Surau.co. Akhlak anak zaman sekarang sering menjadi topik hangat. Banyak yang memuji kreativitas dan keberanian generasi muda, namun tidak sedikit pula yang mengeluhkan sikap mereka yang dianggap terlalu santai, terlalu berani berbicara apa adanya, dan terkadang kurang santun. Perubahan sosial yang cepat menuntut anak muda beradaptasi, namun akhlak tetap menjadi pondasi. Inilah mengapa pembahasan tentang “santai tapi santun” menjadi penting: bagaimana tetap lembut dalam bersikap, tanpa kehilangan spontanitas dan keaslian diri.
Pada era digital, setiap tindakan terekam, setiap ucapan bisa viral. Karena itu, akhlak bukan hanya perintah agama, tetapi kebutuhan sosial yang menjaga kedamaian ruang publik. Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:
وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan ucapkanlah kata-kata yang baik kepada manusia.” (QS. Al-Baqarah: 83)
Ayat ini relevan untuk generasi mana pun. Ia menegaskan bahwa ucapan baik adalah bagian dari akhlak dasar. Anak muda bisa santai, bisa luwes, bisa kreatif, tetapi tetap perlu mengakar pada kesantunan yang menyejukkan.
Mengapa “Santai Tapi Santun” Menjadi Karakter Ideal?
Di tengah budaya digital yang serba cepat, banyak anak muda merasa perlu tampil apa adanya. Mereka ingin dikenal sebagai pribadi yang jujur, terbuka, dan ringan. Namun, keterbukaan yang tanpa batas sering melahirkan sikap keras, sinis, atau kurang hormat. Karenanya, akhlak menjadi pengimbang yang memurnikan tindakan.
Karakter santai membantu anak muda menghadapi tekanan hidup. Mereka tidak mudah stres, cepat beradaptasi, dan mampu menikmati proses. Namun, karakter santun menjaga mereka agar tidak menyakiti orang lain dalam perjalanan itu. Santun melatih mereka mempertimbangkan perasaan, menjaga cara berbicara, dan tetap menghormati siapa pun yang ditemui.
Dalam sebuah hadits, Nabi Muhammad ﷺ bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia akan memperindahnya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan ia akan memperburuknya.”
(HR. Muslim)
Hadits ini menegaskan bahwa santun (rifq, kelembutan) adalah hiasan. Anak muda yang santai tapi santun menunjukkan pribadi yang matang: mampu mengungkapkan pikiran dengan tenang, tetapi tetap menghargai orang lain.
Akhlak dalam Perspektif Adab Klasik: Pelajaran Imam Al-Mawardi
Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam Al-Mawardi menekankan bahwa adab merupakan fondasi utama bagi manusia dalam berinteraksi. Beliau menerangkan:
وَالصَّبْرُ عَلَى أَخْلَاقِ النَّاسِ مِنْ أَشْرَفِ أَخْلَاقِ الْعُقَلَاءِ
“Kesabaran atas akhlak manusia adalah salah satu akhlak termulia dari orang-orang berakal.”
Pesan ini sangat relevan bagi anak muda. Dunia mereka penuh keberagaman karakter: komentar pedas di media sosial, tuntutan akademik, tekanan pekerjaan, dinamika pertemanan. Santun bukan hanya tentang bagaimana mereka bersikap kepada orang lain, tetapi juga bagaimana mereka bersabar terhadap sikap orang lain.
Imam Al-Mawardi juga menekankan pentingnya menjaga lidah:
اللِّسَانُ سَبُعٌ إِنْ خُلِّيَ عَنْهُ عَقَرَ
“Lidah itu seperti binatang buas; bila dibiarkan, ia akan melukai.”
Anak muda yang santai bisa apa adanya, namun tanpa santun mereka bisa menyakiti dengan kata-kata. Di sinilah akhlak menjadi rem, penata, dan pengarah.
Santai Bukan Berarti Abai: Membangun Etika Komunikasi di Era Digital
Era digital membuat komunikasi berlangsung cepat. Banyak anak muda merasa lebih bebas mengekspresikan opini. Kebebasan ini bagus, tetapi perlu disertai kesadaran. Santai berarti tidak kaku, tetapi bukan berarti berbicara tanpa batas.
Menyampaikan pendapat dengan santun membuat pesan lebih diterima dan tidak menimbulkan keretakan. Anak muda perlu memahami bahwa jejak digital bersifat permanen. Sikap santai boleh ditampilkan melalui gaya bahasa yang ringan, visual yang kreatif, atau ekspresi yang natural. Tetapi santun harus tetap menjadi bingkai agar tidak menyinggung siapa pun.
Salah satu bentuk santun digital adalah mengecek kebenaran informasi sebelum membagikannya. Anjuran ini sesuai dengan perintah Al-Qur’an:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا
“Wahai orang-orang yang beriman, jika ada orang fasik datang kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya.” (QS. Al-Hujurat: 6)
Santai boleh. Tidak tergesa-gesa justru wujud santun di ruang digital.
Menumbuhkan Akhlak Santun di Lingkungan Anak Muda
Pembentukan akhlak bukan proses instan. Anak muda perlu ruang untuk tumbuh, belajar, dan memperbaiki diri. Ada beberapa langkah sederhana namun bermakna yang dapat dilakukan untuk membangun karakter santai tapi santun.
Pertama, membiasakan diri mendengarkan. Mendengarkan adalah bentuk penghormatan. Anak muda yang santun tidak hanya menunggu giliran bicara, tetapi memberi ruang kepada orang lain untuk menyampaikan gagasannya.
Kedua, memilih kata yang meneduhkan. Kesantunan terlihat dari cara anak muda mengekspresikan pendapat. Mereka bisa tegas tetapi tetap ramah. Mereka bisa jujur tanpa menyakiti.
Ketiga, berlatih rendah hati. Rendah hati bukan sikap lemah, melainkan kemampuan melihat kelebihan orang lain dan mengakui kekurangan diri sendiri. Sikap ini menghindarkan mereka dari kesombongan yang sering muncul akibat keterampilan digital atau pencapaian tertentu.
Keempat, menjadikan agama sebagai sumber inspirasi. Akhlak mulia adalah ajaran dasar Islam. Kelembutan Nabi ﷺ menjadi contoh terbaik bagi semua generasi. Al-Qur’an menegaskan:
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Sungguh, engkau (Muhammad) berada di atas budi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)
Dengan menjadikan sifat Nabi sebagai teladan, anak muda bisa santai tetapi tetap ramah, terbuka tetapi tetap sopan, modern tetapi tetap beradab.
Generasi Digital yang Luwes dan Beradab
Anak muda zaman sekarang adalah generasi yang cerdas, cepat belajar, dan terbuka pada perubahan. Mereka akrab dengan teknologi, terbiasa berinteraksi secara visual, dan mampu menciptakan karya kreatif dari ponsel mereka sendiri. Namun perkembangan ini tidak boleh memudarkan akhlak.
Santai tapi santun menjadikan anak muda tidak kehilangan jati diri. Mereka tetap bisa tampil modern, bergaya, dan ekspresif, tetapi tetap menebarkan kenyamanan. Sikap santun membuat mereka dihargai di dunia nyata maupun digital. Orang-orang senang bekerja dengan mereka, berteman dengan mereka, dan belajar dari mereka.
Generasi ini juga perlu ruang untuk berkembang. Alih-alih mengkritik tanpa arah, orang dewasa perlu membimbing, menjadi teladan, dan menyediakan lingkungan yang mendukung. Akhlak bukan hanya ajaran, tetapi contoh nyata.
Anak muda yang santai tapi santun adalah anak muda yang kuat. Mereka mampu berdiri tegak dengan akhlak sebagai fondasi, sekaligus melangkah luwes dalam dunia yang berubah cepat.
Penutup: Santun sebagai Cahaya, Santai sebagai Nafas
Pada akhirnya, “santai tapi santun” adalah perpaduan keseimbangan antara keberanian dan kelembutan. Santai memberi ruang bagi jiwa untuk bernapas, sedangkan santun memberi arah bagi tindakan. Anak muda yang memadukan keduanya akan tumbuh menjadi pribadi matang yang diterima di manapun mereka berada.
Biarlah santun menjadi cahaya yang menuntun perjalanan, dan santai menjadi nafas yang menguatkan langkah-langkah mereka. Sebab dunia yang bising ini selalu rindu kepada pribadi yang lembut, tenang, dan beradab.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
