Khazanah
Beranda » Berita » Ngatur Nafsu, Bukan Nafsu Ngatur Kamu

Ngatur Nafsu, Bukan Nafsu Ngatur Kamu

ilustrasi laki-laki Muslim merenung di bawah cahaya senja, simbol pengendalian nafsu dan kedamaian batin.
: Seorang laki-laki duduk bersila di tengah padang luas menjelang senja. Cahaya keemasan menyinari wajahnya yang tenang. Di belakangnya tampak bayangan samar dirinya sendiri yang tampak gelisah—simbol pertarungan batin antara akal dan nafsu.

Surau.co. Setiap manusia membawa nafsu dalam dirinya. Allah menciptakan nafsu bukan sebagai musuh, tetapi juga bukan sebagai sahabat yang selalu bisa dipercaya. Nafsu merupakan energi kehidupan yang, jika manusia arahkan dengan bijak, akan menjadi sumber kebaikan; namun jika manusia biarkan tanpa kendali, ia akan menyeret manusia ke jurang kehinaan oleh karena itu manusia perlu untuk mengatur nafsunya.

Dengan demikian, hidup bukanlah tentang mematikan nafsu, melainkan tentang mengarahkannya. Orang bijak tahu kapan harus menahan diri dan kapan boleh menikmati. Dalam konteks ini, mengatur nafsu berarti menguasai diri sendiri—bukan menindas fitrah, melainkan menuntunnya agar berjalan selaras dengan akal dan iman.

Allah SWT berfirman:

وَأَمَّا مَنْ خَافَ مَقَامَ رَبِّهِ وَنَهَى النَّفْسَ عَنِ الْهَوَىٰ، فَإِنَّ الْجَنَّةَ هِيَ الْمَأْوَىٰ
“Adapun orang yang takut akan kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya, maka sungguh surgalah tempat tinggalnya.”
(QS. An-Nāzi‘āt [79]: 40–41)

Ayat ini menegaskan bahwa kunci menuju surga bukan dengan menumpas hawa nafsu, tetapi dengan menundukkannya melalui kesadaran spiritual.

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Nafsu: Fitrah yang Perlu Dikendalikan

Dalam ajaran Islam, nafsu tidak pernah dianggap buruk secara hakiki. Islam mengajarkan bahwa nafsu adalah bagian dari fitrah manusia. Tanpa nafsu, manusia tidak akan memiliki keinginan, tidak akan bekerja, dan tidak akan mencintai. Namun demikian, manusia harus menjaga fitrah ini agar tidak berubah menjadi sumber dosa.

Rasulullah ﷺ bersabda:

لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ، إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Orang yang kuat bukanlah yang pandai bergulat, tetapi yang mampu mengendalikan dirinya ketika marah.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menekankan bahwa kekuatan sejati tidak terletak pada otot yang besar, melainkan pada jiwa yang kuat menahan dorongan emosional. Ketika seseorang menahan diri dari amarah, syahwat, dan keserakahan, ia sedang menaklukkan musuh terberat dalam hidupnya: dirinya sendiri.

Imam Al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menjelaskan:

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

وَإِذَا غَلَبَ الْعَقْلُ عَلَى الشَّهْوَةِ، نَجَا الإِنْسَانُ مِنَ الْهَلَكَةِ، وَإِذَا غَلَبَتِ الشَّهْوَةُ عَلَى الْعَقْلِ، هَلَكَ الإِنْسَانُ بِجَهَالَتِهِ.
“Apabila akal mampu mengalahkan syahwat, manusia akan selamat dari kehancuran; tetapi apabila syahwat mengalahkan akal, manusia binasa oleh kebodohannya.”

Maka dari itu, mengatur nafsu bukan hanya persoalan moral, melainkan juga strategi penyelamatan diri.

Ketika Nafsu Jadi Penguasa

Sering kali, seseorang hancur bukan karena ia kurang pintar, tetapi karena ia gagal mengatur nafsunya. Nafsu bisa menyamar dalam bentuk yang lembut—seperti ambisi, cinta, rasa lapar, atau keinginan dihargai. Meskipun tampak wajar, dorongan ini bisa berubah menjadi bencana ketika seseorang membiarkannya tanpa kendali.

Ketika seseorang membiarkan nafsunya memimpin, maka nafsu menjadi tuan dan akal menjadi hamba. Akibatnya, ia kehilangan arah hidup. Ia mungkin tampak sukses di mata dunia, tetapi jiwanya menjadi kosong.

Al-Qur’an memperingatkan:

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

أَفَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلَٰهَهُ هَوَاهُ
“Maka pernahkah kamu melihat orang yang menjadikan hawa nafsunya sebagai tuhannya?”
(QS. Al-Jāthiyah [45]: 23)

Ayat ini menggambarkan betapa berbahayanya ketika manusia menjadikan nafsu sebagai pusat keputusan hidup. Saat nafsu memimpin, akal dan hati berhenti berfungsi. Akibatnya, manusia berjalan mengikuti dorongan sesaat yang menipu.

Tanpa kendali, nafsu akan membuat seseorang mudah marah, mudah tergoda, dan sulit tenang. Ia akan seperti perahu tanpa kemudi di tengah ombak kehidupan.

Mengatur Nafsu dengan Akal dan Iman

Untuk menundukkan nafsu, Islam memberikan dua alat utama: akal dan iman. Akal berfungsi sebagai pemandu rasional, sedangkan iman menjadi kompas moral. Keduanya harus bekerja bersama agar manusia tidak terseret oleh arus hawa nafsu.

Imam Al-Māwardī menulis:

إِنَّ العَقْلَ قَائِدٌ، وَالشَّهْوَةُ مَقُودَةٌ، فَإِذَا قَادَ العَقْلُ الشَّهْوَةَ، اسْتَقَامَ الأَمْرُ، وَإِذَا قَادَتِ الشَّهْوَةُ العَقْلَ، اضْطَرَبَ الأَمْرُ.
“Akal adalah pemimpin dan syahwat adalah yang dipimpin. Jika akal memimpin syahwat, urusan manusia akan lurus; tapi jika syahwat memimpin akal, maka urusan akan kacau.”

Mengatur nafsu berarti menggunakan akal untuk menuntun keinginan agar tetap berada dalam batas yang diridai Allah. Iman membantu menguatkan keputusan akal agar tidak goyah oleh rayuan dunia.

Orang beriman tidak mematikan nafsunya, tetapi menundukkannya di bawah aturan ilahi. Ia tahu kapan harus menolak dan kapan harus menahan. Ia memahami bahwa menahan diri bukan berarti kehilangan kenikmatan, melainkan menunda kenikmatan demi kebahagiaan yang lebih besar.

Puasa: Latihan Spiritual Mengatur Nafsu

Puasa menjadi latihan spiritual paling nyata dalam Islam untuk mengatur nafsu. Saat berpuasa, seseorang menahan lapar, dahaga, dan syahwat bukan karena tidak mampu, melainkan karena ia ingin melatih diri menundukkan keinginan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الصِّيَامُ جُنَّةٌ
“Puasa adalah perisai.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Perisai ini melindungi manusia dari dorongan nafsu yang dapat menjerumuskannya. Dengan berpuasa, seseorang belajar bahwa dirinya bukan budak keinginan, melainkan pemilik keputusan atas dirinya sendiri.

Ketika seseorang terbiasa berpuasa, ia seolah berkata kepada nafsunya: “Aku tuanmu, bukan budakmu.”

Menjaga Nafsu di Era Modern

Di era modern, mengatur nafsu menjadi tantangan besar. Segalanya mudah diakses: makanan berlimpah, hiburan tanpa batas, dan dunia digital yang memanjakan keinginan instan. Nafsu kini tidak hanya berkaitan dengan syahwat biologis, tetapi juga dengan keinginan untuk diakui, ditonton, dan dikagumi.

Media sosial memperkuat dorongan itu. Banyak orang tergoda untuk menampilkan diri bukan sebagaimana adanya, tetapi sebagaimana orang ingin melihatnya. Ini adalah bentuk lain dari nafsu—nafsu pencitraan.

Karena itu, mengatur nafsu di zaman ini berarti berani melawan arus. Artinya, menolak saat semua orang ingin memamerkan, menahan diri saat semua orang ingin segera memiliki, dan tetap jujur ketika dunia menuntut kepalsuan.

Sebagaimana Imam Al-Ghazali berkata:

“Musuh terbesar manusia adalah nafsunya sendiri yang berada di antara dua tulang rusuknya.”

Maka, jihad terbesar bukan melawan orang lain, tetapi melawan diri sendiri.

Nafsu dan Keikhlasan

Salah satu tanda keberhasilan seseorang dalam mengatur nafsu adalah lahirnya keikhlasan. Orang yang ikhlas bekerja bukan karena pujian, dan tidak berhenti karena celaan. Ia beramal hanya untuk mencari ridha Allah.

Keikhlasan tumbuh ketika seseorang berhasil menaklukkan keinginan tersembunyi di dalam hatinya. Ia tidak lagi bertanya, “Apa untungnya untukku?” tetapi “Apakah ini benar di sisi Allah?”

Imam Al-Māwardī menyebut keikhlasan sebagai buah tertinggi dari akal yang sehat dan hati yang bersih. Dengan kata lain, orang yang ikhlas telah menundukkan nafsunya dengan penuh kesadaran.

Menang Melawan Diri Sendiri

Mengatur nafsu tidak pernah selesai dalam satu waktu. Ia adalah perjuangan seumur hidup. Setiap hari manusia diuji dengan godaan harta, kekuasaan, cinta, dan keinginan duniawi lainnya. Namun setiap kali seseorang berhasil menahan diri, ia naik satu tingkat dalam derajat kemanusiaan.

Rasulullah ﷺ bersabda:

الْمُجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي اللَّهِ
“Pejuang sejati adalah orang yang berjihad melawan dirinya sendiri di jalan Allah.”
(HR. Tirmidzi)

Jihad melawan diri sendiri mungkin tidak terlihat heroik, tetapi itulah jihad paling berat. Di medan perang, musuh tampak jelas; sedangkan di medan jiwa, musuh bersembunyi di balik keinginan.

Penutup: Menjadi Tuan atas Nafsu

Menjadi manusia berarti belajar menundukkan diri. Nafsu akan selalu ada—kadang tenang, kadang menggoda, kadang membisikkan alasan untuk melanggar batas. Namun, Allah memberi manusia akal dan iman agar ia tidak menjadi tawanan keinginannya sendiri.

Mengatur nafsu tidak berarti menolak hidup, tetapi memilih hidup yang lebih bermakna. Tidak berarti menolak kenikmatan, melainkan menempatkan kenikmatan pada waktunya.

Akhirnya, perbedaan antara manusia dan hewan bukan pada kekuatannya, melainkan pada kemampuannya menahan diri. Siapa pun yang berhasil mengatur nafsunya berarti telah menaklukkan dunia dalam dirinya. Sebaliknya, siapa pun yang membiarkan nafsu menguasainya akan kehilangan arah bahkan sebelum mengenal dirinya sendiri

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement