SURAU.CO – SKEMA (Sketsa Masyarakat). Ahmad Sahroni ingin buang sial. Rumahnya yang menjadi sasaran penjarahan massa pada akhir Agustus kini dirobohkan. “Udah nggak oke buat sehari-hari,” ujar politisi flamboyan itu. “Tapi gue nggak akan pindah, gue tetap di sini. Gue mau bikin bangunan baru yang lebih kokoh, lebih luas, lebih modern, ramah keluarga.”
Sebelum membongkar rumah mewah tiga lantai setinggi 13 meter tersebut, Sahroni menggelar pengajian dengan warga sekitar. Sahroni memang extravaganza, dan tak pernah menyembunyikan kebanggaan sebagai Anak Kebon Bawang. Mantan pimpinan Komisi III DPR punya julukan gaul “Crazy Rich Tanjung Priok”. Kekayaannya bak langit dengan bumi dibandingkan para tetangga di pemukiman padat—salah satu kawasan tersesak di Jakarta.
Saat penjarahan, tiga mobil mewah Sahroni menjadi korban vandalisme massa. Lexus RX450h+ (mobil listrik) seharga Rp1,87 miliar, Porsche 1600 Super/356 Klasik dan Porsche 911 Sport Classic seharga Rp14 miliar. Data LHKPN menunjukkan masih ada Porsche dan mobil mewah lainnya yang dimiliki Sahroni, namun tersimpan di tempat lain sehingga selamat dari amukan massa.
Mayoritas pelaku penjarahan datang dari luar Kebon Bawang. Hanya sekitar 10 persen yang teridentifikasi warga sekitar. Namun relasi dua faktor ini–yakni “perusakan mobil” dan “warga sekitar”—bisa menjadi kapsul waktu yang membawa kita mundur setengah abad mengarungi zaman. Melihat lebih dekat eksperimen sosial guru besar psikologi Universitas Stanford, Philip Zimbardo. Sebuah riset yang memperkaya cakrawala pemahaman tentang perilaku warga sekitar.
Riset Psikologi Kelas Dunia
Di pengujung era 60-an ketika generasi muda Amerika terobsesi menjadi generasi bunga dan tergila-gila Bob Dylan, Zimbardo membeli dua mobil bekas Plymouth Valiant tahun 1961. Harganya 1.300 dolar–bujet penelitian murah meriah untuk kebanyakan riset psikologi kelas dunia.
Plat nomor kedua mobil dicopot. Kap mobil dibiarkan terbuka. Satu mobil ditempatkan di sepotong ruas jalan di Bronx, New York, dekat kampus NYU. Satu lagi di Palo Alto, California, dekat kampus Stanford. Tim peneliti anak buah Zimbardo mengamati kedua mobil dari tempat tersembunyi.
Mobil di Bronx hanya utuh selama 10 menit. Komponen pertama yang dipreteli adalah accu dan radiator mobil. Siapa pelakunya? Bukan gerombolan anak nakal atau preman jalanan, melainkan satu keluarga—ayah, ibu, dan bocah lelaki mereka—yang awalnya hanya tertarik melihat kondisi mobil. Mereka bekerja sama tanpa peduli lalu-lalang di sekitar mereka!.
Dalam 1×24 jam, mobil Bronx mengalami pemretelan dan pencurian oleh 23 pelaku berbeda. Nyaris semua komponen disikat: kaca spion, ban, lampu. Dan tak seorang warga pun memberitahu polisi soal vandalisme berjamaah itu.
Penelitian yang Lebih Ekstrim
Sementara mobil di Palo Alto tetap utuh sampai sepekan kemudian. Kadang-kadang ada yang menutup kap mobil jika hujan, namun sebagian besar melewatinya tanpa peduli. Seorang warga berinisiatif mengatur lalu lintas di sekitar mobil agar tidak terjadi kecelakaan.
Zimbardo yang tercengang melihat respon berbeda dua warga, kemudian memutuskan untuk melanjutkan penelitian lebih ekstrem di Palo Alto. Setelah satu pekan aman tentram, sang profesor menggunakan martil besar untuk menghantam bodi mobil sepenuh amarah. Tepat jam 10 pagi pada Selasa yang cerah.
Perilakunya mengundang rasa penasaran warga. Mereka mendekat, namun tak berkata apa-apa. Zimbardo terus melakukan pengrusakan. Sekitar satu jam kemudian, suasana berubah total. Seorang lelaki parlente ikut berpartisipasi menghancurkan lampu depan. Lalu bergabung lagi warga lainnya, dan lainnya. Semakin banyak.
Pada petang hari, pada hari ketujuh, mobil Palo Alto sudah dalam posisi terbalik. Keempat roda menatap angkasa. Keesokan paginya, seluruh komponen penting mobil lenyap. Tinggal bangkai kendaraan tua yang rongsok.
Broken Windows Theory
Eksperimen itu diwartakan majalah Time edisi Februari 1969. Menggemparkan baik kalangan akademis maupun masyarakat umum. Para psikolog menyebut hasil eksperimen sebagai “bukti sosial” bahwa kita, sebagai anggota masyarakat, lebih dulu melihat apa yang dilakukan anggota masyarakat lain sebelum memutuskan ikut terlibat.
Dua dekade kemudian, kriminolog James Q. Wilson dan George Kelling, menggunakan hasil eksperimen Zimbardo untuk membangun teori mereka sendiri yang disebut “Broken Windows Theory” (1982).
Basis pandangannya adalah bahwa ketidakteraturan yang mencolok akan menciptakan ketidakteraturan berikutnya (“visible signs of disorder create more disorder”). Kejahatan-kejahatan kecil yang tak bisa diatasi akan menjadi kejahatan-kejahatan besar.
Komisaris Polisi Kota New York, William Bratton, mengambil manfaat dari Teori Jendela Pecah ini. Ketika menjabat periode 1994 – 1997, angka kejahatan menurun 37% karena Bratton memerintahkan para polisi di lapangan untuk bersikap lebih tegas terhadap kejahatan-kejahatan kecil seperti corat-coret di wilayah publik (graffiti), mabuk di pinggir jalan, para pengguna narkoba, dll.
Kembali pada eksperimen Zimbardo, bukan hanya pujian yang didapat juga derasnya kritik. Dari jumlah sampel yang kecil (hanya 2 mobil), tidak ada variabel kontrol, dan potensi bias peneliti (researcher bias). Namun, temuan eksperimen ini tetap lebih banyak manfaatnya sampai saat ini, hampir enam dekade kemudian.
Setidaknya ada tiga kesimpulan yang berlaku universal meski penelitian terjadi di Palo Alto & Bronx. Pertama, perilaku lingkungan (baca: warga sekitar) memengaruhi warga lain lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Kedua, norma sosial yang sebelumnya terlihat solid bisa langsung hancur berantakan sekali saja dijebol. Ketiga, garis batas antara keteraturan (order) dan ketidakteraturan (disorder/chaos) ternyata begitu tipis.
Memulai Pelanggaran dan Mencontohkanya
Apakah eksperimen Zimbardo dan Teori Jendela Pecah dari Wilson-Kelling bisa digunakan untuk meneroka kejadian penjarahan rumah Ahmad Sahroni (termasuk rumah Eko Patrio, Uya Kuya, Nafa Urbach) dan kasus-kasus penjarahan dan vandalisme massal lainnya? Ini bisa menjadi peluang bagi psikolog dan kriminolog tanah air untuk membangun teori termutakhir tentang “kriminalitas warga biasa” yang lebih relevan dan signifikan dengan kondisi bangsa.
Sebab, meski rumah baru Ahmad Sahroni kelak berdiri lebih kokoh, lebih megah, lebih modern, dibandingkan bangunan sebelumnya, namun sepanjang masih ada jendela akan selalu terbuka peluang terjadinya pecah kaca. Sebuah risiko yang juga bisa dialami rumah-rumah lainnya, entah milik konglomerat atau ustaz.
Seperti kata Bang Napi di sebuah acara televisi, “Kejahatan seringkali terjadi bukan karena niat, tetapi karena ada kesempatan”. Dan publik, termasuk warga sekitar, adalah pihak yang sangat rentan terprovokasi jika ada satu orang saja yang berani memulai pelanggaran dan mencontohkan.
Jakarta, November 2025. Penulis adalah penerima Anugerah Sastra Andalas 2025 kategori Seniman/Budayawan Nasional. Tanggapan atas tulisan ini bisa menghubungi kami. (Akmal Nasery Basral)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
