SURAU.CO – SKEMA (Sketsa Masyarakat). Sebuah presentasi multimedia berjudul “Marlon Brando: Rebel, Icon, Legend” berlangsung di Great Neck Library, New York, kemarin (Senin, 17/11/25). Pemeran Don Vito Corleone di film The Godfather itu dipuji sebagai salah seorang aktor terbaik abad 20. “Aktingnya begitu magis,” puji Al Pacino, yuniornya yang memerankan Don Corleone muda.
Marlon adalah aktor pertama yang menolak menerima Piala Oscar. (Oscar pertama didapatnya dari film On the Waterfront 1954, masih dia terima). Namun pada helat tahun 1973, ketika perannya di The Godfather membuatnya mendulang Oscar kedua, Marlon tak datang. Ia kirim Sacheen Littlefeather, aktris berdarah Indian Apache, sebagai wakil. Sacheen bacakan alasan penolakan Marlon yang bikin gempar Amerika: Hollywood tak manusiawi imemperlakukan suku-suku pribumi.
Ihwal menolak perhargaan, ada nama-nama beken lain yang melakukannya di berbagai profesi. Penyanyi Irlandia Sinead O’Connor dan filsuf Prancis Jean-Paul Sartre misalnya. Sinead yang dinominasikan pada empat kategori Grammy 1991 melalui lagu “Nothing Compares to You”, memboikot ajang perhargaan musik itu karena “nilai-nilai materialistis yang salah dan merusak dalam sistem Grammy.”
Sartre menolak Nobel Sastra 1964. Tak mau namanya kelak selalu dikaitkan dengan pemberi penghargaan. Ia juga tak sudi menerima medali Legion d’Honneur, penghargaan tertinggi dari Pemerintah Prancis, dengan alasan serupa. Sartre berkukuh pada kredo “modal penulis adalah kata-kata, bukan penghargaan!”.
Daftar penolakan semacam ini masih bisa diperpanjang. Profesor Emil Salim tak mau menerima Penghargaan Climate Hero Award 2023. Ia menilai gagal menjalankan amanah Konvensi Rio 1992 sehingga tak pantas digelari pahlawan lingkungan hidup.
Arsitek kondang Pakistan, Yasmeen Lari, menampik Wolf Prize 2025 bidang arsitektur karena yayasan penyelenggara Wolf Foundation bermarkas di Israel. “Negara yang melakukan genosida berkelanjutan di Gaza,” gerutunya.
Pelukis Laurence Stephen Lowry bahkan sampai menolak 5 (lima) gelar kehormatan berbeda dari kerajaan Inggris (era Ratu Elizabeth II) yang menjadi rekor penolakan penghargaan terbanyak dalam sejarah.
Menelusuri Lorong Kepribadian Karakter
Marlon Brando adalah generasi perintis—jika bukan aktor pertama—yang menerapkan metode akting Stanislavski ke dalam sinema. Ia mendobrak gaya peran warisan Shakespearian yang dipoles berlebihan dalam kata-kata dan gestur non-verbal.
Gaya akting Marlon “mentah”, alami, sarat emosi, sesuai dengan karakter. Prinsip realisme psikologis yang menjadi basis utama ajaran Stanislavski. Untuk menjadi karakter, aktor harus menjalani proses “magic if”. Menelusuri lorong-lorong kepribadian karakter hingga pojok-pojok terkelam, tersembunyi, terkumuh.
Maka tak ada lagi Marlon Brando. Hilang. Yang ada hanya Don Vito Corleone. Salah satu karakter paling ikonik dalam sejarah film Hollywood. (Untuk sinema Indonesia, perbandingannya seperti Deddy Mizwar ketika memerankan “Jenderal (Copet)” Nagabonar, terutama di film pertama, 1986).
Penonton teryakinkan bahwa Don Vito benar-benar ada di depan mereka. Seorang ayah, seorang patriark, seorang pelindung puak. Ia memegang teguh prinsip bahwa “seorang pria yang tidak meluangkan waktu dengan keluarganya tidak akan pernah menjadi pria sejati (A man who doesn’t spend time with his family can never be a real man).”
Tetapi Don Vito bukan lelaki yang tenang-tenang saja ketika ada masalah. Bagi komunitasnya, ia adalah pelindung yang memberikan bantuan dan keadilan ketika hukum formal tak berpihak kepada mereka. Ia tak ragu mempraktikkan hukum jalanan, bermetamorfosis menjadi bos mafia yang ditakuti. Seorang pelindung.
Kepribadian Otoratif dan Terukur
Sejatinya, “godfather” terjemahan Bahasa Inggris untuk frasa Bahasa Italia “padrino di battesimo (bapak permandian/bapak baptis bayi laki-laki)” dalam tradisi Kristen. Versi singkatnya: padrino. Sebuah terminologi sakral.
Namun dalam komunitas mafia di Sicilia, kata itu diberikan kepada pemimpin tertinggi mereka. Bos besar. Mewujud dalam sosok Don Vito Corleone, karakter ciptaan Mario Puzo, yang novelis, yang meracik sejumlah karakter kehidupan nyata (composite character) sejumlah bos mafia di New York pada awal sampai pertengahan abad ke-20 seperti Frank Costello, Carlo Gambino, dan Joe Profaci.
Namun—ini yang paling mengejutkan publik, bahkan Francis Ford Coppola sang sutradara—Mario Puzo mengatakan bahwa semua ucapan legendaris Don Vito Corleone berasal dari ibu kandungnya Maria Le Conti Puzo. “Kapanpun sang godfather membuka mulutnya, yang saya dengar suara ibu saya berpendar di dalam pikiran saya. Semua kata-katanya tentang kebijaksanaan, ketidakberperasaan, keberingasan (ruthlessness), dan cinta yang tak tertaklukkan kepada keluarga.”
Kombinasi rumit itulah yang dipelajari, didalami, dihayati, oleh Marlon Brando sehingga Don Vito Corleone menjadi pribadi kompleks, misterius, dicintai sekaligus dibenci, karena menampilkan kepribadian otoritatif dan terukur. Dalam kerangka teori psikoanalisis, Don Vito contoh sosok yang menyeimbangkan struktur kepribadiannya (id, ego, dan superego). Ia menjadi pemimpin yang dihormati sekaligus bisa bengis dan menakutkan, dengan selalu memprioritaskan keluarga sebagai pondasi dari seluruh tindakannya.
Don Vito Corleone akan melakukan apapun untuk keberhasilan anak-anaknya. Apapun. Bahkan dengan mengakali hukum jika harus.
Keluarga Bahagia dan Terjamin Masa Depannya
Namun sehebat-hebatnya The Godfather di layar perak dan versi novelnya, ia tetaplah mimesis dari kehidupan nyata yang jauh lebih misterius dalam polarisasi sikap seorang lelaki, seorang ayah. Di satu sisi cinta mati pada keluarga dan tidak ingin melihat hidup mereka susah, namun di sisi lain dengan mudah melanggar norma sosial, hukum, dan aturan, untuk melihat keluarganya bahagia dan terjamin masa depan mereka.
Dari perspektif ekonomi, tipikal Don Corleone adalah para ayah yang harus memastikan bahwa sebelum ia meninggal dunia, anak-anaknya sudah berada di zona nyaman masing-masing. Bagaimanapun caranya, apapun risikonya. Don Corleone mahir memainkan beragam peran demi mencapai tujuannya.
Don tak akan menampilkan diri seperti monster apalagi zombie yang meledak-ledak. Ia pun tidak terlihat seperti sosok sosiopat atau psikopat. Sebaliknya, tipikal Don Corleone akan berbicara hati-hati, kadang dengan intonasi lambat, atau cukup bergumam (mumbling) seperti dipraktikkan Marlon Brando yang membuat karakter ini menjadi begitu masyhur. Pada awalnya, tak ada kesan yang mengkhawatirkan lawan bicara bahwa ia seorang lelaki berbahaya. Sikapnya santun, terukur.
Masyarakat di seluruh dunia menjadi tersadar bahwa “Don Vito Corleone” sesungguhnya ada di sekitar mereka. Bisa dalam wujud kepala kampung, pemimpin agama, kepala sekolah, politisi terkenal, hingga presiden atau raja, dengan satu ciri utama yang sama: menempatkan kepentingan keluarga—terutama anak-anaknya—di atas kepentingan komunitas, kepentingan sosial, bahkan kepentingan bangsa dan negara.
Bermukim Di Ruang Angkasa
Dalam konteks ini, tafsir realisme psikologis yang dilakukan Marlon Brando dalam menghidupkan karakter Don Vito Corleone sudah melesat jauh dari sekadar perkara akting sinema. Marlon sedang memberikan pelajaran tentang salah satu karakter tertua di dunia sejak manusia hidup di gua hingga nanti bermukim di ruang angkasa: karakter “The Godfather”.
Maka kita bisa mengerti mengapa sebuah presentasi multimedia bertajuk “Marlon Brando: Rebel, Icon, Legend” sampai digelar di salah satu pusat perfilman dan pusat kesibukan umat manusia: New York, untuk mengingatkan bahwa karakter “Don Vito Corleone” sejatinya masih berkeliaran di sekitar kita. Tak harus dalam struktur hitam mafia.
Bisa saja dalam peran-peran sosial yang terlihat lebih mulia, namun sesungguhnya tetap berperilaku nista durjana. Jakarta, 18 November 2025. Sosiolog, penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional. Tanggapan atas tulisan ini bisa dikirimkan ke alamat kami. (Akmal Nasery Basral)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
