Surau.co. Keikhlasan ibadah menjadi inti dari seluruh amal manusia. Ia membedakan antara perbuatan yang bernilai di sisi Allah dan gerak yang sekadar berlangsung tanpa ruh. Karena itu, tidak mengherankan jika dalam Bahjatul Wasail, Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani membuka bab pertama dengan pembahasan yang lembut namun tajam tentang niat. Beliau ingin menunjukkan bahwa seorang hamba perlu menata hatinya agar setiap ibadah benar-benar tertuju kepada Allah semata. Meski ditulis berabad-abad lalu, kitab ini tetap terasa hidup karena menyentuh persoalan paling mendasar dalam spiritualitas manusia: ikhlas dalam beribadah.
Menata Hati di Tengah Riuh Dunia
Dalam keseharian, kita sering terjebak dalam ibadah yang berlangsung secara mekanis. Kita shalat karena kebiasaan, bersedekah karena dorongan sosial, dan berdakwah karena ambisi pribadi. Namun, Syekh Nawawi mengingatkan melalui Bahjatul Wasail:
قال الشيخ محمد نووي: “الإخلاصُ هو تصفيةُ العملِ من ملاحظةِ المخلوقين.”
“Ikhlas adalah membersihkan amal dari pandangan manusia.”
Makna kalimat ini sangat dalam. Selain menegaskan pentingnya hati, ia juga mengajak setiap hamba untuk kembali pada substansi ibadah. Dengan kata lain, ibadah yang sejati lahir dari kejernihan batin, bukan dari kesempurnaan gerak lahir.
Selanjutnya, ajaran ini terasa semakin relevan ketika kita menghadapi budaya pencitraan di media sosial. Banyak orang mengubah ibadah menjadi tontonan. Namun, melalui pesan Bahjatul Wasail, Syekh Nawawi mengarahkan kita agar menjaga hati dari hiruk-pikuk dunia dan menjadikan ibadah sebagai ruang sunyi antara hamba dan Tuhannya.
Ikhlas sebagai Syarat Diterimanya Amal
Dalam bab pertama, Syekh Nawawi menegaskan hubungan erat antara niat dan diterimanya amal. Beliau menukil firman Allah:
وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ
“Padahal mereka tidak diperintahkan kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya.” (QS. Al-Bayyinah: 5)
Ayat ini kemudian menjadi fondasi pemikiran beliau. Tanpa keikhlasan, ibadah kehilangan makna esensialnya. Karena itu, Syekh Nawawi menulis:
“النيةُ روحُ العملِ، فإذا فقدتْ النيةُ فسدَ العملُ.”
“Niat adalah ruh amal. Jika niat hilang, rusaklah amal itu.”
Pernyataan tersebut memberi pesan bahwa niat dapat menentukan nilai ibadah. Bahkan aktivitas seperti bekerja, belajar, atau membantu orang lain bisa bernilai ibadah apabila diarahkan kepada Allah. Dengan demikian, setiap langkah hidup dapat berubah menjadi ladang pahala.
Mengubah Kebiasaan Menjadi Ibadah
Salah satu keindahan Bahjatul Wasail terletak pada cara Syekh Nawawi menjelaskan bagaimana niat mampu mengubah tindakan sehari-hari menjadi ibadah yang bernilai. Beliau menulis:
“من نوى بطعامِه تقويةَ بدنِه على الطاعةِ، كان أجرُه كأجرِ الصائمِ.”
“Barang siapa makan dengan niat menguatkan tubuhnya agar mampu taat kepada Allah, pahalanya seperti orang yang berpuasa.”
Penjelasan ini sangat membumi. Selain itu, ia membuka wawasan bahwa bekerja demi keluarga, belajar demi kemaslahatan umat, atau beristirahat untuk menjaga stamina ibadah semuanya memiliki nilai spiritual. Selanjutnya, ajaran ini juga memperlihatkan kelapangan rahmat Allah yang tidak hanya melihat bentuk amal, tetapi juga niat yang melandasinya.
Lebih jauh lagi, Syekh Nawawi memperlihatkan keterhubungan antara kehidupan duniawi dan spiritualitas. Tidak ada tembok pemisah; yang membedakan hanyalah arah hati.
Keikhlasan yang Melahirkan Ketenangan
Pada bagian akhir bab pertama, Syekh Nawawi menguraikan dampak psikologis dari keikhlasan. Menurut beliau, seseorang yang ikhlas akan merasakan ketenangan yang sulit digoyahkan. Beliau menulis:
“من أخلصَ للهِ، أراحَ قلبَه من همِّ الخلقِ.”
“Barang siapa beribadah dengan ikhlas kepada Allah, hatinya akan bebas dari kegelisahan terhadap manusia.”
Kalimat ini menunjukkan bahwa keikhlasan bukan sekadar kualitas spiritual, tetapi juga terapi batin. Ketika seseorang tidak lagi mencari pujian atau takut dicela, ia memperoleh kebebasan batin yang sesungguhnya. Bahkan di tengah dunia yang kompetitif, orang yang ikhlas tetap tenang karena ia hanya mencari keridaan Allah.
Menghidupkan Nilai Bahjatul Wasail di Zaman Kini
Untuk menerapkan ajaran Bahjatul Wasail di era modern, kita bisa memulainya dari hal sederhana: menata niat sebelum beribadah, bekerja dengan kesadaran spiritual, dan memberi tanpa mengharapkan imbalan. Selain itu, kita perlu melatih diri secara berkesinambungan agar keikhlasan tumbuh dalam hati.
Di sisi lain, keikhlasan juga mendorong akhlak sosial yang mulia. Orang yang ikhlas berbuat tanpa pamrih, menolong tanpa syarat, dan memaafkan tanpa dendam. Oleh karena itu, ajaran ini sangat relevan untuk meredam individualisme dan menghadirkan kesejukan dalam hubungan sesama manusia.
Penutup: Bahjatul Wasail sebagai Cermin Keikhlasan
Akhirnya, bab pertama Bahjatul Wasail menjadi undangan bagi setiap insan untuk kembali kepada keaslian ibadah. Ia tidak hanya mengajak kita beramal, tetapi juga memahami substansinya. Keikhlasan menjadi jalan menuju kedekatan dengan Allah; tanpa keikhlasan, amal hanya akan menjadi rutinitas yang kosong.
Syekh Nawawi al-Bantani menyusun kitab ini bukan sekadar untuk dipelajari, tetapi untuk dihidupkan. Setiap kalimatnya memancarkan cahaya yang menuntun hati menuju ibadah yang jujur, tenang, dan penuh cinta kepada Sang Pencipta.
Reza AS
Pengasuh ruang kontemplatif Serambi Bedoyo, Ponorogo
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
