Khazanah
Beranda » Berita » Mencari Kebenaran di Era Hoaks: Pelajaran dari Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz

Mencari Kebenaran di Era Hoaks: Pelajaran dari Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Munqidz

ilustrasi Imam Al-Ghazali mencari kebenaran di era hoaks
Seorang ulama berjubah duduk di ruang perpustakaan kuno, memegang kitab, sementara di belakangnya terlihat bayangan simbol-simbol informasi digital.

Surau.co. Pada zaman ketika pesan singkat dapat tersebar ke ribuan orang hanya dalam hitungan detik, mencari kebenaran menjadi perjalanan yang semakin melelahkan. Di era hoaks seperti hari ini, kebenaran berserakan, bercampur dengan prasangka, opini, potongan fakta, dan manipulasi. Kita hidup pada masa ketika berita palsu mempengaruhi politik, agama, bahkan hubungan antarindividu. Tanpa disadari, kita perlahan kehilangan kepekaan terhadap apa yang benar dan apa yang sekadar bising.

Dalam situasi semacam ini, pelajaran dari seorang ulama besar seperti Imam Al-Ghazali menjadi sangat relevan. Dalam karyanya Al-Munqidz min ad-Dhalal, beliau menggambarkan perjalanan intelektual dan spiritual yang panjang dalam mencari kebenaran. Perjalanan itu penuh keraguan, pencarian metodologis, kegelisahan batin, hingga akhirnya menemukan pijakan kokoh yang menjadi fondasi iman dan pemikiran Islam selama berabad-abad. Hari ini, kita membutuhkan kembali laku pencarian ala Al-Ghazali: sabar, kritis, jernih, dan penuh keikhlasan.

Kegelisahan Al-Ghazali dan Kegelisahan Kita

Imam Al-Ghazali mengawali Al-Munqidz dengan satu pengakuan yang sangat manusiawi: beliau meragukan segalanya demi menemukan kebenaran yang sungguh-sungguh. Beliau berkata:

فَلَمْ أَزَلْ فِي سِجَالٍ مِنْهَا وَجِدَالٍ وَفِي إِرْسَالٍ وَارْتِيَادٍ
“Aku terus menerus berada dalam pergulatan dan perdebatan, dalam pencarian yang tiada henti dan usaha yang berkelanjutan.”

Kegelisahan itu muncul karena dirinya tidak mau menerima sesuatu hanya berdasarkan kebiasaan atau taklid. Ia ingin memastikan bahwa keyakinan harus lahir dari pengetahuan yang teguh, bukan sekadar warisan sosial.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Di era digital, kegelisahan yang sama muncul pada masyarakat kita. Informasi datang begitu cepat sehingga kita sering gagal membedakan pengetahuan dari sekadar opini. Transisi antarplatform membuat kita lebih cepat percaya daripada menimbang. Ketika masyarakat sudah terbiasa dengan ritme instan, ketelitian menjadi barang langka.

Padahal, Al-Qur’an telah mengingatkan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang beriman, jika datang kepada kalian seseorang yang fasik membawa kabar, maka telitilah.” (QS. Al-Hujurat: 6)

Ayat ini menegaskan bahwa verifikasi bukan hanya tugas intelektual, melainkan juga perintah moral.

Kebenaran Tidak Cukup Dicari dengan Pancaindra

Dalam Al-Munqidz, Al-Ghazali menggambarkan keraguannya terhadap validitas pancaindra. Beliau berkata:

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

فَإِنِّي قُلْتُ فِي نَفْسِي: إِنَّ مَشْعَرِي الْحِسِّيَّةَ تُكَذِّبُهَا الْمَعْقُولَاتُ
Aku berkata dalam diriku: sesungguhnya inderaku ini kadang didustakan oleh akal.”

Pancaindra, kata Al-Ghazali, dapat tertipu oleh ilusi, jarak, cahaya, atau persepsi. Maka, kebenaran tidak boleh hanya bersandar pada apa yang tampak. Di era hoaks, pernyataan ini menjadi sangat relevan. Banyak orang terperdaya hanya karena melihat gambar, membaca judul berita, atau menyimak cuplikan video, tanpa pernah memeriksa konteks, sumber, atau motif di belakangnya.

Oleh karena itu, menurut Al-Ghazali, ilmu sejati harus melewati tahap verifikasi akal. Akal menjadi alat penting untuk menimbang informasi. Namun akal pun punya keterbatasan. Karena itu, tugas manusia bukan hanya berpikir, tetapi juga mengendalikan ego. Tanpa kejernihan hati, akal mudah dikendalikan kepentingan.

Akal yang Jernih Membuka Jalan Menuju Cahaya

Setelah memeriksa pancaindra, Al-Ghazali beralih pada akal. Ia mengakui kekuatan akal dalam membedakan benar dan salah. Namun ia juga mengatakan bahwa akal tidak selalu mampu menembus kebenaran hakiki. Beliau menggambarkannya:

فَلَمَّا خَاضَ الْعَقْلُ فِي هَذَا الْبَحْرِ الزَّخَّارِ، عَادَ مُضْطَرِبًا
“Ketika akal terjun ke lautan pemikiran yang luas ini, ia kembali dalam keadaan bingung.”

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Akal menjadi bingung ketika menghadapi persoalan metafisik: hakikat Tuhan, takdir, jiwa. Kebenaran yang dicari tak cukup dijangkau oleh kemampuan logika. Di sinilah Al-Ghazali memperkenalkan dimensi pengetahuan yang lebih dalam: kasyf, atau penyaksian batin, yang menurutnya hanya dicapai melalui pembersihan hati.

Di era hoaks, pelajaran ini sangat penting. Logika, kecerdasan, dan analisis kritis saja tidak cukup ketika hati dipenuhi prasangka dan kebencian. Hoaks bertahan bukan karena orang tidak cerdas, tetapi karena orang tidak jernih. Hoaks tumbuh subur karena hati kita belum bersih dari bias, fanatisme, dan keinginan untuk membenarkan kelompok sendiri.

Bahaya Taklid Buta dalam Informasi Digital

Salah satu kritik Al-Ghazali dalam Al-Munqidz adalah kecenderungan masyarakat untuk menerima kebenaran hanya berdasarkan tradisi dan pendapat kelompok mayoritas. Ia menulis:

وَرَأَيْتُ الصِّبْيَانَ فِي مَذَاهِبِهِمْ يَتَّبِعُونَ آبَاءَهُمْ
“Aku melihat anak-anak dalam mazhab mereka hanya mengikuti orang tua mereka.”

Taklid, bagi Al-Ghazali, adalah bahaya besar jika diterapkan tanpa penalaran. Dalam konteks digital, bentuk taklid baru adalah percaya hanya karena kabar tersebut datang dari “orang yang sekelompok”, “teman sekomunitas”, atau “public figure favorit”. Kita jarang bertanya ulang: apakah ini benar?

Karena itu, Al-Ghazali mengajak manusia untuk memiliki disiplin intelektual. Verifikasi, penelitian, dan kehati-hatian menjadi benteng utama.

Tugas Spiritual Kita: Membersihkan Hati sebelum Mengonsumsi Informasi

Setelah melakukan perjalanan panjang, Al-Ghazali pada akhirnya menemukan bahwa kebenaran paripurna hanya bisa dicapai jika akal dan hati bersatu. Ia menulis:

فَإِذَا نُقِّيَ الْقَلْبُ وَصَفَا تَجَلَّى فِيهِ نُورُ الْحَقِّ
“Jika hati telah bersih dan jernih, maka cahaya kebenaran akan tampak di dalamnya.”

Ayat Al-Qur’an pun menegaskan:

فَإِنَّهَا لَا تَعْمَى الْأَبْصَارُ وَلَكِنْ تَعْمَى الْقُلُوبُ الَّتِي فِي الصُّدُورِ
“Bukan mata itu yang buta, tetapi hati yang berada di dalam dada.” (QS. Al-Hajj: 46)

Pembersihan hati bukan perkara mistik semata. Ia menjadi syarat agar manusia tidak mudah terperdaya. Hati yang jernih akan mengenali kebenaran, bahkan ketika ia tertutup kabut informasi.

Membangun Tradisi Tabayyun di Era Digital

Pelajaran terbesar dari Al-Munqidz untuk era hoaks adalah pentingnya tabayyun. Kita perlu memeriksa sumber, konteks, niat, dan keutuhan informasi. Imam Nawawi dalam Al-Majmu’ mengingatkan:

لَا يَحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَنْقُلَ خَبَرًا قَبْلَ أَنْ يَتَثَبَّتَ مِنْ صِحَّتِهِ
“Tidak halal bagi seseorang menyampaikan kabar sebelum memastikan kebenarannya.”

Ini sejalan dengan pesan Nabi:

كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta ketika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)

Tradisi tabayyun adalah sunnah yang harus dihidupkan kembali.

Penutup: Menjemput Cahaya Kebenaran

Mencari kebenaran di era hoaks memang melelahkan, tetapi bukan mustahil. Perjalanan Imam Al-Ghazali menjadi teladan bahwa kebenaran tidak datang kepada orang yang tergesa-gesa, tidak kepada orang yang malas memeriksa, dan tidak kepada hati yang keruh. Kebenaran datang kepada mereka yang sabar, yang berani meragukan, yang berani memeriksa ulang, dan yang jernih hatinya.

Di tengah bisingnya dunia digital, mencari kebenaran adalah laku ibadah. Setiap langkah untuk menimbang, memverifikasi, dan menenangkan hati merupakan bagian dari perjalanan spiritual. Pada akhirnya, cahaya kebenaran akan datang kepada siapa pun yang berjalan dengan jujur dan rendah hati.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement