SURAU.CO– Imam Abu Hamid Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental, Bidayatul Hidayah mengajak kita agar pandai mengendalikan lisan. Beliau mengajak kita tidak menggunakan lisan untuk mengumpat atau membicarakan kejelekan orang lain. Perlu kita ketahui, dosa menuturkan kejelekan orang lain lebih besar daripada dosa melakukan perbuatan zina tiga puluh kali dalam pandangan ajaran Islam, sebagaimana Nabi SAW terangkan dalam sebuah hadits.
Ghibah dan Keburukannya
Ghibah adalah membicarakan keadaan orang lain yang jika ia mendengar tidak merasa senang. Jika kita melakukannya, berarti kita telah melakukan ghibah dan menganiaya diri sendiri, meskipun yang dibicarakan itu benar-benar terjadi. Apa yang kita katakan merupakan kenyataan dari keadaan orang yang kita bicarakan.
Oleh karena itu, Imam Abu Hamid Al-Ghazali mengingatkan kita agar janganlah sekali-kali menggunjing orang yang ahli Al-Qur’an (Qurra’). Atau orang lain yang Anda anggap riya’ (pamer). Menggunjing Qurra’ sering terjadi dalam cara memberikan pengertian secara samar dengan maksud dan tujuan tertentu. Sebagai contoh, kita dapat mengucapkan: “Semoga Allah memperbaiki Qurra’, karena perbuatannya hanya menyusahkan dan merugikan diriku. Semoga Allah memperbaiki perbuatanku dan perbuatannya.”
Ucapan di atas mengandung dua keburukan, yaitu: Ghibah, sebab ucapan seperti itu dapat memberikan pengertian terhadap sesuatu yang dimaksud, sehingga pendengar memahami isinya. Yang kedua, menganggap baik dan menyanjung diri sendiri, yang menunjukkan rasa sedih dan mendoakan kepada Qurra’ dengan mengucapkan: “Semoga Allah memperbaiki perbuatannya.”
Pada dasarnya, perbuatan itu adalah mendoakan kebaikan kepada Qurra’ ketika kita mendoakannya setiap usai shalat. Dan, kalau sekiranya Qurra’ membuat kita susah, tentu kita tidak akan mau membuka cacat dan celanya, sebab agama melarang yang demikian.
Jelaslah sekarang, ketika seseorang mengungkapkan rasa susah lantaran cacat Qurra’, berarti ia telah membuka dan menampakkan cacat dan cela Qurra’ tersebut. Untuk mencegah perbuatan ghibah ini, cukuplah kiranya kita selaku kaum muslimin yang mengaku mengabdikan diri kepada Allah meninjau kembali dan merenungkan arti kandungan firman Allah SWT.:
“Dan janganlah sebagian kamu menggunjing sebagian yang lain. Sukakah salah seorang diantara kamu yang memakan daging Saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya.” (QS. Al Hujaraat: 12)
Pada ayat di atas, Allah SWT. mengumpamakan orang yang ghibah seperti memakan daging saudaranya yang telah membusuk. Oleh karena itu, hendaklah kita menyadari bahwa membicarakan kejelekan orang lain memiliki bahaya yang besar sekali. Karena itu, berusahalah semaksimal mungkin untuk menjauhi perbuatan tersebut. Janganlah sampai kita membicarakan aib sesama kaum muslimin.
Banyak Cacat dan Cela pada Pribadi Kita
Selanjutnya Imam Abu Hamid Al-Ghazali berpendapat, jika sekiranya Anda mau berpikir dan merenung sejenak, tentu Anda akan sadar bahwa dalam diri kita terdapat banyak cacat dan cela. Coba pikirkan dan selidiki! Apakah diri kita banyak cela dan cacat atau tidak, baik cacat lahir maupun batin? Tentu saja ada. Apakah kita melakukan maksiat secara rahasia atau terang-terangan? Setelah kita mengetahui diri sendiri yang serba memiliki kelemahan, maka ketahuilah bahwa orang lain pun menghadapi kesulitan untuk menjauhi kelemahannya. Begitu pula, kita tidak dapat terhindar dan terlepas dari perbuatan maksiat sama sekali.
Keadaan orang lain yang banyak cacat dan cela itu sama dengan keadaan kita. Demikian juga, tentu kita tidak merasa senang kalau keburukan ataupun rahasia kita dibuka orang lain. Sebaliknya, orang lain pun tidak merasa senang apabila cela dan cacatnya kita buka. Sebab itu, hindarilah ghibah dan membicarakan kejelekan orang lain.
Oleh karena itu, hendaklah kita selalu ingat: jika sekiranya kita mau menutup dan merahasiakan cela orang lain, maka Allah berjanji akan menutup dan merahasiakan cacat dan cela kita, baik di dunia maupun di akhirat. Tetapi sebaliknya, kalau kita sudah membuka rahasia orang lain, Allah pun akan mengungkapkan rahasia kita di muka umum, baik di dunia maupun di akhirat kelak. Allah akan memerintahkan orang-orang yang memiliki lisan yang lebih tajam untuk membeberkan rahasia kita di permukaan bumi. Di akhirat nanti, Allah akan membuka pula rahasia itu di muka umum, yang seluruh makhluk ikut menyaksikan.
Jika kita telah mengoreksi diri kita sendiri, apa yang ada pada lahir dan batin kita, tetapi ternyata kita tidak dapat menemukan cela dan cacat serta kekurangan yang ada, baik mengenai urusan dunia ataupun agama, maka ketahuilah: “Sesungguhnya kita adalah seburuk-buruk orang yang paling tolol, dan tiada aib yang lebih jelek daripada kebodohan.”
Merasa Puas Diri Sebagai Puncak Kebodohan
Imam Abu Hamid Al-Ghazali menyatakan, manakala Allah menghendaki diri kita menjadi orang yang baik, niscaya Allah akan memperlihatkan seluruh cacat dan kekurangan yang terdapat pada diri kita. Maka, jika kita beranggapan bahwa diri kita dalam keadaan yang baik, seperti tidak memiliki cacat dan cela, dan merasa puas, ini merupakan puncak kebodohan kita sendiri. Akan tetapi, bila anggapan itu benar, cocok dengan angan-angan bahwa kita benar-benar dalam keadaan yang baik, maka hendaklah kita bersyukur kepada Allah. Sebab, demikian lebih baik. Selanjutnya, jangan sampai kebaikan yang telah kita peroleh ini rusak karena kita mencela ataupun menganggap hina orang lain, memburuk-burukkan, atau membuka cacat dan cela orang lain. Sebab, perbuatan seperti itu merupakan cela yang benar.(St.Diyar)
Referensi: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ghazali at-Thusi , Bidayatul Hidayah
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
