya kecuali dalam keadaan suci dan tenang.”

Keterangan tersebut menegaskan pentingnya ketenangan sebelum memulai tilawah. Para guru di pesantren sering mengingatkan santri untuk menarik napas pelan, merapikan niat, dan menghilangkan kegelisahan sebelum mengucapkan basmalah. Suasana batin yang terjaga membuat bacaan lebih meresap dan makna lebih mudah hadir dalam hati.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ikhlas: Ruh dari Setiap Huruf yang Dibaca

Ikhlas menjadi fondasi utama dalam ibadah, termasuk membaca Al-Qur’an. Ketika seseorang membaca Al-Qur’an untuk mencari pujian atau penghargaan, bacaan kehilangan nilainya di sisi Allah. Keikhlasan membuat bacaan menjadi amal yang terus mengalir.

Rasulullah SAW memberikan pengingat melalui sabdanya:

«إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ»
“Sesungguhnya segala amal bergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini sering menjadi pembuka pelajaran tajwid dan tahsin, karena membaca Al-Qur’an sangat dekat dengan masalah niat. Guru-guru pesantren menjelaskan bahwa membaca Al-Qur’an harus didorong oleh kecintaan kepada Allah, kerinduan kepada Kalam-Nya, dan keinginan memperbaiki diri.

Kitab Hidayatush Shibyan menguatkan nilai keikhlasan melalui bait berikut:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

«وَاجْعَلْ قِرَاءَتَكَ لِلرَّحْمٰنِ خَالِصَةً
فَالْخُلْصُ يَرْقَى بِالْقَلْبِ فِي أَحْسَنِ الدَّرَجَاتِ»

“Jadikanlah bacaanmu semata-mata untuk Tuhan Yang Maha Pengasih,
karena keikhlasan mengangkat hati ke derajat terbaik.”

Bait tersebut menggambarkan bahwa keikhlasan bukan konsep abstrak, tetapi energi yang menggerakkan hati menuju ketinggian. Dalam tradisi pesantren, santri selalu diingatkan agar tidak merasa paling fasih, paling merdu, atau paling hebat dalam membaca Al-Qur’an. Kesombongan dapat menghapus keberkahan bacaan, sedangkan keikhlasan justru menambah keindahan suara.

Keikhlasan juga membawa ketenangan. Bacaan menjadi lebih jernih dan konsisten karena tidak dibebani oleh keinginan tampil. Dalam penelitian-penelitian tentang psikologi spiritual, keikhlasan terbukti memperbaiki fokus dan meningkatkan rasa hadir dalam ibadah.

Tartil: Ketertiban Bacaan sebagai Jalan untuk Memahami Makna

Tartil tidak hanya berarti membaca perlahan akan tetapi juga membaca dengan jelas, tenang, teratur, dan sesuai kaidah tajwid. Para ulama sepakat bahwa tartil merupakan cara membaca terbaik karena memudahkan pendengaran, menjaga makhraj, dan memunculkan makna ayat.

Ibn Abbas pernah mendefinisikan tartil sebagai:

«التَّرْتِيلُ تَفْسِيرُ الْكَلِمِ وَإِحْسَانُ النُّطْقِ بِهِ»
“Tartil adalah menjelaskan kata-kata dan memperindah pengucapannya.”

Dalam tradisi pesantren, tartil menjadi tujuan akhir dari seluruh pembelajaran tajwid. Santri diajarkan untuk tidak hanya mengejar kecepatan, tetapi memahami hak setiap huruf. Ketika panjang–pendek tepat, ketika idgham dan izhar tertata, ketika huruf keluar dari makhrajnya, tilawah menjadi lebih berwibawa.

Hidayatush Shibyan menegaskan keutamaan tartil melalui bait berikut:

«وَرَتِّلِ الذِّكْرَ تَرْتِيلًا تُصِبْ رُشْدًا»
“Bacalah Al-Qur’an dengan tartil agar memperoleh petunjuk.”

Bait tersebut menggambarkan bahwa tartil adalah jalan menuju pemahaman. Ketika seseorang membaca dengan tertib, makna lebih mudah singgah dalam hati. Banyak santri mengaku bahwa ayat-ayat terasa berbeda ketika dibaca dengan tartil—lebih hidup, lebih mendalam, dan lebih menyentuh.

Hubungan Adab, Ikhlas, dan Tartil: Tiga Pilar yang Tidak Dapat Dipisahkan

Tiga nilai ini tidak berdiri sendiri. Adab membuka pintu bacaan, ikhlas menghidupkan bacaan, dan tartil menyempurnakan bacaan. Jika tidak dengan adab, hati tidak siap menerima makna. Tanpa ikhlas, amal menjadi kosong. Tanpa tartil, bacaan kehilangan ketertiban.

Nasihat yang mashur dari kalangan Ulama’:

«مَنْ قَرَأَ بِغَيْرِ أَدَبٍ نَقَصَ حَظُّهُ،»
“Siapa yang membaca tanpa adab, berkuranglah bagiannya.”

Keterangan ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an adalah interaksi antara hati, lisan, dan perilaku. Semakin tertib seseorang merawat ketiga pilar ini, semakin kuat dan dalam pengaruh Al-Qur’an terhadap hidupnya.

Penutup: Saat Huruf Menjadi Cahaya

Ketika seorang muslim membaca Al-Qur’an dengan adab yang terjaga, niat yang bersih, dan tartil yang tertib, setiap huruf menjadi cahaya yang masuk ke dalam hati. Suara yang mengalun bukan lagi sekadar getaran udara, tetapi jejak keimanan yang menguatkan jiwa. Para ulama mengatakan bahwa Al-Qur’an akan memperbaiki hati siapa pun yang memperbaiki cara membacanya.

Membaca Al-Qur’an adalah perjalanan panjang yang mengajarkan keteduhan. Dalam keheningan membaca, seseorang merasakan kedekatan dengan Tuhan.  Ketelitian saat membaca dengan tartil, seseorang menemukan ketertiban batin. Dalam keikhlasan, seseorang menemukan kelapangan hati. Dan dalam adab yang terawat, seseorang menemukan kemuliaan hidup.

Semoga setiap huruf yang kita baca menjadi doa yang tidak pernah putus, dan setiap ayat menjadi pelita yang menuntun langkah kita menuju kebaikan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement