Opinion
Beranda » Berita » Berlebih-lebihan Dalam Islam, Bukan Ekstremisme dan Sekulerisme (Fitnah Barat)

Berlebih-lebihan Dalam Islam, Bukan Ekstremisme dan Sekulerisme (Fitnah Barat)

Berlebih-lebihan Dalam Islam, Bukan Ekstremisme dan Sekulerisme (Fitnah Barat)
Berlebih-lebihan Dalam Islam, Bukan Ekstremisme dan Sekulerisme (Fitnah Barat)
DAFTAR ISI

 

SURAU.CO – Ini mengkaji secara komprehensif perbedaan antara al-ghuluw (berlebih-lebihan) dalam Islam dan “ekstremisme” versi Barat. Berdasarkan kajian tafsir klasik dan analisis historis-ideologis, ditunjukkan bahwa Islam memiliki ukuran jelas dalam menentukan batas keseimbangan, sedangkan Barat menilai ekstremisme berdasarkan subjektivitas politik dan ideologi sekularisme.

Distorsi terhadap konsep wasathiyyah dari makna Qur’ani sebagai “umat terbaik dan adil” menjadi “jalan tengah antara dua ekstrem” merupakan bagian dari proyek kolonialisme intelektual untuk melemahkan ideologi Islam.

Makalah ini juga menyoroti bahaya penggunaan istilah “ekstrem” dalam dakwah dan pendidikan Islam, serta menyerukan kepada para dai dan cendekiawan agar menjaga kemurnian bahasa Qur’ani. Solusi yang ditawarkan adalah mengembalikan sistem berpikir dan hukum kepada wahyu Allah, sebagai jalan mengakhiri penjajahan ideologis sekularisme atas umat Islam.

𝗣𝗲𝗻𝗱𝗮𝗵𝘂𝗹𝘂𝗮𝗻

Dalam beberapa dekade terakhir, dunia Barat gencar menggunakan istilah “ekstremisme” dan “radikalisme” untuk menggambarkan umat Islam yang berkomitmen pada syariat. Narasi ini dibangun dalam konteks politik dan ideologi global yang berakar pada sekularisme suatu pandangan hidup yang memisahkan agama dari hukum, pemerintahan, dan kehidupan sosial.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Ironisnya, sebagian umat Islam tanpa sadar ikut mengadopsi istilah tersebut dalam kajian, khutbah, dan pendidikan, sehingga ukuran kebenaran bergeser dari wahyu kepada persepsi Barat. Inilah bentuk penjajahan epistemologis yang lebih halus dari kolonialisme fisik.

Islam sebenarnya telah memiliki konsep yang jauh lebih ilmiah dan moral, yaitu al-ghuluw  “berlebih-lebihan” yang diukur berdasarkan batasan Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, menyamakan ghuluw dengan ekstremisme adalah kekeliruan ilmiah dan syar‘i yang berpotensi menyesatkan arah dakwah umat.

𝗠𝗮𝗸𝗻𝗮 𝗔𝗹-𝗚𝗵𝘂𝗹𝘂𝘄 𝗕𝗲𝗿𝗱𝗮𝘀𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗧𝗮𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗦𝘆𝗮𝗿𝗶𝗮𝘁

Secara etimologis, ghuluw berasal dari kata ghalā–yaghluwū, yang berarti “melampaui batas yang seharusnya”. Dalam konteks syariat, ia berarti melampaui batas-batas yang telah ditetapkan oleh Allah dan Rasul-Nya, baik dalam keyakinan, ibadah, maupun sikap hidup.

Dalil-dalil Syari‘:
Al-Quran , Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:

“Wahai Ahli Kitab, janganlah kamu melampaui batas dalam agamamu, dan janganlah mengatakan terhadap Allah kecuali yang benar.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 77)

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Hadis Nabi ﷺ, Rasulullah ﷺ Bersabda;

“Hati-hatilah kalian dari berlebih-lebihan dalam agama, karena yang membinasakan umat sebelum kalian adalah berlebih-lebihan dalam agama.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i, dan Ibnu Majah)

Imam Ibnu Taimiyyah menafsirkan ghuluw sebagai tazyīd fī dīnillāh bimā lam yasyra‘hu Allāh, yakni menambah-nambah sesuatu dalam agama yang tidak pernah disyariatkan Allah.

Dengan demikian, dalam Islam, tolok ukur berlebih-lebihan bersifat objektif ditentukan oleh nash, bukan oleh selera sosial atau politik manusia.

𝗞𝗼𝗻𝘀𝗲𝗽 𝗪𝗮𝘀𝗮𝘁𝗵𝗶𝘆𝘆𝗮𝗵 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗧𝗮𝗳𝘀𝗶𝗿 𝗞𝗹𝗮𝘀𝗶𝗸

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

“Dan demikianlah Kami jadikan kamu umat yang wasath agar kamu menjadi saksi atas manusia.”
(QS. Al-Baqarah [2]: 143)

Dalam Tafsir Ibnu Katsir, wasath diartikan sebagai umat terbaik, paling adil, dan paling seimbang dalam menegakkan kebenaran.
Ibnu Katsir menulis:

«“Wasath ialah umat yang adil dan pilihan. Mereka tidak berlebih seperti kaum Nasrani, dan tidak pula lalai seperti kaum Yahudi.”»

Imam al-Qurthubi menjelaskan bahwa wasathiyyah berarti al-‘adl, keadilan yang menempatkan sesuatu sesuai hukum Allah. Bukan berarti “jalan tengah” yang kompromistis, tetapi posisi lurus dan kokoh di atas kebenaran.

Distorsi Makna oleh Sekularisme

Pada era modern, istilah wasathiyyah mengalami reduksi makna.
Para pemikir sekular dan orientalis memaknai “wasath” sebagai “moderasi” yakni jalan tengah antara dua ekstrem, padahal ini bukan makna Qur’ani.
Distorsi ini muncul bersamaan dengan agenda “Islam Moderat” yang digagas oleh lembaga-lembaga Barat seperti RAND Corporation (2004) dan USAID, untuk membentuk Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai demokrasi liberal.

𝗕𝗮𝗵𝗮𝘆𝗮 𝗟𝗼𝗴𝗶𝗸𝗮 “𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗧𝗲𝗻𝗴𝗮𝗵 𝗮𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗛𝗮𝗾 𝗱𝗮𝗻 𝗕𝗮𝘁𝗶𝗹”

Mengambil jalan tengah antara haq dan batil bukan menyeimbangkan, tapi justru menyimpangkan logika dan aqidah.
Beberapa contoh:

𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝘁𝗮𝘂𝗵𝗶𝗱 𝗱𝗮𝗻 𝘀𝘆𝗶𝗿𝗶𝗸, jalan tengahnya adalah musyrik modern: menyembah Allah sambil bergantung pada sistem kufur.
𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝗷𝘂𝗷𝘂𝗿 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝗼𝗵𝗼𝗻𝗴, jalan tengahnya adalah setengah bohong tetap batil.
𝗔𝗻𝘁𝗮𝗿𝗮 𝘀𝘆𝗮𝗿𝗶𝗮𝘁 𝗱𝗮𝗻 𝘀𝗲𝗸𝘂𝗹𝗮𝗿𝗶𝘀𝗺𝗲, jalan tengahnya adalah kompromi politik yang pada akhirnya menyingkirkan hukum Allah.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala menegaskan:

“Yang benar telah datang dan yang batil telah lenyap; sesungguhnya yang batil itu pasti lenyap.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 81)

Maka, wasathiyyah bukanlah “keseimbangan antara haq dan batil”, tetapi keseimbangan dalam ketaatan terhadap haq secara penuh tanpa berlebih dan tanpa mengabaikan.

𝗘𝗸𝘀𝘁𝗿𝗲𝗺𝗶𝘀𝗺𝗲 𝗩𝗲𝗿𝘀𝗶 𝗕𝗮𝗿𝗮𝘁: 𝗜𝗱𝗲𝗼𝗹𝗼𝗴𝗶 𝗧𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗧𝗮𝗸𝗮𝗿𝗮𝗻

Istilah “ekstrem kiri” dan “ekstrem kanan” berasal dari terminologi politik Eropa abad ke-18, bukan dari ajaran agama. Dunia Barat mendefinisikan ekstremisme sebagai menolak konsensus sosial dan politik yang dibuat manusia, bukan menolak kezaliman.

Konsep ini menyudutkan Islam dan buat setiap upaya menegakkan syariat jadi ancaman sistem sekular. Labelisasi ini hilangkan otoritas politik dan ideologis Islam.

Setelah tragedi 11 September 2001, berbagai pihak membentuk program internasional seperti “War on Terror”, “Countering Violent Extremism (CVE)”, dan “Global Peace Forum” untuk memonitor pesan dakwah, membatasi kurikulum Islam, bahkan mendanai lembaga yang mendorong tafsir “moderat”.

Akibatnya, istilah “ekstrem” menjadi alat ideologis untuk membungkam kebenaran Islam, bukan untuk menjaga keamanan.

𝗔𝗸𝗮𝗿 𝗜𝗱𝗲𝗼𝗹𝗼𝗴𝗶 𝗦𝗲𝗸𝘂𝗹𝗮𝗿𝗶𝘀𝗺𝗲: 𝗣𝗲𝗻𝗷𝗮𝗷𝗮𝗵𝗮𝗻 𝗮𝘁𝗮𝘀 𝗞𝗲𝘀𝗮𝗱𝗮𝗿𝗮𝗻 𝗨𝗺𝗮𝘁

Sekularisme berasal dari pengalaman traumatis Barat terhadap hegemoni gereja abad pertengahan.
Namun setelah melepaskan agama, Barat tidak menemukan kedamaian; justru lahir perang, kolonialisme, dan krisis moral.
Penjajah, pendidikan Barat, dan media global mengekspor ideologi ini ke dunia Islam.

Dalam prosesnya, sekularisme bekerja melalui tiga tahap:

  1. 𝗗𝗲𝗸𝗼𝗻𝘀𝘁𝗿𝘂𝗸𝘀𝗶 𝗻𝗶𝗹𝗮𝗶 𝘄𝗮𝗵𝘆𝘂: mengganti hukum Allah dengan hukum buatan manusia.
  2. 𝗗𝗶𝘀𝘁𝗼𝗿𝘀𝗶 𝗯𝗮𝗵𝗮𝘀𝗮 𝗮𝗴𝗮𝗺𝗮: mengubah istilah Qur’ani agar kehilangan makna aslinya.
  3. Rasa salah membuat umat takut menegakkan Islam secara kaffah karena takut dicap “ekstrem”.

Akibatnya, umat Islam terjajah secara kognitif. Mereka tinggalkan prinsip tauhid, malah bangga disebut “moderat”.

𝗗𝗮𝗺𝗽𝗮𝗸 𝗦𝗼𝘀𝗶𝗮𝗹 𝗱𝗮𝗻 𝗘𝗽𝗶𝘀𝘁𝗲𝗺𝗼𝗹𝗼𝗴𝗶𝘀 𝗗𝗶𝘀𝘁𝗼𝗿𝘀𝗶 𝗜𝗻𝗶

  1. Opini mayoritas menilai kebenaran, bukan wahyu, sehingga merusak pola pikir.
  2. Relativisme moral: batas halal-haram menjadi kabur.
  3. Para dai menghindari syariat yang menyeluruh agar tidak dicap radikal.
  4. 𝗞𝗲𝗵𝗮𝗻𝗰𝘂𝗿𝗮𝗻 𝗶𝗱𝗲𝗻𝘁𝗶𝘁𝗮𝘀: umat kehilangan kepercayaan diri terhadap nilai-nilai Islam.

Situasi ini menciptakan krisis epistemologis (al-azmah al-ma‘rifiyyah) yang menjauhkan umat dari sumber kekuatan spiritual dan peradaban.

𝗛𝗶𝗺𝗯𝗮𝘂𝗮𝗻 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗣𝗮𝗿𝗮 𝗗𝗮𝗶, 𝗨𝗹𝗮𝗺𝗮, 𝗱𝗮𝗻 𝗖𝗲𝗻𝗱𝗲𝗸𝗶𝗮𝘄𝗮𝗻

Wahai para dai, ustadz, dan cendekiawan Islam berhati-hatilah dalam menggunakan istilah “ekstrem” di atas mimbar dan dalam dakwah.
Sebab, istilah ini membawa muatan ideologis Barat yang berpotensi mengalihkan kekuatan berpikir jamaah dari makna Qur’ani kepada labelisasi sekular.

Musuh-musuh Islam memperkuat propaganda dengan istilah “ekstrem kanan” atau “Islam radikal” dalam narasi dakwah.

Islam tidak mengenal istilah ekstrem kanan atau kiri; Islam hanya mengenal ash-shirath al-mustaqīm jalan lurus di atas kebenaran yang terukur wahyu.

Maka, hendaknya setiap dai:

Menimbang setiap istilah dengan neraca syariat.
Tidak ikut mengulang narasi Barat dalam menyebut saudara seiman yang menegakkan hukum Allah.
Menyampaikan dakwah dengan hikmah, tetapi juga ketegasan prinsip.
Ingatlah, bahasa adalah benteng aqidah.
Korupsi bahasa merusak makna dan iman.

𝗦𝗼𝗹𝘂𝘀𝗶: 𝗞𝗲𝗺𝗯𝗮𝗹𝗶 𝗸𝗲𝗽𝗮𝗱𝗮 𝗪𝗮𝗵𝘆𝘂 𝗱𝗮𝗻 𝗣𝗲𝗻𝗲𝗴𝗮𝗸𝗮𝗻 𝗛𝘂𝗸𝘂𝗺 𝗔𝗹𝗹𝗮𝗵

a. Kembalikan Ukuran Kebenaran kepada Wahyu
Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:

“Barang siapa tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itulah orang-orang kafir.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 44)

Kebenaran bukan hasil kompromi manusia, tetapi datang dari wahyu.
Segala bentuk sistem dan hukum harus tunduk pada perintah Allah.

b. Rekonstruksi Bahasa dan Pemikiran Islam
Dai dan cendekiawan harus mengembalikan istilah Qur’ani seperti wasathiyyah, jihad, syariat, dan khilafah kepada makna aslinya. Dai dan cendekiawan memperkaya literatur klasik Islam.

c. Pendidikan Ideologis
Pendidikan Islam mesti membangun ‘aqliyyah Islamiyyah (pola pikir Islam) yang menghubungkan semua ilmu dengan tauhid dan hukum Allah.
Ini adalah benteng utama dari infiltrasi ideologi sekular dan liberal.

d. Penegakan Syariat sebagai Solusi Nyata
Umat Islam tidak akan kembali jaya tanpa penerapan hukum Allah secara total (kaffah).
Keadilan sejati hanya terwujud bila hukum, politik, ekonomi, dan sosial tunduk pada wahyu, bukan produk hawa nafsu manusia.

𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝗔𝗱𝗮𝗹𝗮𝗵 𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗟𝘂𝗿𝘂𝘀, 𝗕𝘂𝗸𝗮𝗻 𝗝𝗮𝗹𝗮𝗻 𝗧𝗲𝗻𝗴𝗮𝗵

Allah menetapkan Islam sebagai jalan lurus (ash-shirath al-mustaqīm), bukan kompromi antara dua ekstrem.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:

“Maka tetaplah engkau di atas jalan yang lurus sebagaimana diperintahkan kepadamu, dan janganlah melampaui batas.” (QS. Hūd [11]: 112)

Wasathiyyah sejati adalah keadilan yang bersumber dari ketaatan pada wahyu, bukan moderasi yang tunduk pada nilai-nilai Barat.
Ketika umat Islam kembali kepada hukum Allah, mereka akan kembali menjadi 𝙪𝙢𝙢𝙖𝙩𝙖𝙣 𝙬𝙖𝙨𝙖𝙩𝙝𝙖𝙣 𝘶𝘮𝘢𝘵 𝘵𝘦𝘳𝘣𝘢𝘪𝘬, 𝘢𝘥𝘪𝘭, 𝘥𝘢𝘯 𝘴𝘢𝘬𝘴𝘪 𝘢𝘵𝘢𝘴 𝘮𝘢𝘯𝘶𝘴𝘪𝘢.

𝙈𝙖𝙧𝙞 𝙠𝙞𝙩𝙖 𝙖𝙠𝙝𝙞𝙧𝙞 𝙥𝙚𝙣𝙟𝙖𝙟𝙖𝙝𝙖𝙣 𝙞𝙙𝙚𝙤𝙡𝙤𝙜𝙞𝙨 𝙨𝙚𝙠𝙪𝙡𝙖𝙧𝙞𝙨𝙢𝙚. dengan ilmu, dakwah, dan penegakan syariat.
Karena sesungguhnya berdasarkan Janji Allah dalam Firman-Nya:

“Yang batil pasti lenyap, dan yang haq pasti menang.” (QS. Al-Isrā’ [17]: 81)

𝗦𝗲𝗿𝘂𝗮𝗻 𝗞𝗲𝗯𝗮𝗻𝗴𝗸𝗶𝘁𝗮𝗻

Wahai saudara-saudariku seiman!
Kita tengah mengalami peperangan yang halus namun mematikan bukan peperangan senjata, melainkan peperangan bahasa, akidah, dan akal. Di antara kita telah meradang sebuah penyakit tersembunyi: sekukerisme, sekular yang menyamar, istilah asing yang merusak bahasa wahyu, membingkai kebenaran dengan syarat-syarat manusia, dan menenggelamkan hukum Allah dalam ranah kekuasaan.

Jangan lagi kita berpaling! Jangan lagi kita tunduk pada narasi yang menuntut kita menukar wahyu demi penerimaan sosial. Mereka yang membawa gagasan itu boleh tampil berwajah lembut di mimbar, tetapi ide itu berbahaya, ia merongrong akidah, melemahkan ukhuwah, dan menggerogoti dasar hukum yang Allah turunkan. Kita tidak sedang berdebat sekadar kata; kita sedang mempertahankan masa depan ummah identitas, kehormatan, dan hak untuk hidup sebagaimana yang Allah perintahkan.

Oleh karena itu, saya serukan dengan suara lantang:

  1. Bongkar gagasan, jangan biarkan mereka bersembunyi di balik kata “moderasi”. Tuntaskan setiap klaim dengan nash. Uji setiap istilah pada tolok ukur Al-Qur’an dan Sunnah. Jika suatu istilah menyingkirkan wahyu, tolaklah.
  2. Laporkan dan edukasi. Di setiap majelis, pesantren, dan ruang publik — ada kewajiban untuk mengedukasi tentang sumber-sumber ide. Buka diskusi, hadapkan pada teks, jangan biarkan opini miskin ilmu menjadi norma.
  3. Perkuat literasi bahasa Qur’ani. Ajarkan makna wasathiyyah, ghuluw, jihad, dan syariat sebagaimana para ulama klasik memahaminya bukan sekadar terjemahan politis.
  4. Bentuk penjaga kultural. Bentuk tim kajian, unit literasi dakwah, dan forum ulama-muda untuk memverifikasi materi khutbah, modul, dan kurikulum agar tak menjadi medium penyusupan ide asing.
  5. Bersikap tegas namun adil. Lawan gagasan, bukan manusia. Selalu ajak kembali dengan hikmah, dalil, dan akhlak. Namun jangan ragu mengeluarkan pembelaan tegas terhadap hak syariat untuk hidup di ruang publik umat.

Bangkitlah! Jadilah generasi yang tidak terbuai oleh label, tetapi termotivasi oleh kebenaran. Jadikan masjid-masjid, madrasah-madrasah, dan ruang publik kita sebagai benteng ilmu, bukan lahan eksperimen ide asing.

Instruksi Taktis untuk Dai & Penggerak Dakwah

Saringlah materi khutbah dan kurikulum: uji setiap materi dengan panel ilmiah (ulama + akademisi).

Adakan sesi literasi publik: seminar “Membedah Sekukerisme” yang menjelaskan cara kerja narasi ideologis.

Publikasikan counter-narrative: artikel, video singkat, dan infografik yang mengembalikan makna istilah Qur’ani.

Pelatihan retorika berbasis nash: latih dai berbicara tegas, ilmiah, dan persuasif tanpa provokasi.

Bangun jaringan intelektual: kolaborasi pesantren, universitas Islam, dan media dakwah untuk memproduksi kajian terjemah tafsir klasik dan kritik modern.

Penutup

Wahai umat yang diridhai Allah! Jika kita ingin menjadi ummatan wasathan bukan dalam arti kompromis, tetapi sebagai umat yang adil dan tegak atas haq maka hari ini adalah saatnya memurnikan bahasa kita, menghidupkan kembali sistem pemikiran Islam, dan menyingkirkan gagasan yang merusak dari panggung kehidupan umat.
Bukan dengan kebencian kepada manusia, tetapi dengan kecintaan pada kebenaran; bukan dengan balas dendam, tetapi dengan pembenahan ilmiah dan dakwah yang penuh hikmah.

𝗝𝗮𝗱𝗶𝗹𝗮𝗵 𝗯𝗮𝗴𝗶𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗿𝗶 𝗮𝗿𝘂𝘀 𝗸𝗲𝗯𝗮𝗻𝗴𝗸𝗶𝘁𝗮𝗻 𝗽𝗲𝗿𝗮𝗱𝗮𝗯𝗮𝗻 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝘆𝗮𝗻𝗴 𝗯𝗲𝗿𝗸𝗲𝗮𝗱𝗶𝗹𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗸𝗲𝗺𝗮𝗷𝘂𝗮𝗻 𝗯𝗲𝗿𝗱𝗮𝘀𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗪𝗮𝗵𝘆𝘂 𝗜𝗹𝗮𝗵𝗶.

𝙂𝙚𝙧𝙖𝙠𝙖𝙣 𝙍𝙖𝙠𝙮𝙖𝙩 𝘽𝙚𝙧𝙨𝙖𝙩𝙪 𝘽𝙚𝙧𝙖𝙣𝙩𝙖𝙨 𝙃𝘼𝙈𝘼 𝙋𝙊𝙇𝙄𝙏𝙄𝙆 𝘿𝙚𝙢𝙤𝙠𝙧𝙖𝙨𝙞 𝙎𝙚𝙠𝙪𝙡𝙚𝙧 𝙬𝙖𝙧𝙞𝙨𝙖𝙣 𝙋𝙚𝙙𝙖𝙡𝙖𝙢𝙖𝙣 𝙋𝘼𝙂𝘼𝙉 𝙔𝙪𝙣𝙖𝙣𝙞 𝙆𝙐𝙉𝙊

Bangkitlah—dengan ilmu, dengan bahasa wahyu, dan dengan keberanian moral. (Rahmat Daily)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement