Surau.co. Di dunia yang serba cepat ini, kepintaran sering dijadikan ukuran keberhasilan. Kita memuji orang yang cerdas, cepat tanggap, dan mampu berargumen logis. Namun, dalam hiruk pikuk mencari “pintar”, kadang kita lupa mencari “bener”. Padahal, kepintaran tanpa kebenaran bisa menyesatkan, dan logika tanpa nurani bisa melahirkan kerusakan.
Frasa “jangan cuma pinter, tapi bener” bukan sekadar nasihat moral; ia adalah panggilan untuk menyeimbangkan akal dengan hati, ilmu dengan etika, dan pengetahuan dengan adab. Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an tentang pentingnya ilmu yang tidak hanya dipahami secara rasional, tetapi juga diamalkan secara benar:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini mengajarkan bahwa ilmu baru bernilai ketika disertai iman, dan iman baru kuat ketika didukung oleh ilmu yang benar. Maka, kepintaran yang sejati bukan hanya tentang cepat berpikir, tetapi juga tentang benar bersikap.
Antara Kepintaran dan Kebenaran
Kepintaran adalah kemampuan memahami, menalar, dan mengolah informasi. Kebenaran adalah kemampuan menempatkan sesuatu pada tempatnya dengan adil. Dua hal ini tidak selalu berjalan seiring. Banyak orang pintar yang tahu banyak hal, tapi tidak semua orang pintar mampu bersikap benar dalam menghadapi kenyataan.
Anak muda zaman sekarang tumbuh dengan akses ilmu yang luas. Satu ketikan di layar bisa membuka ribuan sumber pengetahuan. Namun, arus informasi ini juga bisa menyesatkan bila tidak dibarengi dengan kebijaksanaan moral. Pintar saja tidak cukup; dibutuhkan kesadaran untuk menimbang mana yang hak, mana yang batil.
Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
الْعَقْلُ مَادَّةُ الْعِلْمِ، وَالْعِلْمُ دَلِيلُ الْعَقْلِ، وَبِهِمَا تَتِمُّ سَعَادَةُ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ
“Akal adalah bahan bagi ilmu, dan ilmu adalah penunjuk bagi akal; dengan keduanya sempurnalah kebahagiaan dunia dan akhirat.”
Pesan itu menegaskan bahwa akal dan ilmu harus saling menuntun, bukan saling menyesatkan. Akal memberi arah agar ilmu tidak disalahgunakan, sementara ilmu mengasah akal agar tidak tumpul dalam membedakan benar dan salah.
Pintar yang Tidak Bener: Bahaya yang Tak Terlihat
Kita hidup di masa ketika orang pandai bicara, mahir mengutip, dan lihai menampilkan diri. Tapi sering kali kepintaran itu kehilangan arah. Pintar yang tidak bener bisa menjelma menjadi manipulasi: menggunakan logika untuk membenarkan kesalahan, atau mengutip dalil untuk memperkuat ego.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي كُلُّ مُنَافِقٍ عَلِيمِ اللِّسَانِ
“Sesungguhnya yang paling aku takutkan atas umatku adalah orang munafik yang pandai berbicara.”
(HR. Ahmad)
Hadits ini menggambarkan bahaya orang yang “pinter ngomong” tapi tidak jujur hatinya. Ia bisa membuat kebatilan tampak benar, dan kebenaran tampak keliru. Maka, kepintaran tanpa moral bukanlah karunia, melainkan ujian.
Di dunia digital, fenomena ini semakin nyata. Orang yang pandai memutar kata bisa dengan mudah mengubah opini publik. Mereka bisa “terlihat benar” di permukaan, padahal jauh dari kebenaran sejati. Karena itu, menjadi bener jauh lebih penting daripada sekadar terlihat pinter.
Menjadi Bener: Tentang Nurani, Bukan Sekadar Logika
Kebenaran sejati tidak lahir dari kepala semata, tetapi juga dari hati yang bersih. Akal memberi logika, hati memberi arah. Saat akal terlalu mendominasi tanpa disertai kejujuran hati, manusia bisa tersesat di jalan yang tampak benar.
Bener berarti jujur pada diri sendiri dan pada kebenaran yang hakiki, bukan sekadar mencari pembenaran atas keinginan pribadi.
Al-Qur’an menggambarkan ciri orang berilmu yang benar dengan indah:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama (orang berilmu).” (QS. Fathir: 28)
Ayat ini menunjukkan bahwa tanda orang yang benar-benar berilmu adalah rasa takut kepada Allah, bukan rasa bangga pada diri sendiri. Orang yang benar tidak hanya tahu hukum, tetapi juga sadar akan batas. Ia rendah hati dalam pengetahuan, karena tahu bahwa ilmunya hanyalah setetes dari lautan ilmu Allah.
Mendidik Akal dan Menyucikan Hati
Menjadi bener bukan perkara mudah. Diperlukan latihan yang terus-menerus agar akal dan hati berjalan seiring. Akal harus diasah dengan belajar, sementara hati disucikan dengan ibadah, muhasabah, dan adab.
Imam Al-Mawardi mengingatkan:
مَنْ تَأَدَّبَ بِالْعِلْمِ صَانَ نَفْسَهُ، وَمَنْ تَأَدَّبَ بِالْأَدَبِ زَانَ نَفْسَهُ
“Barang siapa beradab dengan ilmu, ia menjaga dirinya; dan barang siapa beradab dengan adab, ia memperindah dirinya.”
Kalimat ini mengajarkan keseimbangan. Ilmu menjaga seseorang agar tidak tersesat, sementara adab memperindah hidupnya agar tidak keras dan kaku.
Anak muda perlu belajar ilmu pengetahuan, tapi juga harus belajar adab—bagaimana menghormati guru, menghargai perbedaan, dan bersikap lembut terhadap sesama. Itulah jalan menjadi bukan hanya pintar, tapi juga bener.
Bener Itu Tentang Tanggung Jawab
Orang bener tidak selalu populer. Kadang ia justru disalahpahami karena berpegang pada prinsip. Namun, orang bener punya satu kekuatan yang tidak dimiliki oleh orang yang hanya pinter: ketenangan batin. Ia tidak tergoda untuk memutar fakta, tidak haus pujian, dan tidak takut sendirian ketika berada di pihak yang benar.
Dalam kehidupan sosial, menjadi bener berarti berani jujur dalam pekerjaan, adil dalam keputusan, dan tulus dalam pelayanan. Dalam dunia pendidikan, bener berarti tidak menyontek walau bisa, tidak mencurangi sistem walau tahu caranya. Di dunia profesional, bener berarti tidak menyalahgunakan kepintaran untuk keuntungan pribadi.
Allah menegaskan pentingnya kejujuran dalam firman-Nya:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan jadilah bersama orang-orang yang jujur.” (QS. At-Taubah: 119)
Kepintaran tanpa kejujuran bisa membawa seseorang pada kehancuran, tetapi kejujuran meskipun sederhana akan menyelamatkan.
Kepintaran yang Menjadi Cahaya Kebenaran
Ilmu sejati tidak hanya menambah tahu, tapi juga menambah takut kepada Allah. Orang yang benar-benar pinter justru semakin rendah hati, karena tahu betapa kecil dirinya di hadapan ilmu Allah. Ketika kepintaran berpadu dengan kebenaran, lahirlah cahaya yang menerangi masyarakat: guru yang tulus, pemimpin yang adil, dan anak muda yang beradab.
Masyarakat membutuhkan lebih banyak orang bener daripada orang pinter. Karena orang bener akan menggunakan kepintarannya untuk kebaikan, bukan untuk kesombongan. Orang pinter bisa memajukan dunia, tapi orang bener bisa menenangkan dunia.
Dalam realitas hari ini, kita melihat banyak yang cerdas dalam teknologi, ekonomi, atau politik. Namun, yang paling dibutuhkan justru mereka yang bisa menyinergikan kecerdasan dengan nurani. Mereka yang santun dalam perbedaan, adil dalam keputusan, dan ikhlas dalam tindakan.
Penutup: Cahaya Orang Bener
Kepintaran adalah anugerah, tapi kebenaran adalah tanggung jawab. Orang pinter bisa menaklukkan dunia, tapi orang bener bisa menuntun manusia menuju kebahagiaan.
Jangan hanya mencari ilmu, tapi carilah hikmah. Jangan hanya pandai bicara, tapi pandailah mendengar nurani.
Karena di akhir perjalanan, bukan seberapa pintar kita yang akan ditanya, tapi seberapa benar kita hidup dengan ilmu yang diberikan. Biarlah akal menuntun jalan, dan hati menjaga arah. Sebab di setiap langkah, Allah menilai bukan dari banyaknya tahu, tetapi dari seberapa jujur niat dan amal kita.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
