SURAU.CO– Imam Abu Hamid Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental, Bidayatul Hidayah menyatakan perlunya mengetahui bahwa sifat hati yang tercela. Ada pun penyakit hati itu memiliki banyak ragam. Kita membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membersihkannya. Pada dasarnya, manusia memiliki empat sifat yang terkumpul dalam hati, yakni: sifat sabu’iyyah (binatang buas), bahimiyyah (kebinatangan), setaniyah, dan rabbaniyyah (ketuhanan).
Oleh karenanya, mengobati penyakit hati tidaklah mudah. Sebab, banyak manusia lalai melakukan introspeksi diri. Banyak manusia yang terlena kemewahan duniawi dan lupa akhirat. Hati mereka penuh dengan penyakit. Obatnya sudah habis, namun penyakit itu masih belum juga sembuh. Tentang penyakit hati dan cara pengobatannya, kita dapat membaca di buku Ihya’ Ulumuddin dalam bab Rubu’ul Muhlikat dan Rubu’ul Munjiyat.
Tiga Penyebab Penyakit Hati
Ada tiga penyebab utama dari penyakit hati itu, yakni: Hasud (dengki): penyakit hati ini erjadi ketika kita merasa iri hati dan benci bila ada orang yang mendapat kenikmatan, dan merasa senang bila ada orang terkena musibah. Kemudian riya’ (pamer), yakni melakukan suatu aktivitas bukan karena Allah, tetapi mengharapkan adanya sanjungan dan pujian dari sesama. Terakhir ujub (memuji diri), yakni ketika kita menganggap bahwa kitalah yang paling mulia dalam segala hal.
Oleh karenanya, bersihkanlah diri dari sifat tersebut. Jika kita tidak dapat membersihkan hati dari tiga sifat tersebut, tentu kita akan mengalami kesulitan untuk mengobati penyakit hati yang lain.
Meskipun dalam menuntut ilmu itu sudah ikhlas, kita tidak boleh menganggap hal itu sudah terlepas dari noda dan dosa. Apalagi kalau sifat hasud, riya, dan ujub masih menempel pada diri kita. Rasulullah saw. pernah bersabda:
“Tiga hal yang dapat merusak amal, yakni: bakhil (kikir) yang dituruti, hawa nafsu yang diikuti dan mengagumi diri sendiri.”
Tiga perkara tersebut dalam hadis ini merupakan perusak moral seseorang. Juga, ketiganya bisa merusak mental dan harga diri seseorang.
Hasud
Hasud merupakan cabang dari Syukh, sedangkan Syukh memiliki keburukan yang melebihi bakhil (kikir). Sebab, bila bakhil hanyalah untuk mempertahankan miliknya agar tidak dimiliki pihak lain; namun, orang yang syukhah adalah mereka yang tidak rela kalau ada nikmat Allah yang dicurahkan kepada pihak lain. Padahal, nikmat Allah itu Dia sediakan untuk seluruh hamba-Nya.
Adapun orang yang hasud, adalah mereka yang tidak senang kalau ada pihak lain mendapat nikmat dari Allah. Ia juga mengharapkan agar nikmat itu berpindah ke tangannya. Sifat yang demikian itu merupakan puncak dari keburukan dan kejahatan moral. Tentang hal ini, Rasulullah saw. bersabda:
“Jagalah dirimu dari sifat hasud. Sebab, hasud akan meruntuhkan amal kebajikan, sebagaimana api memakan kayu bakar.”
Sifat hasud ini sama sekali tidak menguntungkan, baik di akhirat maupun di dunia. Di akhirat, jelas ia akan menerima siksa yang amat pedih. Sedangkan di dunia, dia tidak bisa lepas dari melihat kenyataan adanya nikmat Allah yang diberikan pada orang lain. Nikmat itu bisa berupa: ilmu pengetahuan, kekayaan, dan kedudukan. Karenanya, orang yang hasud, tentu, akan merasa tersiksa melihat kenyataan tersebut.
Kita perlu mengetahui bahwa manusia tidak akan mencapai hakikat iman, sebelum mencintai sesama muslim bagai mencintai dirinya sendiri. Rasa kasih sayang itu bisa kita tunjukkan, baik ketika seseorang itu menerima nikmat atau musibah dari Allah. Bukankah sesama muslim itu ibarat satu bangunan yang kokoh, yang satu dengan lainnya saling menguatkan? Juga bagaikan tubuh bila ada anggotanya yang sakit, semua tubuh merasakan sakitnya?
Riya’
Apakah riya’? riya’ adalah semua aktivitas yang kita lakukan agar mendapat pujian dan sanjungan dari mereka. Riya’ merupakan syirik sirri (rahasia). Gila kehormatan seperti itu termasuk hawa nafsu yang kita ikuti. Karena gila kehormatan inilah banyak manusia mendapat kerusakan. Sebab, pada dasarnya yang merusak umat manusia adalah manusia itu sendiri. Bukan yang lain.
Dalam suatu hadis disebutkan:
“Besok pada hari kiamat, Allah memerintahkan agar orang yang mati syahid dibawa ke Neraka. Lalu ia protes: ‘Ya Allah, mengapa aku Engkau masukkan ke Neraka? Bukankah aku sudah berperang membela agama-Mu, dan aku mati di medan juang?’ Lalu, Allah pun menjawab: ‘Niatmu bukan begitu. Kamu lakukan itu agar disebut sebagai pemberani, pahlawan. Maka kepahlawanan itulah yang merupakan pahala bagimu ketika gugur dalam peperangan.’ Demikian pula terjadi bagi orang alim, yang menunaikan ibadah haji, dan yang membaca Al-Qur’an.”
Larangan Ujub dan Takabur
Tiga sifat ini dilarang oleh Islam. Oleh karenanya, kita wajib menjauhi sifat tersebut. Tiga sifat tersebut merupakan penyakit yang sulit kita sembuhkan. Para dokter pun akan kesulitan menyembuhkannya. Penyakit ini ada dalam hati, yang membuat seseorang merasa lebih dibandingkan lainnya.
Orang yang dihinggapi penyakit ini, biasanya sikap keaku-annya muncul. Seringkali mereka mengucapkan:
“Itulah aku, kalau tanpa aku, kalau bukan aku….” Ucapan ini sama dengan yang diucapkan Iblis, tatkala ia membangkang perintah Allah agar bersujud pada Adam. Waktu itu Iblis mengatakan: “Aku lebih baik darinya. Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan ia Kau ciptakan dari tanah.” (QS. Al A’raaf: 12)
Ciri-ciri takabur itu, antara lain, adalah merasa lebih tinggi—dalam segala hal—dari pada yang lain. Di dalam majelis, mereka merasa malu kalau pendapatnya mendapat bantahan, apalagi bila tidak digunakan. Juga ketika kita memberi nasihat dan mereka menolak, mereka menjadi marah-marah.
Memupuk Kerendahan Hati
Sesungguhnya, ketika kita menganggap orang lain lebih rendah, anggapan tersebut hanyalah menunjukkan kebodohan diri kita sendiri. Kita harus menyadari bahwa kita adalah manusia biasa yang serba dha’if (lemah) dan khilaf (salah). Oleh karena itu, kita hendaknya memiliki tenggang rasa dan selalu menghormati sesama.
Untuk menerapkan sikap ini, ada beberapa cara pandang yang perlu kita perhatikan. Pertama, bila kita melihat anak kecil, hendaklah kita memandang bahwa anak itu belum berbuat dosa sama sekali. Sementara, diri kita tentu telah berbuat banyak dosa. Dengan demikian, secara moral, anak kecil itu lebih baik dari kita. Kedua, apabila kita melihat orang tua, hendaklah kita menumbuhkan perasaan bahwa mereka telah lebih dulu dan lebih utama melakukan ibadah kepada Allah. Maka, tentu, orang tua tersebut lebih mulia dan lebih baik dari pada kita.
Ketiga, saat kita melihat seorang ilmuwan, hendaknya kita memandang bahwa ia lebih pandai dari kita. Keempat, bila kita melihat orang bodoh, kita harus mengingat bahwa mereka melakukan maksiat dan kedurhakaan hanya karena kebodohannya semata. Tetapi, kita yang telah Allah beri ilmu pengetahuan, masih juga melakukan kemaksiatan; tentu, siksa Allah akan lebih besar bagi kita dibanding siksa-Nya pada mereka yang bodoh itu.
Berprasangka Baik
Terakhir, jika kita melihat orang kafir, hendaknya kita merasa tidak mengerti secara pasti bagaimana nasib akhir mereka. Sebab, boleh jadi esok pagi dia masuk Islam, lalu berbuat amal kebajikan yang menyebabkan semua dosanya terampuni. Sementara, diri kita, bisa jadi justru kejahatan yang menutup usia kita, yang pada akhirnya menjadikan kita orang yang merugi.
Dan bila kita mempunyai perasaan seperti di atas, niscaya sifat takabur akan sirna. Dalam pandangan Allah, kemuliaan seseorang, adalah mereka yang mendapat keberakhiran yang baik, khusnul khatimah. Padahal, tentang khusnul khatimah itu sendiri, tak seorang pun tahu.
Oleh karenanya, maka takabur itu tentulah tidak perlu kita miliki. Apa artinya takabur, bila nasib yang akan menimpa kita tidak mampu kita ketahui secara pasti. Bukankah Allah mempunyai sifat Muqallibal-Qulub, memutarbalikkan hati manusia? Allah memang berkehendak memberi petunjuk kepada orang yang Dia kehendaki. Juga, berkenan menyesatkan mereka yang Dia kehendaki pula.(St.Diyar)
Referensi: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ghozali at-Thusi , Bidayatul Hidayah
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
