Surau.co. Dalam perjalanan menjadi manusia yang lebih baik, kita sering terjebak dalam rasa takut: takut gagal, takut dihakimi, takut tak dianggap cukup saleh. Padahal, menjadi baik tidak selalu berarti sempurna. Kadang, niat baik itu sendiri sudah menjadi cahaya kecil yang menuntun langkah kita di jalan yang panjang.
Sering kali, seseorang berhenti berbuat baik hanya karena merasa gagal sekali. Padahal, gagal itu bagian dari proses menjadi lebih manusiawi. Allah tidak menuntut kita untuk selalu benar, tapi untuk selalu berusaha. Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:
وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا
“Dan orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk (mencari keridaan) Kami, benar-benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
(QS. Al-‘Ankabūt [29]: 69)
Ayat ini mengajarkan, perjuangan untuk menjadi baik — meski sering gagal — tetap mendapat bimbingan dari Allah. Yang penting bukan hasil akhirnya, tapi keikhlasan dan keberanian untuk terus mencoba.
Gagal Bukan Akhir, Tapi Bagian dari Jalan
Kebaikan itu seperti menanam pohon. Kita tidak selalu tahu kapan ia tumbuh, seberapa tinggi ia menjulang, atau di mana ia akan berbuah. Yang bisa kita lakukan hanyalah menanam, menyiram, dan menjaga agar tetap hidup. Kadang pohon itu tumbuh lambat, kadang patah diterpa badai, tapi setiap upaya tetap berarti.
Rasulullah ﷺ bersabda:
اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ
“Jagalah diri kalian dari api neraka, walaupun hanya dengan (bersedekah) separuh kurma.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Hadis ini menegaskan bahwa tidak ada kebaikan yang terlalu kecil, dan tidak ada kegagalan yang terlalu besar untuk memadamkan niat tulus. Jika hari ini kita jatuh, lalu bangkit dan mencoba lagi, itulah bentuk nyata dari iman yang hidup.
Kegagalan dalam berbuat baik bukan tanda kelemahan, tetapi tanda bahwa hati kita masih berjuang. Karena hanya orang yang peduli pada kebaikanlah yang bisa merasakan kecewa saat belum mampu melakukannya.
Imam Al-Mawardi: Kesungguhan Adalah Inti Kebaikan
Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
مَنْ جَدَّ فِي طَلَبِ الْخَيْرِ لَمْ يَفُتْهُ كُلُّهُ، وَإِنْ فَاتَهُ بَعْضُهُ
“Barang siapa bersungguh-sungguh dalam mencari kebaikan, ia tidak akan kehilangan seluruhnya, meskipun sebagian darinya luput.”
Kalimat ini sederhana tapi dalam. Ia menunjukkan bahwa usaha yang sungguh-sungguh dalam kebaikan tidak pernah sia-sia. Sekalipun hasilnya belum sempurna, Allah tetap menilai niat dan perjuangan yang ada di baliknya.
Al-Mawardi mengingatkan kita agar tidak berhenti hanya karena hasil yang tak sesuai harapan. Kebaikan bukan tentang pencitraan di mata manusia, tapi tentang kesungguhan di hadapan Tuhan. Selama niat itu murni, setiap langkah — meski tertatih — tetap bernilai ibadah.
Kebaikan Itu Proses, Bukan Lomba Cepat
Di zaman serba instan, banyak orang ingin jadi baik dengan cara cepat: ikut kajian seminggu, langsung berubah total; berbuat baik sekali, langsung ingin dipuji. Padahal, kebaikan sejati adalah perjalanan panjang yang penuh latihan dan kesabaran.
Menjadi baik bukan lomba lari cepat, melainkan perjalanan maraton. Ada masa lelah, ada saat ingin berhenti, tapi yang penting adalah tidak menyerah. Setiap kali jatuh, bangkit lagi. Setiap kali khilaf, minta ampun dan lanjutkan. Karena Allah lebih menghargai proses yang jujur daripada pencapaian yang pura-pura.
Allah ﷻ berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar sebagaimana telah diperintahkan kepadamu.”
(QS. Hūd [11]: 112)
Kata “tetaplah” dalam ayat ini bukan perintah untuk tidak pernah salah, tetapi ajakan untuk terus kembali ke jalan yang lurus setiap kali menyimpang. Istiqamah bukan tentang tak pernah jatuh, tapi tentang tak pernah menyerah untuk bangkit.
Jangan Malu dengan Proses yang Belum Sempurna
Banyak orang berhenti berbuat baik karena malu: malu pernah salah, malu tidak diakui, atau malu dikira sok suci. Padahal, kebaikan tidak butuh pengakuan, cukup dilakukan. Yang penting bukan bagaimana orang melihat, tapi bagaimana Allah menilai.
Rasa malu yang berlebihan justru bisa menutup pintu perubahan. Dalam Islam, malu itu bagian dari iman, tetapi malu yang membuat seseorang berhenti memperbaiki diri justru berbahaya. Imam Al-Mawardi menerangkan:
الْحَيَاءُ مِمَّا لَا يَمْنَعُ مِنْ طَلَبِ الْفَضَائِلِ، وَلَا يَصْرِفُ عَنِ الْمَصَالِحِ
“Rasa malu tidak seharusnya menghalangi seseorang dari mencari keutamaan atau menjauhkan dirinya dari kemaslahatan.”
Artinya, malu boleh, tapi jangan sampai membuat kita berhenti belajar jadi lebih baik. Dunia ini bukan tempat bagi orang sempurna, tapi tempat bagi orang yang terus mencoba menjadi lebih baik dari kemarin.
Menghadapi Kegagalan dengan Jiwa Lapang
Kegagalan sering datang bersama penyesalan. Kita merasa sudah berbuat baik, tapi disalahpahami. Sudah menolong, tapi dibalas dingin. Sudah berusaha sabar, tapi tetap diuji. Dalam momen seperti ini, penting untuk ingat: kebaikan bukan transaksi sosial, melainkan ibadah pribadi.
Allah tidak menilai hasil, tapi niat. Dalam hadits yang terkenal, Rasulullah ﷺ bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niatnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, kalau niat kita baik, tidak ada kebaikan yang benar-benar gagal. Bisa jadi manusia tak melihat, tapi Allah mencatat. Bisa jadi orang lupa, tapi malaikat tidak pernah lalai.
Kegagalan hanyalah cara lain Allah mendidik jiwa kita agar lebih ikhlas. Karena justru dalam kegagalan, kita belajar rendah hati; dalam kesalahan, kita belajar sabar; dan dalam kejatuhan, kita belajar makna sebenarnya dari bangkit.
Jadi Baik Itu Tentang Bertahan, Bukan Menang
Kebaikan sejati bukan tentang menang dari orang lain, tapi tentang menang melawan diri sendiri. Menahan ego ketika disakiti, menahan amarah ketika disalahpahami, menahan diri untuk tetap jujur meski sulit — itulah kemenangan yang sejati.
Menjadi baik kadang melelahkan, tapi berhenti mencoba jauh lebih menyakitkan. Karena di setiap usaha untuk tetap baik, Allah sedang menguatkan hati. Dalam QS. Al-Baqarah [2]: 286, Allah berfirman:
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا
“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.”
Ayat ini menjadi pengingat lembut: bahwa setiap perjuanganmu sudah diukur oleh Allah. Tidak ada kebaikan yang terlalu berat, dan tidak ada ujian yang sia-sia.
Penutup: Gagal Itu Wajar, Berhenti Itu Bahaya
Hidup bukan tentang selalu berhasil menjadi baik, tapi tentang tidak menyerah untuk tetap berusaha. Kadang kita jatuh dalam salah, tergelincir dalam khilaf, atau tergoda oleh dunia — tapi jangan biarkan itu menjadi alasan untuk berhenti.
Kebaikan tidak menuntut kesempurnaan, hanya ketulusan. Karena yang Allah cintai bukanlah mereka yang tidak pernah salah, tapi mereka yang selalu kembali setiap kali salah. Dalam setiap air mata penyesalan, ada doa yang didengar. Dalam setiap langkah kecil menuju kebaikan, ada pahala yang tak terlihat.
Jadi, biarlah kita gagal hari ini, asal jangan berhenti mencoba esok. Karena selama hati masih bergetar untuk menjadi baik, Allah masih menunggu di ujung jalan dengan kasih yang tak pernah habis.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
