Khazanah
Beranda » Berita » Pembuka Gerbang Munafik: Dusta dan Ingkar Janji Menurut Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah

Pembuka Gerbang Munafik: Dusta dan Ingkar Janji Menurut Imam Al-Ghazali dalam Bidayatul Hidayah

Ilustrasi saat hendak menahan lisan untuk tidak berbicara.
Ilustrasi saat hendak menahan lisan untuk tidak berbicara.

SURAU.COImam Al-Ghazali, dalam kitab monumental beliau, Bidayatul Hidayah, dengan tegas mengingatkan kita bahwa lisan merupakan anggota badan yang paling besar mendatangkan kerusakan bagi seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Beliau mengajak kita merenungkan tujuan penciptaan lisan, yaitu sebagai sarana syukur kepada Allah. Lisan yang tidak terkontrol, sebaliknya, dapat merusak kehormatan, memicu murka Ilahi, bahkan menjadi penyebab utama seseorang terjerumus  ke dalam api neraka Jahannam. Oleh karena itu, Al-Ghazali menekankan pentingnya memelihara lisan dari delapan penyakit utama, hal ini bisa kita mulai dari penggunaan lisan untuk dusta hingga ingkar janji, demi mencapai keselamatan jiwa.

 Lisan: Jalan Besyukur dan Juga Jalan Masuk  Menuju Neraka

Ada pun Imam Al-Ghazali mengajak  kita memperhatikan, apakah maksud dan tujuan Allah SWT. menciptakan lisan buat kita, sehingga kita akan sadar dari kelalaian dan dari perbuatan maksiat, di samping sebagai tanda syukur kepada-Nya.

Betapa banyak kenikmatan yang telah kita terima melalui lisan. Karena itu, hendaklah kita syukuri dengan jalan menggunakan lisan tersebut untuk memperbanyak dzikir kepada Allah SWT. yang telah menciptakannya. Lalu sarana memperbanyak membaca Al-Qur’an. Kemudian lisan dapat menuntun orang lain menuju ajaran agama Allah. Terakhir, dapat menyatakan sesuatu yang ada di dalam hati, dari segala hajat kebutuhan yang berkenaan dengan masalah agama dan urusan keduniaan kita.

Seandainya lisan kita tidak kita gunakan untuk sesuatu yang baik, malah kita pakai untuk mengucapkan sesuatu yang tidak semestinya, berarti kita telah mengkufuri Allah SWT. Perlu diketahui, sesungguhnya lisan merupakan salah satu anggota badan yang paling dominan dan paling banyak perannya dalam mengalahkan seseorang.

Bahaya Lisan: Potensi Masuk Neraka

Seseorang dijebloskan dalam api neraka Jahannam dan dijungkir balikkan adalah akibat lisan juga. Karena itu, hendaklah kita menjaga dan memelihara lisan tersebut. Hendaknya kita jaga dengan sungguh-sungguh dan sekuat tenaga, sesuai dengan kemampuan yang ada. Tujuannya adalah agar lisan tidak akan menjebloskan kita ke dalam api neraka Jahannam yang sangat keji dan hina. Untuk itu, perhatikan dan renungkan hadits Nabi SAW. di bawah ini:

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

“Sesungguhnya, seseorang yang karena mengeluarkan perkataan dengan ucapan yang mengandung maksud meremehkan kawan, maka karena ucapan itu, dia dimasukkan ke nereka Jahannam selama tujuh puluh tahun.”

Di samping hadits di atas, perlu pula kita perhatikan keterangan riwayat hadits di bawah ini:

“Telah diriwayatkan, bahwa sesungguhnya ada salah seorang yang gugur dalam sebuah pertempuran yang terjadi di zaman Rasulullah SAW. Di situ ada salah seorang yang mengatakan: “Untung sekali si orang yang mati syahid itu, mati dalam pertempuran, dia tentu masuk surga.” Maka Rasulullah SAW. bersabda: “Dari mana kamu tahu kalau dia berada dalam surga? Padahal boleh jadi ia pernah mengatakan sesuatu yang tidak memberikan manfaat kepadanya, dan pernah berbuat bakhil terhadap sesuatu yang tidak dapat memberikan kecukupan terhadap dirinya.”

Potensi Bahaya yang Datang dari Lisan

Berdasarkan kedua keterangan hadits di atas, Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa  kita dapat mengerti bahwa lisan sangat potensial mendatangkan bahaya apabila kita tidak menjaganya dengan baik. Oleh karena itu, hendaklah kita memelihara diri dari delapan perkara yang sangat besar mendatangkan bahaya bagi keselamatan jiwa, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Adapun beberapa perkara tersebut adalah  dusta. Yang kami maksudkan di sini adalah dusta sungguhan atau hanya main-main saja. Sebab, dusta merupakan sejelek-jelek perbuatan dosa.

Janganlah kita membiasakan diri melakukan perbuatan dusta sembarangan. Sebab hal itu akan mengantar kita melakukan dusta yang sebenarnya, atau dengan kata lain, akan mengantar kita menjadi seorang pendusta. Pasalnya, kebiasaan bermain-main dengan dusta akan mengantar kita menjadi dusta sungguhan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Dusta : Induk dari Segala Dosa Besar

Perlu diketahui, sesungguhnya perbuatan dusta merupakan induk dari segala perbuatan dosa besar. Karena itu, kalau kita telah mengetahui keburukannya, hendaklah kita menjauhinya. Kalau masih saja kita lakukan, sudah pasti kita akan kehilangan sifat keadilan, dan kita akan kehilangan pula sifat kepercayaan manusia terhadap ucapan kita. Kalau ini terjadi, akibatnya manusia tidak akan percaya lagi terhadap ucapan atau tindakan kita selamanya.

Jika seseorang ingin mengetahui kejelekan perbuatan dusta yang keluar dari lisannya, hendaklah ia melihat perbuatan atau ucapan dusta yang dilakukan orang lain. Lalu ia merenungkan bagaimana rasanya didustai orang, dan bagaimana perasaannya terhadap orang yang berdusta tersebut. Kalau seseorang menganggap hina perbuatan dusta, berarti ia merasa menjadi orang terhina bila ia berbuat dusta.

Jika seseorang dapat mengambil kesimpulan dari masalah dusta yang dilakukan orang lain, maka hendaklah ia berintrospeksi, menjaga diri terhadap segala aib yang terdapat dalam dirinya. Sebab, kita tidak dapat melihat dan mengetahui aib diri kita sendiri, tanpa cara yang demikian. Ini ibarat seorang yang tidak dapat melihat paras muka sendiri, maka untuk melihatnya ia memerlukan cermin. Karena itu, sesuatu yang kita anggap tidak baik yang timbul dari orang lain, tentu akan dianggap jelek ataupun buruk pula dari orang lain bila kita lakukan. Karena itu, janganlah kita mau ternodai sifat tercela, yang menurut pandangan umum tidak baik. Demikianlah Islam mengajarkan kepada pemeluknya agar berakhlak yang baik, yang mengantarkan mereka menuju keselamatan dunia dan akhirat.

Ingkar Janji

Imam Al-Ghazali menyampaikan, apabila kita tidak bisa menepati janji, lebih baik kita tidak berjanji. Sebab mengingkari janji merupakan larangan agama yang harus kita hindarkan sebagai  kaum muslimin. Kalau kita ingin berbuat kebaikan pada orang lain, sebaiknya kita langsung melaksanakan, tidak usah berjanji terlebih dahulu.

Kalau memang kita terpaksa berjanji, hendaklah kita menjaganya dengan sungguh-sungguh, jangan sampai kita mengingkarinya. Kita boleh mengingkari janji kalau dalam keadaan lemah ataupun dalam keadaan darurat (terpaksa). Sebab, mengingkari janji tanpa ada alasan merupakan bagian dari tanda-tanda munafik, di samping termasuk akhlak yang jelek pula. Rasulullah SAW. bersabda:

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

“Ada tiga perkara yang apabila dimiliki oleh seseorang, maka dia orang munafik, sekalipun dia melakukan shalat dan puasa. Tiga perkara itu ialah: Apabila berjanji mengingkari, apabila berkata dusta, dan apabila dipercaya khianat.”

(St.Diyar)

Referensi: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ghazali at-Thusi , Bidayatul Hidayah


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement