Surau.co. Ada kalanya kita sibuk mengejar hal-hal besar, sampai lupa betapa indahnya hal-hal kecil yang sering luput dari rasa syukur. Kita terlalu sibuk menatap ke atas, menakar apa yang belum dimiliki, hingga lupa menunduk dan melihat nikmat sederhana yang setiap hari hadir tanpa diminta. Padahal, kehidupan sejatinya tidak selalu tentang banyaknya harta, tingginya jabatan, atau luasnya pengaruh. Ada kebahagiaan yang tumbuh dari secangkir teh hangat di pagi hari, dari suara ayam berkokok, dari sapaan ramah tetangga, atau sekadar waktu tenang bersama diri sendiri.
Allah ﷻ mengingatkan dalam firman-Nya:
وَإِن تَعُدُّوا نِعْمَتَ اللَّهِ لَا تُحْصُوهَا
“Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, niscaya kamu tidak akan mampu menghitungnya.”
(QS. Ibrahim [14]: 34)
Ayat ini bukan hanya seruan untuk bersyukur, tapi juga peringatan halus bahwa manusia sering gagal menyadari betapa luas rahmat Allah bahkan dalam hal-hal yang tampak sepele. Dalam setiap napas, senyum, dan langkah, ada limpahan nikmat yang kadang baru terasa penting ketika hilang.
Nikmat Sederhana yang Sering Terlupakan
Kita hidup di zaman yang serba cepat. Waktu seperti dikejar, ruang seperti menyempit. Dalam pusaran rutinitas itu, banyak orang kehilangan kemampuan menikmati hidup. Makan terburu-buru, berbicara sambil menatap layar, tidur dengan pikiran penuh rencana. Akhirnya, nikmat sederhana seperti udara segar, hujan sore, atau tawa anak kecil menjadi asing dalam kesadaran kita.
Padahal, Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ أَصْبَحَ مِنْكُمْ آمِنًا فِي سِرْبِهِ، مُعَافًى فِي جَسَدِهِ، عِنْدَهُ قُوتُ يَوْمِهِ، فَكَأَنَّمَا حِيزَتْ لَهُ الدُّنْيَا
“Barang siapa di antara kalian bangun pagi dalam keadaan aman di lingkungannya, sehat badannya, dan memiliki makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah dikumpulkan untuknya.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini menegaskan, nikmat terbesar bukanlah yang tampak megah, melainkan yang paling dekat dengan kehidupan kita: rasa aman, kesehatan, dan kecukupan. Tiga hal ini sering terasa remeh, padahal menjadi sumber kebahagiaan yang paling hakiki.
Hikmah Imam Al-Mawardi tentang Menikmati Dunia dengan Adab
Dalam kitab Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, Imam Al-Mawardi menerangkan:
فَإِذَا كَانَتِ الدُّنْيَا مَوْضِعَ مَعَاشٍ وَمَجَالَ تَكْلِيفٍ، كَانَ الْمَطْلُوبُ فِيهَا قَدْرَ مَا يَبْلُغُ إِلَى الْقَصْدِ، وَلَا يُجَاوَزُ فِيهَا الْحَدَّ الَّذِي يُفْضِي إِلَى الْفَسَادِ
“Apabila dunia ini menjadi tempat kehidupan dan ladang tanggung jawab, maka yang seharusnya dicari di dalamnya hanyalah sekadar untuk mencapai tujuan (kecukupan), dan tidak melampaui batas yang dapat membawa kepada kerusakan.”
Imam Al-Mawardi menegaskan pentingnya keseimbangan dalam menikmati dunia. Nikmat dunia bukan untuk diingkari, melainkan disyukuri dengan batas yang wajar. Orang yang mampu menikmati dunia dengan adab tidak akan terperangkap dalam keserakahan. Ia tahu kapan cukup, kapan berhenti, dan bagaimana menempatkan dunia di tangan, bukan di hati.
Kita bisa belajar darinya: dunia bukan musuh, melainkan sahabat dalam perjalanan menuju akhirat. Menikmati dunia dengan rasa syukur justru menjadi bagian dari ibadah, selama tidak melalaikan tujuan yang lebih besar.
Ketika Nikmat Sederhana Menjadi Jalan Spiritual
Sering kali kita menduga bahwa spiritualitas hanya bisa ditemukan di tempat sunyi, di sajadah panjang, atau di malam tahajud yang tenang. Padahal, spiritualitas bisa tumbuh dari hal-hal sederhana: dari cara kita bersyukur atas secangkir kopi, dari senyum tulus kepada orang tua, atau dari kesabaran menunggu hujan reda tanpa mengeluh.
Rasa syukur atas nikmat kecil membuka pintu kesadaran yang lebih dalam. Ia membuat hati lembut dan pikiran tenang. Orang yang terbiasa mensyukuri hal sederhana tidak mudah goyah ketika diuji kehilangan, karena ia tahu: kebahagiaan tidak datang dari luar, tapi tumbuh dari dalam hati yang ridha.
Allah ﷻ berfirman:
لَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ
“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu.”
(QS. Ibrahim [14]: 7)
Syukur atas nikmat sederhana adalah latihan jiwa. Ia menuntun kita pada kedewasaan spiritual — tidak bergantung pada dunia, tapi juga tidak menolaknya.
Dunia yang Sederhana Tidak Berarti Biasa
Kesederhanaan sering disalahartikan sebagai kekurangan. Padahal, sederhana bukan berarti kurang, melainkan cukup. Dalam kesederhanaan, seseorang belajar membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Ia tidak menolak kemajuan, tapi juga tidak terjebak dalam nafsu memiliki segalanya.
Lihatlah orang yang hidup sederhana tapi bahagia: ia makan tanpa resah, tidur tanpa gelisah, dan tersenyum tanpa alasan yang rumit. Ia tidak sibuk membandingkan dirinya dengan orang lain. Inilah bentuk kebijaksanaan hidup yang kerap diabaikan oleh generasi yang tumbuh di tengah hiruk-pikuk dunia digital.
Imam Al-Mawardi juga menerangkan dalam bagian lain kitabnya:
إِذَا أَكْثَرَ الْمَرْءُ مِنْ مَتَاعِ الدُّنْيَا، أَشْغَلَهُ ذَلِكَ عَنْ نَفْسِهِ وَعَنْ مَعَادِهِ
“Apabila seseorang terlalu banyak mencari kesenangan dunia, maka hal itu akan menyibukkannya dari dirinya sendiri dan dari akhiratnya.”
Pesan ini relevan dengan zaman sekarang: semakin banyak kita mengejar, semakin jauh kita dari ketenangan. Dunia yang sederhana bukan berarti dunia yang miskin, melainkan dunia yang tertata, di mana setiap hal berada pada tempatnya.
Belajar Bersyukur dari Hal yang Paling Dekat
Mari kita mulai dengan hal-hal yang paling dekat: udara pagi yang segar, air wudhu yang membasuh wajah, aroma tanah setelah hujan, doa ibu yang tak pernah putus. Semua itu adalah nikmat yang setiap hari hadir tanpa kita bayar. Bila kita mau sedikit berhenti dan memperhatikan, betapa banyak keajaiban sederhana yang mengelilingi hidup kita.
Rasulullah ﷺ sendiri hidup dengan kesederhanaan yang luar biasa. Beliau tidur di atas tikar kasar, makan secukupnya, dan tetap tersenyum pada siapa pun. Namun dari hidup yang tampak sederhana itulah lahir kebahagiaan yang melimpah, bukan karena banyaknya harta, tapi karena hatinya penuh syukur.
Menemukan Kembali Ketenangan dalam Kesederhanaan
Hidup sederhana bukan berarti menjauh dari dunia, tetapi menjadikan dunia sebagai tempat belajar tentang arti cukup. Ketika kita mampu menghargai hal-hal kecil, dunia terasa lebih bersahabat. Tidak ada lagi keinginan yang menyesakkan, tidak ada iri yang membakar, dan tidak ada ambisi yang menggerus makna hidup.
Nikmat dunia yang sederhana adalah cara Allah mengajarkan cinta dengan bentuk yang halus. Ia hadir dalam waktu yang cukup, dalam rezeki yang pas, dalam pertemuan singkat tapi bermakna. Menyadari semua itu membuat hidup lebih tenang, lebih ringan, dan lebih dalam.
Penutup: Syukur yang Menghidupkan Jiwa
Pada akhirnya, hidup yang indah bukanlah hidup yang penuh kemewahan, melainkan hidup yang penuh kesadaran. Saat kita mampu bersyukur atas nikmat dunia yang sederhana, hati menjadi lapang, jiwa menjadi hidup. Syukur membuat dunia terasa dekat, membuat Allah terasa nyata di setiap hembusan napas.
Maka, jangan lupa nikmat dunia yang sederhana. Sebab, di sanalah letak rahasia kebahagiaan sejati — bukan dalam apa yang kita miliki, tetapi dalam bagaimana kita mensyukurinya.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
