Khazanah
Beranda » Berita » Pesan Penutup Kitab Bahjatul Wasail: Mewujudkan Kehidupan Islami yang Penuh Rahmat

Pesan Penutup Kitab Bahjatul Wasail: Mewujudkan Kehidupan Islami yang Penuh Rahmat

Ulama membaca kitab Bahjatul Wasail di bawah cahaya senja, simbol rahmat dan kebijaksanaan Islam.
Gambar menggambarkan suasana reflektif dan damai, simbol perjalanan spiritual menuju rahmat Allah sebagaimana diajarkan Syekh Nawawi.

Surau.co. Pesan penutup Bahjatul Wasail – Dalam karya monumental Bahjatul Wasail, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani menutup penjelasan panjangnya dengan nasihat yang lembut sekaligus mendalam. Penutup kitab ini tidak hanya merangkum ajaran, tetapi juga menawarkan panduan hidup yang menuntun umat Islam agar menjadikan setiap aspek keseharian sebagai jalan menuju rahmat Allah. Karena itu, pesan tersebut tetap relevan hingga kini, terutama di tengah kehidupan modern yang serba cepat dan sering menjauhkan manusia dari nilai-nilai rohani.

Menapaki Jalan Rahmat di Tengah Kehidupan Modern

Setiap hari, manusia berlari mengejar rutinitas: bekerja, berinteraksi, dan menuntaskan tuntutan duniawi. Namun, di balik kesibukan itu, banyak hati merasa kosong. Karena itu, Syekh Nawawi melalui Bahjatul Wasail mengingatkan bahwa kehidupan Islami sejati bukan hanya menjalankan ritual, tetapi juga menghadirkan rahmat dalam setiap tindakan—baik kepada diri sendiri, sesama manusia, maupun alam semesta.

Beliau menulis:

قال الشيخ محمد النواوي: “من أراد السعادة في الدارين فليجعل الإحسان ديدنه، والرحمة شعاره، فإن الله رحيم يحب الرحماء.”

“Barang siapa menginginkan kebahagiaan di dua alam, hendaklah ia menjadikan kebaikan sebagai kebiasaannya dan kasih sayang sebagai semboyannya, karena Allah Maha Penyayang dan mencintai orang-orang yang penyayang.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Melalui pesan tersebut, Syekh Nawawi menegaskan bahwa rahmat Allah hanya turun pada hati yang lembut dan kehidupan yang dipenuhi kasih. Di era sekarang, ketika banyak orang mudah menghakimi dan menyebarkan kebencian, ajaran ini kembali menjadi oase yang menenteramkan.

Meneladani Kasih Sayang Rasulullah

Selanjutnya, Syekh Nawawi menuntun pembacanya untuk meneladani kasih sayang Rasulullah ﷺ. Menurut beliau, kehidupan Islami yang penuh rahmat lahir dari akhlak Nabi yang lembut, empatik, dan penuh welas asih.

قال النبي ﷺ:
“الرَّاحِمُونَ يَرْحَمُهُمُ الرَّحْمٰنُ، ارْحَمُوا مَنْ فِي الْأَرْضِ يَرْحَمْكُمْ مَنْ فِي السَّمَاءِ.”
“Orang-orang yang penyayang akan disayangi oleh Yang Maha Penyayang. Sayangilah siapa pun yang ada di bumi, niscaya yang di langit akan menyayangimu.” (HR. Tirmidzi)

Syekh Nawawi menafsirkan hadis ini dengan penjelasan yang lembut namun menembus hati: kasih sayang bukan sekadar belas kasihan, tetapi dorongan spiritual untuk berbuat baik tanpa pamrih. Karena itu, kehidupan Islami yang sejati adalah kehidupan yang tumbuh dari cinta, bukan dari kebencian.

Harmoni antara Ibadah dan Akhlak

Sering kali manusia menilai kesalehan hanya dari sisi ritual. Namun demikian, Bahjatul Wasail mengingatkan bahwa ibadah harus berjalan seiring dengan akhlak. Syekh Nawawi menulis:

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

“العِبَادَةُ بلا خُلُقٍ كالْجَسَدِ بلا رُوحٍ.”
“Ibadah tanpa akhlak bagaikan jasad tanpa ruh.”

Pernyataan ini menegaskan bahwa amal saleh tidak akan hidup bila tidak disertai akhlak mulia. Karena itu, kesalehan tidak hanya terwujud dalam shalat dan puasa, tetapi juga dalam tutur kata yang baik, kejujuran dalam bekerja, dan empati terhadap sesama. Pada titik inilah Islam menunjukkan keseimbangannya: ia menyatukan dimensi lahir dan batin sehingga rahmat Allah hadir melalui tindakan sehari-hari.

Menghidupkan Spirit Keikhlasan

Pada bagian akhir kitabnya, Syekh Nawawi kembali menekankan pentingnya keikhlasan sebagai inti kehidupan spiritual. Beliau menulis:

“الإخلاص سرّ القبول، ومن فقده حُرِمَ النور.”
“Keikhlasan adalah rahasia diterimanya amal; siapa yang kehilangannya, ia akan terhalang dari cahaya.”

Keikhlasan menjadikan setiap amal bermakna. Tanpanya, ibadah hanya menjadi rutinitas kosong. Dalam keseharian, keikhlasan tampak ketika seseorang menolong tanpa pamrih, bekerja dengan niat ibadah, dan berbuat baik tanpa menunggu pujian.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Allah ﷻ menegaskan dalam Al-Qur’an:

إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لَا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلَا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makan kepada kalian hanya karena mengharap ridha Allah; kami tidak menginginkan balasan ataupun ucapan terima kasih.” (QS. Al-Insan: 9)

Ayat ini sejalan dengan pesan Syekh Nawawi bahwa amal harus dimurnikan dari ambisi dunia.

Pesan Penutup: Membangun Kehidupan yang Penuh Rahmat

Pada penutup Bahjatul Wasail, Syekh Nawawi mengalirkan doa yang sekaligus menjadi seruan moral bagi umat Islam:

“اللهم اجعلنا من عبادك الذين تحيا قلوبهم بنور الرحمة، وتصفو أعمالهم بالإخلاص، وتزكو حياتهم بالخير.”
“Ya Allah, jadikanlah kami hamba-hamba-Mu yang hidup hatinya dengan cahaya kasih sayang, bersih amalnya dengan keikhlasan, dan tumbuh hidupnya dalam kebaikan.”

Doa ini menegaskan bahwa Bahjatul Wasail bukan hanya kitab ilmu, tetapi juga kitab kehidupan. Melalui ajarannya, Syekh Nawawi mengajak umat Islam membangun peradaban yang lembut, penuh cinta, dan sarat ketulusan.

Di tengah dunia yang sering terbelah oleh ego dan kepentingan, pesan tersebut semakin bernilai. Apabila umat Islam meneladani ajaran ini, mereka tidak hanya menjadi pribadi yang tenteram, tetapi juga menjadi sumber kedamaian bagi masyarakat yang haus ketulusan.

Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement