Khazanah
Beranda » Berita » Ketika Logika Tidak Menenangkan: Kritik Imam Ghazali terhadap Filosof yang Terlalu Rasional

Ketika Logika Tidak Menenangkan: Kritik Imam Ghazali terhadap Filosof yang Terlalu Rasional

Ilustrasi ulama memadukan cahaya spiritual dan logika dalam suasana klasik.
Seorang ulama duduk di atas lantai perpustakaan klasik, cahaya lembut turun menyinari kitab di pangkuannya. Di belakangnya tampak siluet bangunan filsafat dengan struktur geometris yang rumit, menggambarkan logika

Surau.co. Di tengah derasnya arus pemikiran modern yang sangat menyanjung logika, banyak orang mulai percaya bahwa semua persoalan hidup bisa diselesaikan dengan nalar murni. Namun, pengalaman manusia tidak sesederhana rumus matematika. Ada kegelisahan yang tak dapat dijelaskan oleh analisis rasional, ada luka batin yang tidak sembuh hanya dengan argumentasi logis, dan ada keheningan spiritual yang tidak muncul dari debat intelektual.

Di sinilah pemikiran Imam Ghazali menjadi relevan. Melalui karya terkenalnya, Al-Munqidz min ad-Dhalal wa al-Mufī fi ad-Dīn, Imam Ghazali memberikan kritik mendalam terhadap para filosof yang terlalu mengandalkan kekuatan akal hingga melupakan dimensi spiritual manusia. Kritik ini bukan sekadar bantahan teoritis, tetapi sebuah panggilan agar manusia kembali menyadari keterbatasan akal dan pentingnya cahaya hidayah.

Logika memang alat yang luar biasa, namun dalam banyak momen kehidupan — terutama saat hati dilanda kecemasan — logika tidak selalu menenangkan. Artikel ini mengajak pembaca memahami bagaimana Imam Ghazali menawarkan jalan seimbang: menggunakan akal seperlunya, namun tetap bergantung pada cahaya batin yang bersumber dari Tuhan.

Kritik Imam Ghazali : Filosof dan Ketergantungan Berlebihan pada Rasionalitas

Para filosof klasik seperti al-Farabi dan Ibn Sina berupaya membangun sistem pengetahuan yang sepenuhnya bertumpu pada rasionalitas. Rasionalitas menjadi puncak kebenaran, bahkan seringkali dianggap lebih tinggi daripada pengalaman spiritual. Imam Ghazali mengamati kecenderungan ini dengan hati-hati. Menurut pengamatannya, kecerdasan mereka sangat tajam, tetapi justru ketajaman itu yang menyebabkan sebagian dari mereka terperangkap dalam keangkuhan intelektual. Dalam Al-Munqidz min ad-Dhalal, terdapat ungkapan tegas:

“وَلَمْ يَزَلْ يَتَجَرَّدُ لِطَلَبِ الْحَقِّ حَتَّى صَارَ شَكُّهُ فِي كُلِّ شَيْءٍ إِلَّا فِي الشَّكِّ نَفْسِهِ”
“Terus menerus mendalami pencarian hakikat, hingga keraguannya meliputi semua hal kecuali keraguan itu sendiri.”

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ungkapan tersebut menggambarkan betapa pencarian kebenaran yang hanya mengandalkan akal seringkali berujung pada keraguan tak berkesudahan. Manusia memang dianugerahi kemampuan berpikir, tetapi kemampuan itu memiliki batas. Ketika akal dipaksa menjelaskan apa yang hanya bisa disentuh oleh nurani, kegelisahan pun muncul. Melalui narasi itu, Imam Ghazali ingin mengingatkan bahwa ada wilayah-wilayah pengetahuan yang tidak tunduk kepada logika semata.

Kritik ini tidak berarti menolak logika. Justru Imam Ghazali menghargai logika sebagai metode penting. Namun, jika logika dijadikan standar mutlak untuk mengukur kebenaran, manusia akan kehilangan ketenangan. Fakta ini terlihat dari banyak pengalaman spiritual umat manusia. Ada kalimat bijak Imam Juwayni yang sering dikutip:

“الْعَقْلُ قَاصِرٌ وَالنُّورُ هَادٍ”
“Akal itu terbatas, sedangkan cahaya Ilahi adalah penuntun.”

Ungkapan tersebut menggarisbawahi gagasan utama bahwa kemampuan akal harus bersandar kepada cahaya spiritual agar tidak tersesat dalam keraguan yang melelahkan.

Ketika Logika Tidak Mampu Menjawab Kegelisahan Manusia

Realitas hidup banyak diwarnai oleh situasi yang tidak dapat dijelaskan secara rasional. Misalnya, ada orang yang berkali-kali menimbang persoalan hidupnya secara logis, tetapi tetap merasa bimbang. Ada pula yang menyusun rencana hidup sangat rapi, namun tetap dikejutkan oleh kejadian tak terduga. Dalam kondisi seperti ini, logika berhenti memberi jawaban, sementara hati meminta pegangan yang lebih dalam. Imam Ghazali memahami fenomena ini sehingga dalam Al-Munqidz, ditegaskan:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

“لَا مَفَرَّ مِنْ رُكُوبِ خَطَرٍ لَا يَنْجُو مِنْهُ إِلَّا بِنُورٍ يُقْذَفُ فِي الْقَلْبِ”
“Tidak ada jalan keluar dari kebingungan kecuali dengan cahaya yang dilemparkan ke dalam hati.”

Pernyataan itu tidak hanya bersifat filosofis, tetapi juga psikologis. Cahaya yang menerangi hati tidak muncul dari metode logis, tetapi dari kedekatan dengan Tuhan. Ketika manusia bersandar hanya pada logika, rasa damai sulit terasa. Namun ketika hati disinari spiritualitas, kedamaian hadir tanpa harus menjawab semua teka-teki kehidupan.

Al-Qur’an memberikan penegasan tentang kondisi hati yang mendapatkan ketenangan bukan dari logika, tetapi dari mengingat Allah. Dalam Surah Ar-Ra’d ayat 28 disebutkan:

“أَلَا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ”
“Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang.”

Ayat tersebut menunjukkan bahwa kedamaian batin memiliki sumber yang berbeda dari argumentasi rasional. Perenungan spiritual menembus lapisan terdalam diri manusia, memberikan ketenangan yang tidak bisa diberikan oleh logika.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam Ghazali dan Jalan Tengah antara Logika dan Spiritualitas

Salah satu kontribusi terbesar Imam Ghazali adalah usahanya menempatkan akal dan spiritualitas secara seimbang. Dalam pandangannya, akal adalah alat penting untuk memahami hukum syariat, menata kehidupan, dan menggali hikmah. Namun, akal tidak boleh menjadi penguasa tunggal. Dalam Al-Munqidz, Imam Ghazali menyampaikan:

“الْعَقْلُ أَدَاةٌ وَالْهُدَى نُورٌ، وَمَنْ جَعَلَ الْأَدَاةَ نُورًا ضَلَّ”
“Akal adalah alat, sedangkan hidayah adalah cahaya. Siapa yang menjadikan alat sebagai cahaya pasti tersesat.”

Ungkapan ini menegaskan bahwa akal bekerja seperti mata, tetapi cahaya kebenaran datang dari Tuhan. Tanpa cahaya Ilahi, mata tidak dapat melihat. Sebaliknya, tanpa mata, manusia tidak dapat memanfaatkan cahaya. Artinya, keseimbangan menjadi kunci. Imam Ghazali mengajak manusia untuk memadukan ilmu rasional dengan kedalaman batin, sehingga kehidupan menjadi utuh dan lebih bermakna.

Keseimbangan itu diperkuat oleh sabda Nabi Muhammad ﷺ:

“لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ”
“Kaya bukanlah karena banyaknya harta, tetapi kaya adalah kaya hati.”
(HR. Bukhari)

Sabda tersebut meneguhkan bahwa ketenangan dan kebahagiaan sejati muncul dari keadaan batin, bukan dari kecakapan berpikir atau keberhasilan duniawi. Rasionalitas membantu manusia berpikir jernih, tetapi kekayaan hati membutuhkan dimensi yang melampaui logika.

Menggali Kedalaman Batin sebagai Penyeimbang Rasionalitas

Banyak pemikir modern mengakui bahwa logika tidak mampu menjawab semua persoalan manusia. Riset psikologi kontemporer menunjukkan bahwa keputusan manusia sering ditentukan oleh intuisi, pengalaman batin, dan kondisi emosional. Imam Ghazali sudah menyadari hal ini berabad-abad sebelumnya. Oleh karena itu, dia menempatkan latihan ruhani sebagai jalan untuk memperkuat batin agar tidak mudah terombang-ambing oleh keraguan intelektual.

Imam Ghazali menegaskan:

“مَنْ لَمْ يُزَكِّ نَفْسَهُ لَا يَرَى الْحَقَّ وِلَوْ عَرَضَ عَلَيْهِ”
“Siapa yang tidak menyucikan jiwanya tidak akan melihat kebenaran meskipun kebenaran itu di hadapannya.”

Ungkapan ini menunjukkan bahwa kejernihan batin lebih menentukan daripada ketajaman logika. Ketika hati bersih, manusia lebih mudah melihat hikmah dalam setiap peristiwa. Sebaliknya, ketika hati keruh, seluruh keindahan hidup terasa hambar. Dalam kondisi seperti itu, rasionalitas yang paling sempurna pun tidak menghasilkan ketenangan.

Penutup

Kritik Imam Ghazali terhadap filosof yang terlalu rasional bukanlah ajakan untuk meninggalkan akal, melainkan ajakan untuk kembali menemukan sumber ketenangan sejati. Logika sangat berguna, tetapi tidak cukup untuk memahami seluruh misteri kehidupan. Ada ruang sunyi dalam diri manusia yang hanya bisa terisi oleh cahaya Ilahi. Dalam ruang itulah kedamaian tumbuh, dan dari sanalah arah hidup menjadi jelas.

Ketika manusia menyadari bahwa logika bukan satu-satunya penopang hidup, hati menjadi lebih lapang. Setiap langkah terasa lebih ringan karena disandarkan pada keyakinan, bukan sekadar perhitungan. Cahaya batin yang menerangi perjalanan menjadi penuntun yang tak pernah padam. Dan pada akhirnya, manusia kembali memahami bahwa kebijaksanaan sejati lahir dari perpaduan akal yang jernih dan hati yang hidup.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement