Surau.co. Haji dalam Fathul Qorib karya Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi al-Gharabili bukan sekadar perjalanan ritual menuju Tanah Suci. Ia adalah simbol perjalanan spiritual menuju penyucian diri dan keikhlasan total kepada Allah. Sejak awal, Syekh al-Ghazi menggambarkan haji sebagai ibadah yang memadukan gerak lahir dan zikir batin.
Beliau menulis:
الْحَجُّ هُوَ قَصْدُ بَيْتِ اللَّهِ الْحَرَامِ لِأَدَاءِ نُسُكٍ مَخْصُوصٍ فِي وَقْتٍ مَخْصُوصٍ بِشُرُوطٍ مَخْصُوصَةٍ
“Haji adalah menuju Baitullah al-Haram untuk melaksanakan ibadah tertentu pada waktu tertentu dengan syarat-syarat tertentu.”
Kutipan ini menegaskan bahwa haji bukan sekadar “perjalanan menuju Ka’bah”, melainkan perjalanan menuju kesempurnaan iman. Haji menjadi latihan totalitas diri—menggabungkan niat, pengorbanan, kesabaran, dan kepasrahan. Ia mengajarkan manusia bahwa untuk sampai kepada Allah, setiap langkah harus dibangun atas dasar keikhlasan.
Fenomena Sehari-hari: Perjalanan yang Menguji Hati
Bagi banyak orang, haji adalah impian seumur hidup. Persiapan panjang, tabungan bertahun-tahun, dan perjuangan fisik sering kali menjadi bagian dari kisah menuju Baitullah. Namun, Fathul Qorib mengingatkan bahwa hakikat perjalanan ini tidak berhenti pada aspek logistik semata.
Syekh al-Ghazi menulis:
الْحَجُّ مَدْرَسَةٌ لِتَأْدِيبِ النَّفْسِ وَتَعْوِيدِهَا عَلَى الصَّبْرِ وَالتَّوَاضُعِ
“Haji adalah sekolah bagi jiwa, yang melatihnya untuk bersabar dan merendahkan diri.”
Kalimat ini menggambarkan haji sebagai madrasah ruhaniyah, tempat seseorang belajar tentang hakikat diri dan Allah. Dalam setiap ritualnya—dari ihram hingga thawaf—terkandung pesan pengendalian ego. Saat seseorang melepas pakaian biasa dan mengenakan kain putih, ia sesungguhnya sedang menanggalkan keangkuhan dunia dan mengenakan pakaian kerendahan hati.
Di sinilah haji menjadi perjalanan batin. Di tengah lautan manusia yang bertalbiyah, seseorang disadarkan bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Tidak ada status, pangkat, atau kekayaan—yang tersisa hanyalah hati yang bersih dan niat yang ikhlas.
Ihram dan Makna Kesucian: Menjadi Hamba yang Lepas dari Dunia
Ihram adalah pintu masuk menuju haji yang sejati. Syekh al-Ghazi menjelaskan dengan tegas:
الإِحْرَامُ هُوَ نِيَّةُ الدُّخُولِ فِي النُّسُكِ
“Ihram adalah niat untuk memasuki ibadah haji.”
Makna ihram bukan hanya perubahan pakaian, tetapi perubahan kesadaran. Dalam dua helai kain putih, manusia diingatkan pada kefanaan. Ia meninggalkan segala atribut dunia—jabatan, kebanggaan, bahkan identitas sosial. Semua dilepaskan agar tidak ada yang tersisa selain dirinya dan Allah.
Di titik ini, haji melatih manusia untuk memahami arti keikhlasan. Tidak ada yang lebih indah daripada menyadari bahwa semua yang dimiliki hanyalah titipan. Setiap langkah di tanah suci menjadi doa agar hati semakin bersih dan jiwa semakin ringan.
Thawaf dan Sa’i: Gerak yang Menghidupkan Spirit Ketundukan
Ritual thawaf—mengelilingi Ka’bah tujuh kali—menjadi simbol keterpusatan hidup kepada Allah. Dalam Fathul Qorib, Syekh al-Ghazi menegaskan:
الطَّوَافُ حَوْلَ الْبَيْتِ تَعْظِيمٌ لِلَّهِ وَإِظْهَارٌ لِعُبُودِيَّتِهِ
“Thawaf di sekitar Ka’bah adalah bentuk pengagungan kepada Allah dan pernyataan ketundukan kepada-Nya.”
Gerak melingkar ini melambangkan orbit kehidupan manusia yang selalu berputar di sekitar Sang Pencipta. Setiap langkah mengingatkan bahwa pusat kehidupan bukan diri sendiri, melainkan Allah. Begitu pula dengan sa’i antara Shafa dan Marwah, yang meneladani perjuangan Hajar mencari air untuk Ismail.
Ritual itu bukan sekadar sejarah, melainkan simbol perjuangan spiritual. Ia mengajarkan bahwa dalam setiap usaha yang tampak sia-sia, selalu ada air kehidupan yang Allah sediakan. Kesungguhan dan harapan tidak pernah sia-sia dalam pandangan-Nya.
Wuquf di Arafah: Titik Perjumpaan antara Dosa dan Pengampunan
Tidak ada momen yang lebih menyentuh dalam haji selain wuquf di Arafah. Di sinilah manusia benar-benar “berdiri di hadapan Allah”. Dalam Fathul Qorib, Syekh al-Ghazi menulis:
الْوُقُوفُ بِعَرَفَةَ أَعْظَمُ أَرْكَانِ الْحَجِّ، لَا يَتِمُّ الْحَجُّ إِلَّا بِهِ
“Wuquf di Arafah adalah rukun haji yang paling agung; haji tidak sah tanpa melakukannya.”
Arafah menjadi tempat pengakuan total—manusia menumpahkan dosa, air mata, dan harapan. Semua bersatu dalam suasana yang hening dan suci. Di sana, manusia menyadari betapa kecil dirinya di hadapan kebesaran Allah.
Rasulullah ﷺ bersabda:
الحج عرفة
“Haji itu adalah Arafah.” (HR. Tirmidzi)
Makna hadits ini menegaskan bahwa inti haji bukan perjalanan panjangnya, tetapi pertemuan hati dengan ampunan Allah. Di Arafah, setiap orang seolah dilahirkan kembali: suci, ringan, dan lapang.
Keikhlasan: Titik Akhir dari Perjalanan Panjang
Semua ritual haji bermuara pada satu hal: keikhlasan. Fathul Qorib menggambarkan keikhlasan sebagai puncak dari setiap ibadah, terutama haji.
الْإِخْلَاصُ رُوحُ الْعِبَادَةِ، وَبِهِ تُقْبَلُ الأَعْمَالُ
“Keikhlasan adalah ruh ibadah; dengannya amal diterima.”
Tanpa keikhlasan, setiap langkah hanya menjadi perjalanan fisik tanpa ruh. Tetapi dengan keikhlasan, setiap langkah menuju Baitullah menjadi cahaya yang menuntun hidup setelahnya.
Haji mengajarkan manusia untuk pulang dengan hati yang baru. Setelah kembali dari Tanah Suci, seseorang tidak lagi sama—ia membawa kesadaran bahwa hidup hanyalah perjalanan panjang menuju pertemuan abadi dengan Allah.
Kesimpulan: Haji sebagai Cermin Keikhlasan Hidup
Fathul Qorib tidak hanya mengajarkan hukum-hukum haji, tetapi juga memaknai setiap gerakannya sebagai simbol perjalanan spiritual. Syekh Muhammad bin Qasim al-Ghazi mengajak umat Islam memahami bahwa haji bukan akhir dari ibadah, melainkan awal dari hidup yang penuh keikhlasan.
Haji adalah perjalanan untuk mengenal diri dan Tuhan, menanggalkan ego, dan mengenakan kesucian. Dalam setiap thawaf, setiap doa di Arafah, dan setiap langkah menuju Mina, manusia belajar satu hal: bahwa keikhlasan adalah puncak segala pencapaian.
Ketika seseorang pulang dari haji dengan hati yang tunduk dan pikiran yang jernih, sesungguhnya ia telah mencapai maqam tertinggi dari ibadah ini—menjadi hamba yang benar-benar “kembali” kepada Allah, bukan hanya secara fisik, tetapi juga secara batin.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
