Surau.co. Hidup tidak pernah berjalan lurus tanpa tikungan. Kadang kita berada di atas, disanjung dan dipuji; kadang kita jatuh, ditinggalkan dan dilupakan. Namun di antara dua kondisi itu, ada ujian yang sama beratnya: ujian ketika naik dan ujian ketika turun. Orang yang sombong saat di atas tak kalah rapuh dari orang yang putus asa saat di bawah.
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَمْشِ فِي الْأَرْضِ مَرَحًا ۖ إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الْأَرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولًا
“Dan janganlah engkau berjalan di muka bumi dengan sombong. Sesungguhnya engkau tidak akan dapat menembus bumi dan tidak akan mampu setinggi gunung.” (QS. Al-Isrā’: 37)
Ayat ini mengingatkan bahwa kesombongan bukan hanya tentang gaya berjalan, tapi tentang sikap hati yang merasa lebih tinggi dari orang lain. Padahal, apa pun yang kita miliki — harta, jabatan, atau popularitas — hanyalah titipan yang sewaktu-waktu bisa diambil kembali.
Sombong Itu Tanda Lupa pada Akar
Kesombongan muncul ketika seseorang lupa asalnya dan lalai bahwa semua keberhasilan datang dari izin Allah. Imam Al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
إِنَّ الْكِبْرَ مَذْمُومٌ فِي الدُّنْيَا وَمَحْظُورٌ فِي الدِّينِ، وَهُوَ مِنْ أَعْظَمِ الْمَهَالِكِ لِأَنَّهُ يَحْجُبُ الْعَبْدَ عَنْ كَمَالِ الْفَضِيلَةِ
“Kesombongan itu tercela di dunia dan terlarang dalam agama. Ia termasuk kebinasaan besar karena menutup manusia dari kesempurnaan kebajikan.”
Ketika seseorang mulai merasa semua karena usahanya sendiri, saat itulah ia perlahan kehilangan rasa syukur. Padahal, rasa syukur justru menjadi jembatan agar nikmat terus bertambah. Orang yang sombong sedang menutup jalan rezekinya sendiri — bukan karena orang lain menjatuhkannya, tetapi karena ia menolak bersujud di dalam hati.
Naik Itu Ujian, Turun Pun Cobaan
Banyak orang berdoa agar diberi rezeki, jabatan, atau kemuliaan. Tapi tidak semua siap diuji dengan itu. Saat hidup sedang “naik”, seringkali kita lupa mengukur diri. Kita menuntut agar orang lain memahami posisi kita, namun lupa untuk tetap membumi.
Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
مَنْ تَوَاضَعَ لِلَّهِ رَفَعَهُ اللَّهُ
“Barang siapa merendahkan diri karena Allah, maka Allah akan mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim)
Hadis ini memberi keseimbangan moral: ketika naik, tetaplah rendah hati; ketika turun, tetaplah tegar. Sebab, kemuliaan sejati tidak ditentukan oleh status sosial, tetapi oleh sejauh mana kita mampu menjaga hati agar tidak sombong dan tidak hancur.
Turun Bukan Akhir, Tapi Awal Pembelajaran
Ketika seseorang sedang di bawah, bukan berarti hidupnya berakhir. Kadang Allah menjatuhkan seseorang bukan untuk menghancurkan, tapi untuk membersihkan. Turun bisa jadi momen refleksi — waktu untuk menata niat, memperbaiki langkah, dan kembali mendekat kepada Allah tanpa topeng keberhasilan.
Dalam setiap kegagalan ada pesan lembut dari Tuhan: “Aku masih sayang, maka Aku turunkan engkau agar engkau sadar.”
Kehidupan memang tidak selalu berpihak pada keinginan kita. Namun, di balik kesulitan, Allah berjanji ada kemudahan.
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya sesudah kesulitan ada kemudahan.” (QS. Al-Insyirāḥ: 5–6)
Ayat ini bukan sekadar penghiburan. Ia adalah penegasan bahwa setiap masa sulit memiliki masa tumbuhnya sendiri. Yang perlu dijaga hanyalah hati agar tidak putus asa.
Menyadari Siklus: Dari Sombong ke Sabar
Seseorang yang pernah jatuh akan tahu rasanya berada di bawah. Dan justru itu yang membuatnya lebih berhati-hati ketika nanti naik kembali. Sabar ketika terpuruk akan melatih diri untuk tidak sombong ketika berjaya.
Imam Al-Māwardī menerangkan, “Manusia yang paling bijak adalah yang mengambil pelajaran dari masa jatuhnya untuk memperbaiki masa naiknya.” Sungguh, hanya orang yang mengerti bahwa kehidupan berputar yang bisa menjaga keseimbangan batinnya.
Karena itu, jangan pernah menilai seseorang hanya dari posisi saat ini. Orang yang tampak tinggi hari ini bisa saja jatuh esok hari, dan yang tampak rendah sekarang bisa saja naik dengan izin Allah.
Belajar dari Tanah dan Langit
Tanah selalu di bawah, tapi dari sanalah tumbuh kehidupan. Langit tinggi di atas, namun ia tetap memberi hujan kepada bumi. Dari dua ciptaan ini, kita belajar bahwa rendah bukan berarti hina, dan tinggi bukan berarti sombong.
Begitulah seharusnya manusia bersikap: seperti tanah yang menumbuhkan tanpa pamrih, dan seperti langit yang memberi tanpa merasa lebih mulia. Keduanya berjalan dalam keseimbangan, saling melengkapi dalam harmoni ciptaan Tuhan.
Hati yang Lapang di Tengah Ujian
Baik saat naik maupun turun, yang paling menentukan bukan posisi, tapi kondisi hati. Hati yang lapang tidak mudah meledak oleh pujian, dan tidak mudah runtuh oleh hinaan. Ia tahu bahwa keduanya hanya ujian yang bersifat sementara.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ خَيْرٌ
“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman. Semua urusannya adalah kebaikan baginya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa bagi orang beriman, tidak ada fase hidup yang sia-sia. Naik dan turun sama-sama ladang pahala, tergantung bagaimana hati menanggapinya.
Jangan Sombong Saat Naik, Jangan Hancur Saat Turun
Pesan sederhana ini mudah diucapkan tapi sulit dijalankan. Karena itu, perlu latihan batin setiap hari: melatih diri untuk tetap bersyukur dalam kelimpahan, dan tetap sabar dalam kekurangan.
Kesombongan biasanya tumbuh diam-diam, seperti benih kecil di hati yang tidak dijaga. Ia muncul dalam bentuk halus: merasa lebih baik dari orang lain, enggan menerima nasihat, atau terlalu cepat menilai. Sebaliknya, keputusasaan juga tumbuh pelan-pelan, ketika seseorang kehilangan harapan dan merasa tidak berharga di hadapan Tuhan.
Keduanya — sombong dan hancur — sama-sama berbahaya. Karena keduanya lahir dari lupa: lupa bahwa segala sesuatu berasal dan kembali kepada Allah.
إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Sesungguhnya kami milik Allah dan kepada-Nya kami kembali.” (QS. Al-Baqarah: 156)
Ayat ini bukan hanya dibaca saat musibah, tapi juga saat hati mulai lupa arah. Ia mengingatkan bahwa hidup hanyalah perjalanan singkat yang menuntut keseimbangan antara rasa syukur dan sabar.
Penutup: Hidup Itu Naik-Turun, Tapi Hati Harus Tetap Lurus
Dalam setiap fase hidup, Allah sedang mendidik kita agar lebih matang, bukan hanya secara lahiriah tapi juga batiniah. Naik dan turun hanyalah gelombang, sedang hati yang tenang adalah perahu yang kuat menyeberangi samudra ujian.
Maka, ketika kamu naik, jangan sombong — karena itu bukan bukti kamu lebih hebat, tapi karena Allah sedang menitipkan amanah. Dan ketika kamu turun, jangan hancur — karena itu bukan tanda kamu gagal, melainkan cara Allah menyiapkanmu untuk naik kembali dengan cara yang lebih bijak. Hidup memang berputar, tapi iman harus tegak. Rezeki boleh naik-turun, tapi hati harus tetap lurus menuju Dia.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
