SURAU.CO – Dalam khazanah keilmuan Islam di Nusantara, para ulama terdahulu tidak hanya mengajarkan agama, tetapi juga menulis karya-karya monumental yang menjadi warisan berharga hingga kini. Salah satu tokoh penting di antara mereka adalah Syaikh Abu Fadhol bin ‘Abdus Syakur Senori, ulama besar asal Bangilan, Tuban, Jawa Timur. Beliau dikenal sebagai sosok yang mencintai ilmu, tekun mengajar, dan produktif menulis kitab dalam berbagai disiplin ilmu keilmuan Islam. Salah satu karya pentingnya yang masih dipelajari di banyak pesantren sampai hari ini adalah Kitab Kafiyatuth Thullab fi ‘Ilmi Nahwu .
Kitab ini menunjukkan betapa besar kontribusi ulama Nusantara dalam mengembangkan ilmu bahasa Arab, khususnya ilmu nahwu. Melalui karya tersebut, Syaikh Abu Fadhol berhasil menyusun ulang kaidah tata bahasa Arab dengan sistematis dan menyesuaikannya dengan kebutuhan santri agar lebih mudah mereka pahami dan hafalkan.
Syaikh Abu Fadhol bin ‘Abdus Syakur menjalani kehidupan yang sederhana, tetapi beliau memiliki keluasan ilmu yang luar biasa. Beliau tumbuh di lingkungan pesantren di Senori, Tuban , dan sejak muda menekuni berbagai cabang ilmu seperti bahasa Arab, fikih, dan ushul fikih. Dalam perjalanan intelektualnya, ia menjalin hubungan keilmuan yang erat dengan banyak ulama besar di Jawa dan Madura. Dari majelisnya, lahirlah banyak murid yang kemudian menjadi kiai dan pengasuh pesantren di berbagai wilayah Indonesia.
Melalui karya-karya berbahasa Arab, Syaikh Abu Fadhol menunjukkan penguasaan mendalam terhadap ilmu-ilmu klasik. Selain Kafiyatuth Thullab fi ‘Ilmi Nahwu , beliau juga menulis kitab-kitab penting lain seperti Al-Manhajul Qawim dan Tasywiqul Khallan . Seluruh karya tersebut menggambarkan ketekunan beliau dalam mengajarkan ilmu dengan cara yang tertib, sederhana, dan menyeluruh.
Isi dan Keistimewaan Kitab Kafiyatuth Thullab
Kitab Kafiyatuth Thullab fi ‘Ilmi Nahwu berisi pembahasan tentang kaidah-kaidah tata bahasa Arab (nahwu) yang disusun dalam bentuk nadhom atau syair. Syaikh Abu Fadhol memilih bentuk ini karena tradisi pesantren mengandalkan hafalan sebagai metode belajar utama. Dengan irama dan rima yang teratur, para santri bisa menghafal dan memahami isi kitab dengan lebih mudah.
Kitab ini memuat pembahasan dasar-dasar nahwu yang menjadi fondasi penting bagi siapa pun yang ingin memahami bahasa Arab secara benar. Di dalamnya, Syaikh Abu Fadhol menjelaskan berbagai aturan tentang isim, fi’il, huruf, i’rab, dan tarkib secara runtut. Beliau tidak hanya menuliskan teori, tetapi juga memberikan contoh dan penjelasan singkat agar pelajar tingkat dasar maupun menengah dapat memahami dengan cepat.
Selain mengajarkan tata bahasa, Syaikh Abu Fadhol juga menyisipkan nilai moral dan spiritual. Beliau menanamkan pesan bahwa belajar bahasa tidak boleh lepas dari adab. Ia menekankan pentingnya niat yang tulus, ketekunan belajar, serta penghormatan kepada guru sebagai jalan untuk mendapatkan keberkahan ilmu.
Salah satu hal menarik dari Kafiyatuth Thullab terletak pada penyajiannya yang juga menyinggung qawaidul fiqhiyah —kaidah-kaidah fikih umum yang menjadi dasar pemahaman hukum Islam. Syaikh Abu Fadhol menulis kaidah-kaidah itu dalam bentuk nadhom, sehingga santri bisa mempelajari dua disiplin ilmu sekaligus: nahwu dan fikih.
Dengan cara ini, para santri tidak hanya mempelajari struktur bahasa Arab, tetapi juga memahami makna hukum yang terkandung dalam teks-teks klasik. Pendekatan tersebut menampilkan keluasan pandangan keilmuan Syaikh Abu Fadhol yang integratif. Beliau menegaskan bahwa ilmu nahwu berfungsi sebagai pintu menuju pemahaman syariat Islam secara utuh.
Tradisi penulisan nadhom seperti ini menunjukkan kesinambungan metode belajar pesantren yang menekankan hafalan, pemahaman, dan pengamalan. Kitab Kafiyatuth Thullab pun berperan sebagai jembatan antara teori bahasa dan pemahaman teks-teks agama, seperti Al-Qur’an, hadis, dan kitab turats.
Peran dan Relevansi di Pesantren Saat Ini
Para kiai di berbagai pesantren hingga kini masih mengajarkan Kafiyatuth Thullab fi ‘Ilmi Nahwu secara rutin. Pesantren di Jawa Timur menjadikannya bahan ngaji mingguan atau kitab pengantar sebelum santri mempelajari karya yang lebih kompleks seperti Alfiyah Ibnu Malik.
Para ustaz dan pengajar menggunakan kitab ini untuk memperkenalkan ilmu nahwu dengan cara yang lebih ringan dan menyenangkan. Mereka mengajarkannya melalui metode bandongan , di mana kiai membaca sambil santri menyimak, dan sorogan , di mana santri membaca di hadapan guru untuk dikoreksi langsung.
Di tengah kemajuan teknologi dan arus modernisasi, Kafiyatuth Thullab tetap relevan. Kitab ini membuktikan bahwa warisan keilmuan dari ulama Nusantara mampu bertahan dan tetap menjadi pegangan penting bagi siapa pun yang ingin memahami dasar bahasa Arab dengan cara yang beradab dan kontekstual.
Syaikh Abu Fadhol bin ‘Abdus Syakur melalui Kafiyatuth Thullab fi ‘Ilmi Nahwu meninggalkan warisan intelektual sekaligus spiritual yang berharga. Beliau mengajarkan bahwa belajar bahasa Arab bukan hanya soal menguasai struktur kalimat, tetapi juga tentang menghargai ilmu, guru, dan tradisi keilmuan.
Para santri hingga hari ini terus mengaji, menghafal, dan mengamalkan isi kitab ini dengan semangat. Dari pesantren ke pesantren, bait-bait nadhom karya Syaikh Abu Fadhol terus menggema, menandakan bahwa ilmunya masih hidup dan memberi cahaya.
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
