SURAU.CO – SKEMA (Sketsa Masyarakat): Sepuluh nama lagi ditabalkan Pemerintah Indonesia sebagai pahlawan nasional terbaru tahun ini. Salah satunya Marsinah. Perempuan pemberani yang dibunuh secara brutal pada 1993. Seorang buruh dengan kritik menggemuruh. Usianya baru 24 tahun ketika raga dipaksa melepas nyawa di sebuah gubuk tepi sawah.
Elemen masyarakat sipil penegak HAM mengganjar Marsinah dengan Penghargaan Yap Thiam Hien 1993. Lalu, sebuah monumen didirikan masyarakat Nganjuk, Jawa Timur, daerah kelahirannya. Monumen Pahlawan Buruh Marsinah. Di depan monumen terhampar ruas Jalan Marsinah. Kompletlah sudah. Ada penghargaan, monumen, dan nama jalan.
Pengagungan Bagi Keadilan Sosial
Maka, masih perlukah Marsinah mendapatkan gelar Pahlawan Nasional dari Pemerintah? Pandangan formalistis mengatakan “perlu”. Pandangan kritis melihat gelar pahlawan nasional kendati di permukaan terlihat sebagai pengagungan bagi keadilan sosial, sejatinya menyembunyikan paradoks besar di dalam memori kolektif bangsa.
Sebab, Marsinah merupakan antitesis paripurna terhadap otorianisme Orde Baru yang menjalankan cengkeraman kekuasaan yang terjulur hingga ruang-ruang pabrik PT. Catur Putera Surya (CPS), Sidoarjo. Tempat kerja sekaligus wilayah perlawanan Marsinah memimpin aksi mogok kerja untuk menuntut kenaikan upah minimum para buruh di sana.
Pemberian gelar ini bisa menimbulkan tafsir adanya politik pengalihan (diversion) dari tuntutan penyelesaian atas misteri kasus pembunuhan yang belum tuntas menjadi glorifikasi seremonial beraroma rekonsiliasi historis yang semu dan artifisial.
Ini menimbulkan kesenjangan harapan yang justru semakin lebar antara keadilan substantif (faktor intrinsik) yang diinginkan masyarakat sipil dengan praktik kooptasi simbolik (faktor ektrinsik) yang dilakukan negara.
Perjuangan Marsinah
Sistem gelar kehormatan mengacu pada UU No. 20/2009 yang dirancang untuk menghargai perorangan. Kriteria yang dipatok mensyaratkan integritas moral, keteladanan, dan jasa terhadap bangsa dan negara.
Rancangan formalistik UU itu memiliki implikasi serius terhadap perjuangan Marsinah yang merupakan aksi kolektif dan solidarisme (menentang diskriminasi sistem upah kolektif).
Kebijakan Pemerintah yang memformalkan Marsinah sebagai Pahlawan Nasional, menunjukkan terjadi pengindividualisasian pengorbanan dari konteks kolektif buruh yang ia bela. Ini contoh terang benderang bagaimana hukum formal tak mampu menangkap esensi gerakan sosial seperti dilakukan Marsinah.
Pemberian gelar pahlawan nasional yang bersifat individual juga berpotensi mengganti bingkai perjuangan Marsinah sebagai ‘aktivis buruh penegak keadilan’ dan ‘korban kekejaman rezim’ menjadi ‘tokoh yang berjasa pada bangsa dan negara’ (demi memenuhi kriteria UU No. 20/2009).
Maka, yang sebenarnya sedang berlangsung adalah ikhtiar Pemerintah melakukan pemutihan sejarah (whitewashing of history) atas karakter antitesis dan perlawanan Marsinah terhadap Orde Baru, yang masih memiliki jejak impunitas hingga hari ini.
Istana sedang memainkan instrumen politics of memory , dengan cara pengambilalihan dan pembingkaian ulang narasi historis, sehingga tokoh kritis seperti Marsinah harus dipoles dalam kosmetik legitimasi negara dan dijadikan sebagai bagian penyempurnaan narasi ‘keutuhan bangsa’.
The Symbolic Coalition Paradox
Kontradiksi lainnya yang tak kalah mencolok—kalau tidak paling problematik—adalah terjadinya paradoks koalisi simbolik (The Symbolic Coalition Paradox).
Upaya Pemerintah menyandingkan Marsinah (korban Orde Baru) dengan Jenderal Besar Soeharto (pemimpin Orde Baru) sebagai sesama pahlawan nasional, menghasilkan ilusi terciptanya rekonsiliasi sejarah—namun rapuh tanpa akuntabilitas. Bahwa semua baik-baik saja.
Marsinah, ikon perjuangan buruh dan HAM, digunakan sebagai justifikasi moral pada proses pemutihan sejarah Orde Baru yang tidak semuanya putih. Koalisi simbolik paradoksal ini membuat ketegasan dan kejernihan moral perjuangan Marsinah mengalami pelemahan serius melalui penyandingan namanya bersama tokoh puncak kekuasaan yang meski tidak berkaitan langsung dengan kasusnya, namun merupakan pemimpin rezim yang berkuasa saat itu.
Pernyataan Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi bahwa penetapan Marsinah sebagai pahlawan nasional tidak memiliki kaitan dengan upaya penyidikan ulang kasus terhadap sang aktivis buruh, justru sangat mengkhawatirkan.
Itu menggambarkan Pemerintah membuka peluang untuk mengklaim telah menghormati Marsinah secara moralitas kebangsaan, namun menolak menjalankan tanggung jawab konstitusional dalam menyingkap tuntas kebiadaban yang terjadi pada diri Marsinah. (Ada sembilan orang yang diadili dalam kasus pembunuhan Marsinah, namun Mahkamah Agung membebaskan mereka semuanya pada tingkat kasasi).
Pengungkapan Kasusnya Menjadi Terang Benderang
Jika Marsinah benar-benar ingin dimuliakan sebagai Pahlawan Nasional Bidang Perjuangan Sosial, dan Perjuangan. Maka langkah utama yang politically correct dan harus dilakukan Pemerintah adalah menjamin dan memastikan pengungkapan kasusnya menjadi terang benderang. Tak ada lagi yang tersembunyi, apalagi ditutup-tutupi. Semua yang terlibat pembunuhan Marsinah, dari peran terkecil sampai peran terbesar, eksekutor lapangan. Maupun perancang intelektual di luar lapangan, harus diganjar hukuman setimpal yang menimbulkan efek jera.
Sebab, glamorisasi seremonial lewat pemberian gelar yang merupakan komitmen simbolik. Menjadi tak berarti apa-apa tanpa komitmen hukum yang sepadan dan signifikan.
Dari sudut sosiologi gerakan sosial, pemberian gelar kepada Marsinah terasa sebagai pengalihan fokus dari solidaritas horizontal (perjuangan sesama buruh). Menuju venerasi vertikal (penghormatan terhadap sosok berdasarkan selera dan legitimasi istana) yang fana.
Jakarta, 11 November 2025. Sosiolog, penerima Anugerah Sastra Andalas 2022 kategori Sastrawan/Budayawan Nasional. Tanggapan atas tulisan ini bisa menghubungi kami lebih lanjut. (Akmal Nasery Basral)
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
