Surau.co. Dalam hidup, kita tidak selalu diperlakukan baik. Kadang niat tulus dibalas dengan curiga, kebaikan dianggap modus, dan kejujuran malah dimanfaatkan. Lalu, bagaimana seharusnya kita bersikap? Apakah harus membalas jahat dengan jahat agar tidak dipandang lemah? Ataukah tetap sabar meski hati perih?
Prinsip Islam mengajarkan keseimbangan: tidak membalas kejahatan dengan kejahatan, tapi juga tidak membiarkan diri menjadi korban yang terus disakiti. Sebab menjadi baik bukan berarti naif, dan bersikap lembut bukan berarti lemah. Di sinilah letak kebijaksanaan yang sering luput—mengendalikan diri tanpa kehilangan kehormatan.
Kebaikan Tidak Selalu Dibalas Kebaikan
Kita hidup di dunia yang penuh paradoks. Banyak orang mengaku ingin damai, tapi tak sungguh-sungguh melakukannya. Ketika kita berbuat baik, belum tentu orang lain membalas dengan hal serupa. Rasulullah ﷺ pun mengalami hal itu: beliau dihina, dilempari, bahkan difitnah, padahal seluruh hidupnya diisi dengan kasih dan pengorbanan.
Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:
وَلَا تَسْتَوِي الْحَسَنَةُ وَلَا السَّيِّئَةُ ۚ ادْفَعْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Balaslah kejahatan itu dengan cara yang lebih baik.”
(QS. Fussilat [41]: 34)
Ayat ini menjadi fondasi etika bagi seorang mukmin. Kebaikan bukanlah alat tukar; ia adalah sikap hati. Namun, perintah untuk membalas dengan kebaikan bukan berarti membiarkan diri ditindas. Justru ayat itu mengandung makna strategis: ubahlah arah konflik dengan kebijaksanaan, bukan dengan kemarahan.
Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
وَإِنَّمَا يَكْمُلُ الْعَقْلُ بِحُسْنِ التَّدْبِيرِ وَصِحَّةِ النَّظَرِ
“Sempurnanya akal terletak pada kemampuan mengatur (tindakan) dan ketepatan dalam menilai.”
Artinya, orang yang berakal tidak bereaksi secara buta terhadap keburukan. Ia menilai dengan jernih, lalu memilih jalan terbaik agar tidak merugikan dirinya dan tidak menambah kerusakan.
Sabar Itu Bukan Diam, Tapi Cerdas Mengelola Luka
Kita sering salah memahami sabar seolah hanya berarti menahan diri tanpa reaksi. Padahal sabar sejati justru aktif: ia adalah kecerdasan emosional dan spiritual untuk memilih waktu, tempat, dan cara yang tepat dalam menghadapi ujian.
Sabar tidak berarti membiarkan diri diinjak. Sabar justru menuntut kita menjaga harga diri tanpa kehilangan kendali. Rasulullah ﷺ bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang kuat bukanlah yang menang dalam gulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya saat marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Kekuatan sejati bukan pada kemampuan membalas, tetapi pada kemampuan menahan diri saat marah. Namun sabar bukan alasan untuk terus menerima perlakuan buruk. Nabi pun tidak segan menegur, menolak, bahkan mengambil sikap tegas ketika hak dan kehormatan umatnya terancam.
Jadi, sabar bukan berarti tunduk. Sabar adalah menimbang: kapan harus menahan, kapan harus bicara, dan kapan harus tegas. Orang sabar tidak dikuasai oleh emosi, tapi juga tidak mematikan nurani.
Tidak Membalas Jahat dengan Jahat: Jalan Sulit Tapi Mulia
Membalas kejahatan dengan kejahatan itu mudah, tapi hanya memperpanjang lingkaran dendam. Membalas kejahatan dengan kebaikan itu sulit, tapi bisa memutus rantai kebencian. Namun, untuk sampai ke titik itu, dibutuhkan kekuatan batin yang besar.
Kita sering lupa bahwa setiap respon adalah pilihan moral. Saat seseorang menyakiti kita, dia sedang menguji bukan hanya kesabaran, tapi juga kedewasaan kita.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
وَجَزَاءُ سَيِّئَةٍ سَيِّئَةٌ مِثْلُهَا ۖ فَمَنْ عَفَا وَأَصْلَحَ فَأَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ
“Dan balasan kejahatan adalah kejahatan yang setimpal, tetapi siapa yang memaafkan dan memperbaiki (hubungan), maka pahalanya atas tanggungan Allah.”
(QS. Asy-Syura [42]: 40)
Ayat ini memberi keseimbangan: membalas itu boleh, tapi memaafkan lebih mulia. Namun, memaafkan bukan berarti harus melupakan atau kembali ke kondisi semula. Kadang memaafkan berarti menjaga jarak, agar luka tidak terulang.
Imam al-Māwardī menerangkan:
وَمِنَ الْعَقْلِ أَنْ يَجْتَنِبَ الْمَرْءَ مَنْ يُسِيءُ إِلَيْهِ وَلَا يَغْتَرَّ بِالْمَلَاحَنَةِ
“Termasuk tanda akal sehat ialah menjauh dari orang yang berbuat jahat padanya, dan tidak tertipu oleh rayuan manis.”
Jadi, tidak membalas jahat bukan berarti berpelukan dengan pelaku. Terkadang cara terbaik menjaga hati tetap baik adalah dengan tidak memberi ruang bagi mereka yang berulang kali menyakiti.
Baik Tidak Sama dengan Bodoh
Sering kali orang yang berhati lembut justru dijadikan sasaran empuk oleh yang licik. Mereka dimanfaatkan, diperalat, dan dipermainkan. Maka perlu diingat: baik tidak sama dengan bodoh.
Menjadi orang baik bukan berarti membiarkan diri ditindas, tapi mampu menegakkan kebenaran dengan cara yang elegan. Kebaikan yang tidak disertai kebijaksanaan akan melahirkan ketidakadilan baru—baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.
Imam al-Māwardī menerangkan:
مَنْ سَامَحَ فِي غَيْرِ مَوْضِعِ السَّمَاحَةِ فَقَدْ أَعَانَ عَلَى الظُّلْمِ
“Barang siapa memaafkan pada tempat yang tidak seharusnya, maka ia telah membantu terjadinya kezaliman.”
Inilah pelajaran penting. Ada saatnya kita menahan amarah, tapi ada pula saatnya kita menegur tegas. Ada waktunya menenangkan hati, tapi ada waktunya melindungi diri. Orang yang bijak tahu perbedaan di antara keduanya.
Baik tidak berarti lemah; justru kebaikan sejati lahir dari kekuatan. Kekuatan untuk menahan diri tanpa kehilangan prinsip, kekuatan untuk berempati tanpa mengorbankan harga diri.
Menjaga Diri dari Keburukan Tanpa Menjadi Buruk
Sikap terbaik terhadap keburukan bukanlah membalasnya, melainkan menjagakan diri agar tidak serupa. Orang yang membalas jahat dengan jahat sebenarnya telah menurunkan dirinya ke level yang sama. Tapi orang yang terlalu lembek justru membiarkan kejahatan terus berulang.
Kuncinya ada pada keseimbangan. Kita bisa menolak kejahatan dengan ketegasan, tanpa menambah kebencian. Kita bisa berkata “tidak” tanpa kehilangan akhlak.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
الْمُؤْمِنُ الْقَوِيُّ خَيْرٌ وَأَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنَ الْمُؤْمِنِ الضَّعِيفِ
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah daripada mukmin yang lemah.”
(HR. Muslim)
Kekuatan yang dimaksud bukan hanya fisik, tapi juga kekuatan moral dan mental. Orang kuat tahu kapan harus melawan, dan kapan harus menahan. Ia tidak mudah dikendalikan oleh dendam, tapi juga tidak mudah dimanipulasi oleh belas kasihan yang salah tempat.
Bijak dalam Batas: Antara Maaf dan Tegas
Memberi maaf adalah tindakan luhur, tapi tidak semua kondisi layak dimaafkan tanpa konsekuensi. Kadang, justru dengan bersikap tegas, kita menolong pelaku agar sadar atas kesalahannya.
Misalnya, seorang teman yang terus memanfaatkan kebaikan kita. Kalau kita terus diam, dia takkan pernah belajar tanggung jawab. Maka bersikap tegas bukan bentuk dendam, tapi bentuk pendidikan moral.
Dalam Islam, teguran adalah bagian dari kasih sayang. Nabi ﷺ bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama itu nasihat.”
(HR. Muslim)
Menegur bukan berarti membenci, tetapi peduli agar kejahatan tidak berulang. Karena jika kejahatan dibiarkan, itu bukan lagi kebaikan, melainkan kelengahan.
Penutup: Jadilah Kuat Tanpa Kasar, Lembut Tanpa Lemah
Hidup selalu menguji dua hal: hati dan batas. Kita diuji bukan hanya dengan kesedihan, tapi juga dengan bagaimana kita menanggapi perlakuan orang lain. Maka, jangan balas jahat dengan jahat, tapi juga jangan biarkan dirimu menjadi sasaran yang terus disakiti.
Kebaikan sejati lahir dari keseimbangan antara hati yang lembut dan akal yang tajam. Dikala marah, tenangkan diri. Saat disakiti, berpikir jernih. Saat memberi maaf, pastikan tidak mengundang kezaliman baru.
Karena menjadi baik bukan tentang seberapa banyak kita tersenyum, tapi seberapa bijak kita menjaga martabat. Jangan balas jahat dengan jahat, tapi jangan naif juga—sebab Allah tidak memerintahkan kita untuk menjadi lemah, melainkan menjadi bijak.
Dan di antara kebijaksanaan itu, ada ketenangan yang tidak bisa dibeli: kedamaian karena tahu kita telah berbuat benar, tanpa kehilangan kasih dan kehormatan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
