Puncak Resolusi Jihad

SURAU.CO – 𝘽𝙚𝙧𝙥𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙣𝙤𝙡𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙡𝙖𝙬𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙣𝙟𝙖𝙟𝙖𝙝 𝙞𝙩𝙪 𝙛𝙖𝙧𝙙𝙝𝙪 ‘𝙖𝙞𝙣 𝙗𝙖𝙜𝙞 𝙩𝙞𝙖𝙥-𝙩𝙞𝙖𝙥 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙟𝙖𝙧𝙖𝙠 𝙧𝙖𝙙𝙞𝙪𝙨 94 𝙠𝙢 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩 𝙢𝙖𝙨𝙪𝙠𝙣𝙮𝙖 𝙢𝙪𝙨𝙪𝙝.” 𝗞𝗲𝘁𝗶𝗸𝗮 𝗪𝗮𝗿𝗶𝘀𝗮𝗻 𝗝𝗶𝗵𝗮𝗱 𝗡𝗨 𝗗𝗶𝗸𝗵𝗶𝗮𝗻𝗮𝘁𝗶 𝗼𝗹𝗲𝗵 𝗘𝗹𝗶𝘁𝗲-𝗻𝘆𝗮 𝗦𝗲𝗻𝗱𝗶𝗿𝗶.

𝗦𝗲𝗷𝗮𝗿𝗮𝗵 𝗡𝗨 𝗱𝗮𝗻 𝗥𝗲𝘀𝗼𝗹𝘂𝘀𝗶 𝗝𝗶𝗵𝗮𝗱

Nahdlatul Ulama (NU) lahir pada tahun 1926 dengan cita-cita luhur: menjaga ajaran Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah serta melawan segala bentuk penjajahan. Puncak peran heroiknya tercatat pada 22 Oktober 1945, ketika KH. Hasyim Asy’ari mengeluarkan Resolusi Jihad. Fatwa ini menegaskan bahwa:

“𝘽𝙚𝙧𝙥𝙚𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙣𝙤𝙡𝙖𝙠 𝙙𝙖𝙣 𝙢𝙚𝙡𝙖𝙬𝙖𝙣 𝙥𝙚𝙣𝙟𝙖𝙟𝙖𝙝 𝙞𝙩𝙪 𝙛𝙖𝙧𝙙𝙝𝙪 ‘𝙖𝙞𝙣 𝙗𝙖𝙜𝙞 𝙩𝙞𝙖𝙥-𝙩𝙞𝙖𝙥 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙄𝙨𝙡𝙖𝙢 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙖𝙙𝙖 𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢 𝙟𝙖𝙧𝙖𝙠 𝙧𝙖𝙙𝙞𝙪𝙨 94 𝙠𝙢 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙩𝙚𝙢𝙥𝙖𝙩 𝙢𝙖𝙨𝙪𝙠𝙣𝙮𝙖 𝙢𝙪𝙨𝙪𝙝.”

Resolusi Jihad inilah yang menggerakkan arek-arek Surabaya dan umat Islam di berbagai daerah untuk melawan Belanda dan Sekutu, hingga pecahlah pertempuran heroik 10 November 1945. Peran NU dalam sejarah bangsa tak terbantahkan: darah syuhada tumpah demi menjaga agama, bangsa, dan tanah air.

Dalil yang menjadi landasan fatwa jihad itu jelas:

Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala berikut: “𝘋𝘢𝘯 𝘱𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘪𝘭𝘢𝘩 𝘥𝘪 𝘫𝘢𝘭𝘢𝘯 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘮𝘦𝘳𝘢𝘯𝘨𝘪 𝘬𝘢𝘮𝘶, (𝘵𝘦𝘵𝘢𝘱𝘪) 𝘫𝘢𝘯𝘨𝘢𝘯𝘭𝘢𝘩 𝘬𝘢𝘮𝘶 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘮𝘱𝘢𝘶𝘪 𝘣𝘢𝘵𝘢𝘴. 𝘚𝘦𝘴𝘶𝘯𝘨𝘨𝘶𝘩𝘯𝘺𝘢 𝘈𝘭𝘭𝘢𝘩 𝘵𝘪𝘥𝘢𝘬 𝘮𝘦𝘯𝘺𝘶𝘬𝘢𝘪 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨-𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘺𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘦𝘭𝘢𝘮𝘱𝘢𝘶𝘪 𝘣𝘢𝘵𝘢𝘴.”
(QS. Al-Baqarah: 190).

Hadis Rasulullah ﷺ:
“𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘭𝘢 𝘩𝘢𝘳𝘵𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘺𝘢𝘩𝘪𝘥. 𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘭𝘢 𝘬𝘦𝘭𝘶𝘢𝘳𝘨𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘺𝘢𝘩𝘪𝘥. 𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘭𝘢 𝘢𝘨𝘢𝘮𝘢𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘺𝘢𝘩𝘪𝘥. 𝘉𝘢𝘳𝘢𝘯𝘨𝘴𝘪𝘢𝘱𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘥𝘢𝘭𝘢𝘮 𝘬𝘦𝘢𝘥𝘢𝘢𝘯 𝘮𝘦𝘮𝘣𝘦𝘭𝘢 𝘥𝘢𝘳𝘢𝘩𝘯𝘺𝘢, 𝘮𝘢𝘬𝘢 𝘪𝘢 𝘮𝘢𝘵𝘪 𝘴𝘺𝘢𝘩𝘪𝘥.”
(HR. Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai).

Fatwa jihad ini adalah bukti bahwa ulama NU memahami penjajahan sebagai bentuk dzulm (kezaliman) yang wajib dilawan.

𝗣𝗲𝗿𝗴𝗲𝘀𝗲𝗿𝗮𝗻 𝗢𝗿𝗶𝗲𝗻𝘁𝗮𝘀𝗶 𝗘𝗹𝗶𝘁𝗲 𝗡𝗨

Namun, sejarah itu kini menghadapi ironi. NU yang dahulu berdiri gagah melawan penjajah, sebagian elitenya justru membuka pintu bagi ideologi penjajah. Sekularisme, liberalisme, pluralisme ekstrem, hingga demokrasi Barat dijadikan bahan khutbah dan narasi politik.

Ada tiga faktor utama pergeseran ini:

𝟭. 𝗞𝗲𝗽𝗲𝗻𝘁𝗶𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗣𝗼𝗹𝗶𝘁𝗶𝗸 𝗣𝗿𝗮𝗸𝘁𝗶𝘀
Banyak elite NU terjebak dalam lingkar kekuasaan. NU dijadikan kendaraan politik, bukan lagi benteng umat. Fatwa dan pandangan keagamaan sering disesuaikan dengan kepentingan rezim.
𝟮. 𝗣𝗲𝗻𝗴𝗮𝗿𝘂𝗵 𝗜𝗱𝗲𝗼𝗹𝗼𝗴𝗶 𝗔𝘀𝗶𝗻𝗴
Lembaga internasional, NGO asing, dan kekuatan global berhasil menanamkan ideologi penjajahan modern dengan kedok toleransi, HAM, dan pluralisme. Padahal, ujungnya adalah menjauhkan umat dari syariat Islam.
𝟯. 𝗝𝗮𝘂𝗵 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗔𝘀𝗽𝗶𝗿𝗮𝘀𝗶 𝗝𝗮𝗺𝗮𝗮𝗵
Jamaah NU di akar rumput masih setia dengan amaliyah tradisional: tahlilan, yasinan, shalawatan, dan cinta tanah air. Tetapi elite di atas sering kali berbicara dengan bahasa asing yang tidak dipahami umat: liberalisme, kesetaraan gender ala Barat, hingga normalisasi sekularisme.

𝗗𝗮𝗺𝗽𝗮𝗸 𝗱𝗮𝗻 𝗕𝗮𝗵𝗮𝘆𝗮 𝗣𝗲𝗿𝗴𝗲𝘀𝗲𝗿𝗮𝗻 𝗡𝗨

Pergeseran orientasi ini membawa bahaya besar:

𝟭. 𝗛𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴𝗻𝘆𝗮 𝗜𝗱𝗲𝗻𝘁𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗞𝗲𝗶𝘀𝗹𝗮𝗺𝗮𝗻 𝗡𝗨
Jika NU hanya menjadi corong demokrasi liberal, maka ia kehilangan ruh jihad pendirinya.
𝟮. 𝗠𝗲𝗺𝗯𝗶𝗻𝗴𝘂𝗻𝗴𝗸𝗮𝗻 𝗨𝗺𝗮𝘁
Jamaah di bawah terpecah: antara kesetiaan pada tradisi ulama salaf dan kebingungan akibat narasi elite yang cenderung sekular.
𝟯. 𝗠𝗲𝗹𝗲𝗺𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗿𝗷𝘂𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺
Ketika NU yang besar malah ikut menyebarkan ideologi penjajah, kekuatan Islam melemah. Penjajah tidak perlu lagi menembakkan peluru—cukup membiayai elite untuk menjadi corongnya.
𝟰. 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗸𝗵𝗶𝗮𝗻𝗮𝘁𝗶 𝗪𝗮𝗿𝗶𝘀𝗮𝗻 𝗦𝘆𝘂𝗵𝗮𝗱𝗮
Resolusi Jihad lahir dengan darah dan nyawa. Ketika elite hari ini justru menyuarakan ideologi penjajah, itu berarti mengkhianati pengorbanan para ulama dan santri terdahulu.

𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶: 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗸𝗮𝗻 𝗥𝘂𝗵 𝗝𝗶𝗵𝗮𝗱 𝗡𝗨

Penting dipahami: kritik ini bukan ditujukan kepada NU sebagai jam’iyah, melainkan kepada sebagian elite yang telah menyimpang dari ruh perjuangan. Jalan keluarnya jelas:

𝟭. 𝗞𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶 𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗞𝗵𝗶𝘁𝘁𝗮𝗵 𝟭𝟵𝟮𝟲
Meneguhkan NU sebagai organisasi keagamaan, bukan kendaraan politik.
𝟮. 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗵𝗶𝗱𝘂𝗽𝗸𝗮𝗻 𝗦𝗲𝗺𝗮𝗻𝗴𝗮𝘁 𝗥𝗲𝘀𝗼𝗹𝘂𝘀𝗶 𝗝𝗶𝗵𝗮𝗱
Jihad kini tidak lagi melawan penjajah bersenjata, tetapi melawan kebodohan, kemiskinan, kemunafikan politik, dan penjajahan ideologi.
𝟯. 𝗠𝗲𝗺𝗶𝘀𝗮𝗵𝗸𝗮𝗻 𝗝𝗮𝗺𝗮𝗮𝗵 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗘𝗹𝗶𝘁𝗲 𝗠𝗲𝗻𝘆𝗶𝗺𝗽𝗮𝗻𝗴
Jamaah harus sadar bahwa loyalitas kepada NU bukan berarti membenarkan semua langkah elitenya. NU milik umat, bukan milik elite. Jamaah harus bersatu membersihkan pengaruh ideologi asing dalam tubuh NU agar tidak menyebabkan umat tersesat dan tercerai berai.
𝟰. 𝗠𝗲𝗻𝗴𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗠𝗮𝗿𝘄𝗮𝗵 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮
Ulama sejati adalah mereka yang berani berkata benar di hadapan penguasa zalim, bukan yang mencari aman di kursi empuk kekuasaan. Ulama harus lurus sudah seharusnya semakin keras kepada oknum-oknum yang menggunakan nama besar Ormas untuk menistakan akhidah dan melemahkan  perjuangan umat Islam.

Rasulullah ﷺ mengingatkan dengan sabda beliau:

“𝙏𝙞𝙙𝙖𝙠 𝙝𝙖𝙡𝙖𝙡 𝙙𝙖𝙧𝙖𝙝 𝙨𝙚𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙈𝙪𝙨𝙡𝙞𝙢 𝙠𝙚𝙘𝙪𝙖𝙡𝙞 𝙙𝙚𝙣𝙜𝙖𝙣 𝙩𝙞𝙜𝙖 𝙥𝙚𝙧𝙠𝙖𝙧𝙖: 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙢𝙚𝙢𝙗𝙪𝙣𝙪𝙝, 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙗𝙚𝙧𝙯𝙞𝙣𝙖 𝙢𝙪𝙝𝙨𝙝𝙖𝙣, 𝙙𝙖𝙣 𝙤𝙧𝙖𝙣𝙜 𝙮𝙖𝙣𝙜 𝙠𝙚𝙡𝙪𝙖𝙧 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙖𝙜𝙖𝙢𝙖𝙣𝙮𝙖 𝙨𝙚𝙧𝙩𝙖 𝙢𝙚𝙢𝙞𝙨𝙖𝙝𝙠𝙖𝙣 𝙙𝙞𝙧𝙞 𝙙𝙖𝙧𝙞 𝙟𝙖𝙢𝙖𝙖𝙝.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hadis ini menegaskan bahwa nyawa seorang Muslim sangat suci, tidak boleh ditumpahkan hanya karena perbedaan politik, organisasi, atau kepentingan duniawi. Hanya dalam tiga perkara inilah syariat memberi pengecualian. Dan itu pun dengan syarat-syarat hukum yang ketat serta melalui otoritas yang sah.

Artinya, siapa pun yang memecah belah umat dan memalingkan NU dari ruh jihadnya harus disadarkan. Keluar dari jamaah umat Islam bukan perkara ringan. Lawanlah dosa besar yang Nabi ﷺ samakan dengan melepaskan ikatan Islam dari leher. Inilah peringatan keras, agar elite NU tidak bermain-main dengan akidah dan jamaah. Karena akibatnya fatal, bukan hanya di dunia tetapi juga di akhirat.

𝗣𝗲𝗻𝘂𝘁𝘂𝗽

Sejarah NU adalah sejarah jihad. Jaga dan lestarikan Resolusi Jihad 1945. Tetapi kini, mahkota itu terancam ternoda oleh sebagian elite yang justru menjadi penyambung lidah penjajah.

Karena itu, umat Islam harus tegas: bedakan antara NU sebagai jam’iyah yang mulia dengan elite yang menyimpang. Seruan jihad hari ini adalah jihad pemikiran, jihad melawan ideologi asing, dan jihad mengembalikan NU ke jalan para pendirinya.

Rasulullah ﷺ telah memperingatkan: darah seorang Muslim adalah suci, kecuali dalam tiga perkara yang jelas. Maka elite yang menggadaikan umat kepada ideologi penjajah hendaknya sadar. Mengkhianati jamaah adalah jalan yang berbahaya, sebab berarti keluar dari barisan Islam yang hakiki.

Akhirnya, seruan ini bukan nostalgia sejarah, melainkan panggilan iman:
“𝗝𝗮𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗸𝗵𝗶𝗮𝗻𝗮𝘁𝗶 𝗱𝗮𝗿𝗮𝗵 𝗽𝗮𝗿𝗮 𝘀𝘆𝘂𝗵𝗮𝗱𝗮!”.

NU hanya akan tetap besar bila ia kembali menjadi benteng agama dan bangsa, bukan corong kepentingan penjajah.

Seruan Dakwah

Sebar kebenaran, luruskan sejarah, dan lawan ideologi penjajah yang menyusup ke tubuh umat!.

Jangan diam! Dakwah adalah kewajiban, menyuarakan kebenaran adalah jihad zaman ini. (Rahmat Daily)