Surau.co. Banyak orang menganggap bahwa meminta maaf adalah tanda kelemahan. Padahal, dalam pandangan Islam, mengakui kesalahan justru merupakan puncak kekuatan moral dan spiritual seseorang. Orang yang berani berkata “maaf, aku salah” bukan sedang merendahkan dirinya, melainkan sedang meninggikan derajatnya di hadapan Allah dan sesama manusia.
Sikap berani meminta maaf adalah cermin dari kematangan jiwa. Ia lahir dari hati yang jujur, tidak sibuk menjaga gengsi, dan tahu bahwa setiap manusia pasti pernah salah.
Allah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
وَالَّذِينَ إِذَا فَعَلُوا فَاحِشَةً أَوْ ظَلَمُوا أَنْفُسَهُمْ ذَكَرُوا اللَّهَ فَاسْتَغْفَرُوا لِذُنُوبِهِمْ
“Dan orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau menzalimi diri sendiri, mereka ingat kepada Allah lalu memohon ampun atas dosa-dosa mereka.” (QS. Āli ‘Imrān [3]: 135)
Ayat ini menunjukkan bahwa kemuliaan seseorang bukan diukur dari kesuciannya tanpa salah, tetapi dari kecepatan ia sadar dan meminta ampun ketika salah.
Makna Meminta Maaf dalam Islam
Dalam Islam, meminta maaf tidak hanya urusan sosial, tapi juga spiritual. Ia bukan sekadar kata, melainkan bentuk taubat kecil di antara manusia. Orang yang berani meminta maaf berarti mengakui kelemahannya di hadapan Allah dan sesama, dan itu adalah bentuk kejujuran yang paling tinggi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
كُلُّ بَنِي آدَمَ خَطَّاءٌ، وَخَيْرُ الْخَطَّائِينَ التَّوَّابُونَ
“Setiap anak Adam pasti berbuat salah, dan sebaik-baik orang yang bersalah adalah yang mau bertaubat.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini mengajarkan bahwa kesalahan adalah bagian dari fitrah manusia, tapi keengganan untuk memperbaikinya adalah kesombongan. Orang yang enggan meminta maaf berarti menolak kebenaran dan membiarkan kesalahannya menjadi dosa yang berlarut.
Meminta maaf bukan tanda rendah diri, tapi tanda kesadaran diri. Ia menunjukkan bahwa seseorang cukup kuat untuk mengakui bahwa ia bukan makhluk sempurna.
Mengapa Banyak Orang Enggan Meminta Maaf
Meski terlihat sederhana, meminta maaf sering menjadi hal yang paling sulit dilakukan. Ada tiga hal yang membuat banyak orang menolak mengucapkan maaf:
- Ego dan gengsi. Orang takut dianggap lemah jika mengakui salah.
- Ketakutan kehilangan wibawa. Mereka khawatir harga dirinya turun di mata orang lain.
- Salah memahami konsep harga diri. Mereka mengira harga diri berarti tidak boleh kalah.
Padahal, harga diri sejati bukan diukur dari seberapa keras seseorang bertahan dalam kesalahan, melainkan dari seberapa tulus ia memperbaikinya.
Imam Al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
وَمِنْ أَشْرَفِ أَخْلَاقِ الْمَرْءِ أَنْ يَعْتَرِفَ بِخَطَئِهِ إِذَا أُصِيبَ، فَإِنَّ ذَلِكَ دَلِيلٌ عَلَى كَمَالِ عَقْلِهِ وَسَلاَمَةِ قَلْبِهِ.
“Termasuk akhlak paling mulia bagi seseorang adalah mengakui kesalahannya ketika ia bersalah, karena itu tanda kesempurnaan akalnya dan ketulusan hatinya.”
Pengakuan atas kesalahan bukan penghinaan, tapi pengakuan atas kemanusiaan. Orang yang menolak meminta maaf sesungguhnya sedang menolak menjadi manusia yang utuh.
Ketika Maaf Menjadi Jalan Menuju Kedamaian
Meminta maaf bukan hanya untuk memperbaiki hubungan, tapi juga untuk menyembuhkan batin. Banyak luka yang bertahan lama bukan karena kesalahan itu sendiri, tapi karena ego yang menolak untuk berdamai.
Dengan meminta maaf, seseorang menurunkan dinding kesombongan dan membuka pintu ketenangan. Hati yang tadinya gelisah akan menjadi ringan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا نَقَصَتْ صَدَقَةٌ مِنْ مَالٍ، وَمَا زَادَ اللَّهُ عَبْدًا بِعَفْوٍ إِلَّا عِزًّا، وَمَا تَوَاضَعَ أَحَدٌ لِلَّهِ إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ
“Tidaklah sedekah mengurangi harta, dan tidaklah Allah menambah kepada seorang hamba yang memaafkan kecuali kemuliaan, dan tidaklah seseorang merendahkan diri karena Allah melainkan Allah akan meninggikan derajatnya.” (HR. Muslim)
Hadits ini menunjukkan bahwa memaafkan dan meminta maaf tidak pernah merendahkan, justru meninggikan derajat di sisi Allah. Ketika seseorang menundukkan ego untuk meminta maaf, Allah-lah yang meninggikan martabatnya.
Harga Diri yang Sejati
Harga diri sejati tidak tumbuh dari gengsi, melainkan dari kejujuran dan integritas. Orang yang berani mengakui kesalahan tidak kehilangan kehormatannya; justru ia memperlihatkan keberanian moral yang jarang dimiliki banyak orang.
Kesombongan, sebaliknya, adalah bentuk rapuhnya harga diri. Ia menutupi rasa takut dan ketidakmampuan menerima kebenaran. Imam Al-Māwardī mengingatkan:
الكِبْرُ يُظْهِرُ جَهْلَ صَاحِبِهِ، وَالتَّوَاضُعُ يُظْهِرُ فَضْلَ عَقْلِهِ.
“Kesombongan memperlihatkan kebodohan pemiliknya, sedangkan kerendahan hati menunjukkan keutamaan akalnya.”
Dengan kata lain, semakin seseorang belajar rendah hati, semakin tinggi nilai dirinya. Orang yang merasa “jatuh” karena meminta maaf sesungguhnya sedang naik derajatnya di sisi Tuhan.
Minta Maaf Itu Gak Nurunin Harga Diri
Mengakui kesalahan adalah bagian dari proses tumbuh. Orang yang tidak mau minta maaf akan terjebak dalam kebohongan terhadap dirinya sendiri. Ia mungkin terlihat kuat dari luar, tapi hatinya sesak.
Sementara orang yang berani meminta maaf justru bebas. Ia tak lagi dikejar rasa bersalah atau takut kehilangan muka. Ia tahu bahwa kesalahan adalah bagian dari proses menjadi lebih baik.
Orang yang mudah meminta maaf adalah orang yang telah berdamai dengan dirinya sendiri. Ia tidak merasa kehilangan harga diri karena telah menemukan nilai dirinya yang lebih tinggi — yaitu kejujuran dan ketulusan.
Seni Meminta Maaf: Tulus, Bukan Sekadar Formalitas
Tidak semua permintaan maaf bernilai sama. Ada maaf yang keluar dari bibir, tapi tidak dari hati. Ada juga maaf yang disampaikan dengan rendah hati, tulus, dan penuh penyesalan — inilah yang bernilai tinggi.
Dalam Islam, meminta maaf sejati mencakup tiga hal:
- Mengakui kesalahan dengan jujur.
- Menyesali perbuatan dengan hati yang tulus.
- Berkomitmen untuk tidak mengulanginya.
Orang yang meminta maaf tanpa niat memperbaiki diri hanya menenangkan diri sementara, bukan memperbaiki hubungan. Maka, seni meminta maaf sejati adalah menundukkan hati, bukan sekadar menundukkan kepala.
Meminta Maaf kepada Sesama dan kepada Allah
Ada dua dimensi dalam meminta maaf: vertikal (kepada Allah) dan horizontal (kepada manusia). Dosa kepada Allah bisa dihapus dengan taubat, tetapi dosa kepada manusia hanya bisa dihapus dengan memohon maaf.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ كَانَتْ لَهُ مَظْلِمَةٌ لأَخِيهِ مِنْ عِرْضٍ أَوْ شَيْءٍ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهُ الْيَوْمَ، قَبْلَ أَنْ لاَ يَكُونَ دِينَارٌ وَلاَ دِرْهَمٌ
“Barang siapa memiliki kesalahan terhadap saudaranya, baik dalam hal kehormatan atau hal lain, hendaklah ia meminta maaf hari ini, sebelum datang hari (kiamat) di mana tidak ada dinar dan dirham.” (HR. Bukhari)
Hadits ini menegaskan bahwa meminta maaf bukan hanya etika sosial, tetapi kewajiban spiritual. Setiap kata maaf yang ditunda bisa menjadi beban di akhirat kelak.
Ketulusan sebagai Jalan Pengampunan
Allah Maha Pengampun dan mencintai hamba yang mau mengakui kesalahannya. Setiap kali seseorang berkata “Astaghfirullah” atau “maafkan aku,” maka di saat itu pula Allah membuka pintu rahmat.
Seseorang yang terbiasa meminta maaf juga akan mudah memaafkan. Ia tahu rasanya salah, dan ia tahu nikmatnya dimaafkan. Dari sinilah lahir masyarakat yang saling menguatkan, bukan saling menyalahkan.
Minta maaf tidak menurunkan harga diri, karena orang yang memaafkan dan yang meminta maaf sama-sama sedang belajar menjadi manusia yang lebih baik.
Penutup: Puitika Keberanian untuk Mengakui Salah
Meminta maaf bukan tanda kalah, tapi tanda menang atas diri sendiri. Orang yang bisa berkata “maaf” dengan hati tulus telah menaklukkan musuh terbesar: egonya sendiri.
Harga diri tidak jatuh karena mengakui salah. Justru di situlah kehormatan sejati tumbuh — di antara kerendahan hati, keberanian, dan kejujuran.
Sebab pada akhirnya, yang menenangkan bukan siapa yang benar atau salah,
tetapi siapa yang berani memperbaiki, walau dimulai dengan satu kata sederhana: maaf.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
