SURAU.CO– Imam Abu Hamid Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental, Bidayatul Hidayah menegaskan bahwa tindakan bertengkar mulut, berdebat, dan berbicara terlalu banyak dapat menyakiti orang yang kita ajak bicara. Perilaku ini sering kali menyiratkan bahwa kita menganggap bodoh dan mencela lawan bicara. Tindakan semacam itu, baik didasari atau tidak, secara halus menyanjung diri sendiri dan membuat kita merasa lebih bersih, pandai, atau cerdik. Padahal, perilaku seperti ini justru mengakibatkan kotornya hidup dan kehidupan batin kita.
Dampak Buruk Bertengkar Lisan
Al-Ghazali berpendapat bahwa bertengkar lisan menghasilkan konsekuensi yang buruk. Hal ini terlepas dari siapa lawan bicara kita: Pertama , ketika melawan orang bodoh. Bila kita bertengkar lisan dengan orang yang bodoh, hal ini hanya akan menimbulkan permusuhan yang senantiasa menjengkelkan hati. Sebab, perdebatan dengan orang yang tidak berilmu jarang mencapai titik temu. Kemudian , ketika melawan orang arif/berilmu. Sebaliknya, jika kita bertengkar lisan dengan orang yang arif atau orang yang memiliki ilmu pengetahuan lebih tinggi, kita tidak akan mendapatkan hasil apa-apa. Sebaliknya, mereka justru membenci kita, menganggap kita kurang sopan, atau bahkan menganggap ilmu pengetahuan kita rendah.
Oleh karena itu, Islam sangat menganjurkan umatnya meninggalkan perdebatan yang sia-sia. Hal ini dikuatkan dalam sebuah hadits Nabi SAW yang menjanjikan pahala besar:
“Barangsiapa meninggalkan bertengkar lisan dan dia berada dalam posisi yang salah, maka Allah membangunkan rumah untuknya di surga. Dan barangsiapa meninggalkan bertengkar lisan sedang dia dalam posisi yang benar, maka Allah juga membuatkan sebuah rumah untuknya di surga.”
Hadits ini mendorong kita untuk meninggalkan perdebatan, bahkan saat kita yakin berada di pihak yang benar, demi meraih ganjaran dari Allah SWT.
Perangkap Setan dalam Menegakkan Kebenaran
Meskipun demikian, kita harus tetap waspada terhadap tipu daya setan. Setan selalu membisikkan agar kita menampakkan hak dan kebenaran, dan tidak boleh kalah dalam menegakkan kebenaran tersebut, dalam keadaan apa pun. Perlu diingat, setan selalu berusaha menarik orang-orang bodoh untuk dijerumuskan dalam jurang kejahatan. Oleh sebab itu, janganlah kita menjadi bahan tertawaan setan. Setan dapat membujuk dan merayu kita, memerosokkan kita ke jurang kehinaan dan kesengsaraan melalui perdebatan yang berlebihan.
Memang benar, menegakkan dan mempertahankan kebenaran adalah hal yang penting, sekalipun terasa berat.
Bijaksana dalam Menegakkan Kebenaran
Kendati demikian, Al-Ghazali menyampaikan bahwa menampakkan hak dan kebenaran merupakan suatu perbuatan yang baik hanya apabila kita tujukan kepada orang yang sekiranya mau menerima dan mengikuti ajakan yang disampaikan. Namun, hal ini pun harus kita tempuh dengan jalan yang bijaksana.
Artinya, kita harus memberikan nasehat secara halus dan di tempat tersendiri, tidak di muka umum. Kita perlu menyadari bahwa memberikan nasehat kepada orang lain memiliki caranya tersendiri. Kita harus menempuh jalan yang bijaksana dan membutuhkan kehalusan, baik dalam perangai maupun dalam tutur kata. Selain itu, kita harus menyampaikannya dengan bahasa yang memikat.
Jika kita tidak menempuh cara yang baik ini, nasehat tersebut akan menjadi sia-sia. Bahkan, hal itu mungkin akan berubah menjadi Fadhlihat (membuka cacat dan cela orang lain). Apabila ini terjadi, mudarat yang ditimbulkan oleh nasehat itu akan menjadi lebih besar daripada manfaatnya. Akibatnya, maksud kita untuk mendatangkan kebaikan malah berbalik mendatangkan kejelekan, sebab kita tidak menggunakan cara yang baik dalam memberikan nasehat.
Bahaya Terjerumus pada Fatwa Ulama Munafik
Al-Ghazali kemudian menyoroti fenomena yang terjadi pada masanya — yang relevan hingga masa kini — yaitu perilaku sebagian ahli fikih. Dia menjelaskan bahwa jika Anda bergaul dengan para ahli fikih di zaman ini, Anda akan mendapati bahwa kebanyakan mereka suka bertengkar lisan, berdebat, dan bersitegang leher. Mereka selalu ingin menang sendiri dalam segala permasalahan dan tidak mau mengalah.
Menurutnya, hal yang demikian penyebabnya adalah fanatisme terhadap fatwa ulama su’u (ulama munafik). Ulama-ulama ini menerangkan bahwa pandai bertengkar mulut dan berdebat merupakan suatu tindakan yang utama. Mereka beranggapan bahwa pandai berhujjah (mengajukan argumentasi) dan provokasi adalah suatu kecerdikan yang sangat terpuji.
Oleh karena itu, kita harus menjauhi dari pengaruh ulama munafik, sebagaimana kita lari dari ancaman harimau. Kita perlu mengetahui bahwa bertengkar lisan merupakan penyebab murka Allah dan akan mendapat kebencian dari seluruh makhluk. Karenanya, kita harus berhati-hati di dalam memelihara lisan.(St.Diyar)
Referensi: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ghazali at-Thusi , Bidayatul Hidayah
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
