Khazanah
Beranda » Berita » Menjaga Fokus dan Meluruskan Permintaan kepada Allah Menurut Al-Hikam

Menjaga Fokus dan Meluruskan Permintaan kepada Allah Menurut Al-Hikam

Ilustrasi hamba yang bermunajat kepada Allah.
Ilustrasi hamba yang bermunajat kepada Allah.

SURAU.CO-Syekh Ibnu Atha’illah as-Sakandari, melalui kebijaksanaannya dalam Kitab Al-Hikam, memberikan panduan tentang sikap kita terhadap keadaan spiritual yang sedang kita jalani. Syekh Ibnu Atha’illah menyampaikan:

“Janganlah kita meminta kepada Allah Swt. untuk dikeluarkan dari suatu keadaan dan ditempatkan dalam keadaan lainnya. Jika Allah Swt. menghendakinya, maka Dia akan menempatkan kita tanpa harus mengeluarkan kita.”

Merupakan kekeliruan jika kita meminta kepada Allah agar dikeluarkan dari satu keadaan spiritual (maqam) yang sebenarnya tidak bertentangan dengan syariat—lalu meminta ditempatkan di maqam lain yang kita anggap lebih tinggi.

Dalam tasawuf, kita mengenal berbagai tingkatan spiritual dalam perjalanan menuju maqam tertinggi, seperti sabar, syukur, taubat, dan tawakal. Sebagai contoh, jika kita berada pada maqam sabar, tidak perlu kita meminta untuk dicabut dari sifat sabar agar dapat menduduki maqam syukur.

Jika kita menginginkan maqam yang lebih tinggi, kita tidak harus meninggalkan sifat sebelumnya. Sabar dan syukur, misalnya, dapat kita gabungkan; keduanya sama sekali tidak saling bertentangan (kontradiksi). Allah Swt. memiliki kuasa penuh untuk menempatkan kita di kedua posisi tersebut secara bersamaan tanpa menimbulkan masalah sedikit pun. Bahkan, Dia mampu menempatkan kita di semua maqam yang baik tanpa mengharuskan kita meninggalkan salah satunya.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Setiap keadaan baik yang kita jalani haruslah kita syukuri. Oleh karena itu, janganlah kita meminta sesuatu yang lebih tinggi dengan syarat meninggalkan keadaan spiritual yang sedang kita tempuh saat ini.

Konsentrasi Terhadap Tujuan: Waspada terhadap Fitnah Karomah

Nasihat kedua mengingatkan salik agar tetap fokus pada tujuan, bahkan ketika mereka dianugerahi hal-hal gaib:

“Tidaklah semangat seorang salik (ahli ibadah) menjadi kendor atau ingin berhenti ketika dibukakan baginya (hal gaib), kecuali seruan hakikat akan berkata kepadanya, ‘Yang engkau cari berada di hadapanmu.’ Dan, tidaklah ketika terlihat fenomena-fenomena indah di hadapannya, kecuali hakikat berkata kepadanya, ‘Kami hanyalah fitnah, maka janganlah engkau kufur.'”

Ketika seorang ahli ibadah mampu mengetahui atau memahami rahasia di balik suatu kejadian (seperti mendapat kasyaf atau karomah), semangatnya tidak boleh melemah, dan ia tidak boleh merasa telah mencapai tujuan akhir. Tidak! Ia sama sekali belum mencapai tujuan sejati. Ketika ia merasa sudah sampai di garis finish, seruan hakikat akan memanggilnya dan mengingatkannya bahwa tujuannya masih jauh di depan dan perjalanan harus terus ditempuh.

Jalan menuju Allah Swt. adalah perjalanan yang panjang dan tidak akan pernah ada habisnya. Selama nyawa masih di kandung badan dan napas masih berhembus, kita harus terus berusaha dan berlari menghampiri tujuan utama. Jika kita mencapai tingkat hikmah atau pengetahuan spiritual, itu hanyalah tahapan dalam perjalanan, bukan ujungnya.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Bahaya Tertipu Diri Sendiri

Kita sering menyaksikan fenomena di masyarakat ketika seorang ahli ibadah tertipu oleh ibadahnya sendiri. Ketika ia mampu melakukan hal-hal luar biasa (khawariq al-‘adah), ia menjadi takjub dan merasa telah mencapai maqam tertinggi. Padahal, bisa jadi ia telah ditipu oleh setan, sehingga ia takjub pada diri sendiri dan merasa tidak lagi membutuhkan ibadah kepada-Nya.

Peringatan yang Syekh Ibnu Atha’illah sampaikan:

Janganlah kita cepat takjub melihat seseorang yang bisa melakukan perkara luar biasa (seperti terbang di udara atau berjalan di atas air), sampai kita benar-benar menyaksikan kualitas ibadahnya, kedekatannya kepada Allah Swt., dan kesesuaian antara amal yang ia lakukan dengan tuntunan Rasulullah Saw. Al-Alusi pernah menasihati, “Jika engkau melihat seseorang yang mampu terbang di udara dan berjalan di atas air, janganlah takjub dulu, sampai engkau melihat amalan-amalannya.”

Lebih lanjut, jika kita mendapatkan kenikmatan dunia—baik berupa jabatan, kemewahan, atau harta—janganlah kita terlena atas semua itu. Semua yang kita dapatkan itu sama sekali tidak boleh kita jadikan sekutu bagi Tuhan. Semua itu hanyalah makhluk dan perhiasan fana. Jika kita tidak berhati-hati, kita akan terlena dan larut dalam kefanaan dunia, melupakan ibadah, bahkan menjauh sejauh-jauhnya dari Allah Swt. Na’udzubillah min dzalik.(St.Diyar)

Referensi : Atha’illah as-Sakandari, Kitab Al-Hikam (penerjemah : D.A. Pakih Sati)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement