Surau.co. Di era modern, masyarakat menyaksikan bagaimana ilmu pengetahuan melaju cepat, tetapi tidak selalu membawa dampak moral yang sepadan. Kemajuan teknologi sering berjalan tanpa etika. Kecerdasan intelektual tumbuh pesat, sementara kedalaman spiritual kerap menipis. Fenomena ini sebenarnya sudah dikritik ratusan tahun lalu oleh Imam Abu Hamid al-Ghazali melalui karya monumentalnya Al-Munqidz min ad-Dhalal. Kritik tajam dalam kitab tersebut relevan kembali hari ini, terutama ketika banyak orang mencintai pengetahuan tetapi melupakan akhlak.
Sejak paragraf awal pembahasan, konsep “ilmu yang kehilangan orientasi moral” menjadi kunci yang menjelaskan keresahan Imam Ghazali. Beliau melihat banyak cendekiawan yang mengagumi rasionalitas, tetapi mengabaikan kebersihan hati. Maka, artikel ini menguraikan relevansi kritik tersebut dalam konteks kehidupan intelektual masa kini.
Ilmu yang Terlepas dari Moralitas: Akar Krisis Intelektual
Fenomena krisis moral dalam dunia intelektual bukan hal baru. Banyak orang mengejar ilmu demi gengsi akademik, kompetisi sosial, atau ambisi pribadi. Mereka mengumpulkan argumentasi, literatur, dan data, namun tidak menundukkan diri pada pembentukan akhlak. Di titik inilah kritik Imam Ghazali menjadi sangat relevan, sebab Al-Munqidz menegaskan bahwa ilmu tanpa orientasi moral hanya akan menghasilkan kesombongan.
Imam Ghazali menggambarkan hal itu dalam ungkapannya:
“فَبِالْعِلْمِ يَسْتَعْلِي الْعَالِمُ وَقَدْ يَغْتَرُّ بِمَعْرِفَتِهِ”
“Dengan ilmu, seseorang dapat meninggi dan terkadang terpedaya oleh pengetahuannya.”
Peringatan tersebut mengajak pembaca memahami bahwa ilmu dapat menjadi sumber cahaya, tetapi juga dapat berubah menjadi jalan kegelapan ketika tidak disertai kesadaran moral. Karena itu, pembelajaran yang ideal menuntut keterhubungan antara akal, hati, dan amal.
Di sisi lain, Al-Qur’an mengingatkan bahaya kecerdasan yang tidak diimbangi ketakwaan. Allah berfirman:
“يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ”
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang beriman dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadalah: 11)
Ayat tersebut menggambarkan syarat penting: iman mendahului ilmu. Ketika iman hilang, ilmu tidak lagi mengangkat derajat, tetapi justru menjerumuskan.
Kritik Imam Ghazali kepada Kaum Intelektual Yang Terjebak Rasionalitas Kering
Dalam Al-Munqidz, Imam Ghazali mengkritik para filosof dan ilmuwan yang hanya mengandalkan logika tanpa mengasah dimensi spiritual. Mereka menimbang segalanya dengan akal, mengukur yang gaib dengan logika, dan memandang agama sebagai perangkat moral bagi orang awam saja. Kritik ini bukan menolak rasionalitas, tetapi menolak pemutusan akal dari kesucian hati.
Beliau menegaskan:
“إِنَّ الْعَقْلَ لَا يَسْتَقِلُّ بِمَعْرِفَةِ الْحَقِّ دُونَ نُورٍ يَقْذِفُهُ اللَّهُ فِي الْقُلُوبِ”
“Akal tidak dapat berdiri sendiri untuk mengetahui kebenaran tanpa cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati.”
Ungkapan ini menunjukkan bahwa kebenaran sejati bukan hanya hasil olah nalar, tetapi juga limpahan cahaya batin. Maka, kaum intelektual yang meremehkan penyucian hati akan terjebak pada pencarian kebenaran yang timpang.
Hadits Nabi juga mempertegas bahaya ilmu tanpa petunjuk moral:
“مَنْ ازْدَادَ عِلْمًا وَلَمْ يَزْدَدْ هُدًى لَمْ يَزْدَدْ مِنَ اللَّهِ إِلَّا بُعْدًا”
“Siapa yang bertambah ilmunya tetapi tidak bertambah petunjuknya, tidak bertambah baginya kecuali semakin jauh dari Allah.” (HR. Ad-Dailami)
Hadits tersebut menggambarkan bahwa ilmu bukan sekadar informasi, tetapi juga tanggung jawab spiritual.
Ketika Ilmu Menjadi Sumber Kesombongan: Bahaya yang Imam Ghazali Tekankan
Imam Ghazali mengamati para ulama debat dan para filosof yang sibuk mempertahankan argumen, tetapi tidak peduli pada ketulusan hati. Mereka merasa lebih unggul hanya karena kemampuan logika. Dalam kondisi ini, ilmu berubah menjadi sumber kesombongan, bukan sumber kedekatan dengan Allah.
Beliau menggambarkan kondisi itu dalam Al-Mufī fī ad-Dīn:
“كَمْ مِنْ عَالِمٍ أَهْلَكَهُ عِلْمُهُ لِأَنَّهُ طَلَبَ بِهِ الرِّيَاسَةَ”
“Betapa banyak orang alim yang binasa karena ilmunya, sebab ia mencari kedudukan dengannya.”
Ketika orientasi moral hilang, ilmu dapat melahirkan ambisi buruk, ego intelektual, serta penyakit batin yang merusak masyarakat. Oleh karena itu, Imam Ghazali menekankan bahwa penyucian hati harus berjalan seiring dengan pencarian ilmu.
Dalam konteks ini, al Qur’an menerangkan:
“أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ”
“Tidakkah engkau melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?” (QS. Al-Jatsiyah: 23)
Ilmu tanpa moral membuat hawa nafsu berbaju rasionalitas. Pemikiran tampak cerdas, tetapi hatinya gelap.
Mengembalikan Ilmu ke Jalan yang Benar: Kebutuhan Zaman Modern
Imam Ghazali tidak hanya mengkritik, tetapi juga menawarkan jalan keluar. Jalan tersebut adalah integrasi antara ilmu (‘ilm), amal (‘amal), dan penyucian hati (tazkiyah). Orientasi moral menjadi kompas yang mengarahkan penggunaan ilmu.
Dalam penjelasannya, beliau menggambarkan bahwa ilmu sejati harus mendekatkan manusia kepada Allah, bukan menjauhkannya:
“الْعِلْمُ مَا قَرَّبَكَ مِنَ الْآخِرَةِ وَأَبْعَدَكَ عَنِ الدُّنْيَا”
“Ilmu sejati ialah yang mendekatkanmu kepada akhirat dan menjauhkanmu dari kecintaan berlebihan kepada dunia.”
Karena itu, seorang penuntut ilmu perlu mengembangkan kesadaran akan amanah intelektual, bukan hanya kemampuan akademik. Dengan kata lain, ilmu harus memberi manfaat, memperbaiki karakter, serta memperhalus budi pekerti.
Para ulama lain juga menegaskan hal serupa. Ibnu Qayyim berkata:
“العِلْمُ نُورٌ، وَنُورُ اللهِ لَا يُؤْتَى لِعَاصٍ”
“Ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak diberikan kepada pendosa.”
Pernyataan ini menegaskan bahwa moralitas adalah syarat mutlak bagi keberkahan ilmu.
Ilmu, Spiritualitas, dan Kebermaknaan Hidup
Di era informasi, manusia mengakses pengetahuan dengan cepat, tetapi tidak semua pengetahuan itu membawa kedamaian. Banyak orang pintar hidup gelisah. Banyak sarjana hidup tanpa arah. Fenomena ini menunjukkan pentingnya integrasi antara akal dan hati.
Imam Ghazali memperingatkan bahwa ketenangan batin tidak lahir dari kecerdasan, tetapi dari kedekatan dengan Allah. Ilmu membantu memahami dunia, namun spiritualitas membantu memahami diri. Ketika keduanya bersatu, lahirlah pribadi yang utuh.
Al-Qur’an menggambarkan keseimbangan ini:
“أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ”
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.” (QS. Ar-Ra’d: 28)
Dengan demikian, kritik Imam Ghazali bukan sekadar kritik intelektual, tetapi ajakan untuk kembali kepada keseimbangan yang menjadi fondasi peradaban Islam.
Penutup: Cahaya yang Menuntun Ilmu
Kebenaran tidak hanya berdiri di atas argumentasi, tetapi juga ditempa oleh ketulusan. Ilmu tanpa orientasi moral ibarat kapal tanpa kompas, bergerak tetapi tidak tahu arah. Kata-kata Imam Ghazali hadir untuk mengingatkan manusia bahwa kecerdasan tanpa keimanan akan kehilangan makna.
Pada akhirnya, ilmu yang bermanfaat adalah ilmu yang menuntun, bukan menyesatkan. Ilmu yang menghidupkan hati, bukan meninggikannya. Ilmu yang membuat seseorang semakin rendah hati ketika memahami luasnya pengetahuan Allah. Semoga setiap pembaca menemukan kembali cahaya yang mengarahkan langkah, sebagaimana pesan Imam Ghazali yang selalu relevan lintas zaman.
*Gerwin Satria N
Pegiat litersi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
