Khazanah
Beranda » Berita » Kerja Bukan Sekadar Cari Uang, Tapi Jaga Martabat

Kerja Bukan Sekadar Cari Uang, Tapi Jaga Martabat

pekerja sederhana di bawah sinar matahari simbol kerja bermartabat
Pekerja sederhana berdiri di bawah cahaya matahari dengan senyum tenang, simbol kerja yang jujur dan bermartabat.

Surau.co. Bagi sebagian orang, bekerja hanya berarti mencari nafkah. Masuk pagi, pulang sore, menerima gaji di akhir bulan. Tapi sesungguhnya, makna kerja jauh lebih dalam daripada itu. Dalam pandangan Islam, kerja bukan sekadar cari uang, melainkan urusan martabat.

Kerja adalah tanda bahwa seseorang masih ingin berdiri tegak di hadapan kehidupan. Ia bukan sekadar transaksi ekonomi, tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial dan spiritual. Karena itu, Islam menempatkan pekerjaan sebagai bagian dari ibadah — sebuah jalan untuk menjaga harga diri manusia.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“مَا أَكَلَ أَحَدٌ طَعَامًا قَطُّ خَيْرًا مِنْ أَنْ يَأْكُلَ مِنْ عَمَلِ يَدِهِ”
“Tidak ada makanan yang lebih baik daripada makanan hasil kerja tangan sendiri.” (HR. Bukhari)

Hadis ini menegaskan bahwa bekerja bukan hanya mencari uang, melainkan menjaga kehormatan. Orang yang bekerja dengan tangannya sendiri lebih mulia daripada yang menggantungkan hidup pada orang lain.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Martabat yang Lahir dari Keringat

Martabat bukan sesuatu yang bisa dibeli, tetapi sesuatu yang tumbuh dari kerja keras dan kejujuran. Orang yang bekerja dengan tekun sedang menanam kehormatan dirinya. Ia tahu, setiap tetes keringat adalah tanda bahwa ia berjuang untuk hidup dengan cara yang bermartabat.

Dalam masyarakat, sering kali kita memandang rendah pekerjaan yang dianggap “rendahan”. Padahal, dalam pandangan Islam, tidak ada pekerjaan yang hina selama dilakukan dengan cara halal. Yang hina adalah kemalasan dan kebergantungan tanpa usaha.

Allah berfirman:

“وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى”
“Dan bahwa manusia tidak memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya.” (QS. An-Najm [53]: 39)

Ayat ini sederhana, namun tegas. Martabat manusia ditentukan oleh usahanya, bukan oleh posisi atau status sosialnya. Seorang tukang becak yang jujur lebih mulia daripada pejabat yang korup.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

“العمل في طلب المعاش واجبٌ على كل ذي عقلٍ رشيدٍ”
“Bekerja untuk mencari penghidupan adalah kewajiban bagi setiap orang yang berakal sehat.”

Kalimat itu menggambarkan pandangan Islam yang progresif. Kerja bukan sekadar pilihan, tapi kewajiban moral dan spiritual. Karena dengan bekerja, manusia menjaga dirinya dari kehinaan meminta-minta dan membangun martabat melalui kemandirian.

Kerja sebagai Wujud Iman dan Tanggung Jawab

Kerja yang benar bukan sekadar soal disiplin waktu, tapi juga kejujuran dan tanggung jawab. Dalam Islam, iman yang sejati harus tampak dalam tindakan nyata, termasuk dalam cara seseorang bekerja. Karena bekerja sesungguhnya bukan sekadar untuk cari uang.

Ketika seseorang bekerja dengan jujur, ia tidak hanya sedang menunaikan kewajiban sosial, tetapi juga menegakkan nilai iman dalam bentuk paling konkret. Islam tidak mengenal dikotomi antara dunia dan akhirat dalam kerja. Karena bekerja dengan niat yang benar juga merupakan bentuk ibadah.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Rasulullah ﷺ bersabda:

“إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ إِذَا عَمِلَ أَحَدُكُمْ عَمَلًا أَنْ يُتْقِنَهُ”
“Sesungguhnya Allah mencintai seseorang yang ketika bekerja, ia menyempurnakannya.” (HR. Thabrani)

Hadis ini menunjukkan bahwa kerja yang rapi, profesional, dan penuh tanggung jawab adalah bentuk cinta kepada Allah. Bukan banyaknya harta hasil kerja yang menjadi ukuran, tetapi kualitas dan niat yang menjiwainya.

Bekerja Itu Melawan Malas, Bukan Melawan Nasib

Banyak orang menyalahkan nasib ketika gagal, padahal mungkin yang kurang adalah usaha. Kerja bukan cara melawan takdir, melainkan cara mendampingi takdir dengan ikhtiar. Islam mengajarkan bahwa takdir bukan alasan untuk berhenti, tetapi dorongan untuk bergerak lebih bijak.

Imam al-Māwardī menjelaskan:

“من ظن أن الرزق يأتيه من غير سعي فقد ظن بربه غير الجميل”
“Barang siapa menyangka rezeki datang tanpa usaha, maka ia telah berprasangka buruk kepada Tuhannya.”

Pernyataan ini tegas: malas bukan tanda tawakal, tapi bentuk keputusasaan. Orang yang beriman seharusnya bekerja keras, bukan karena tidak percaya pada rezeki Allah, tetapi justru karena percaya bahwa Allah mencintai orang yang berusaha.

Kerja adalah cara manusia menjaga martabatnya di hadapan takdir. Orang yang berusaha menunjukkan penghargaan terhadap hidup yang diberikan Tuhan. Ia berjuang, bukan karena haus harta, tetapi karena ingin hidup dengan bermakna.

Rezeki Tidak Selalu Berbentuk Uang

Sering kali, orang bekerja hanya memikirkan uang. Padahal, rezeki tidak selalu berbentuk materi. Ada rezeki berupa kesehatan, kesempatan, ilmu, atau ketenangan hati. Bila kita memaknai kerja hanya sebagai upaya mencari uang, kita sedang mengecilkan makna hidup kita sendiri.

Kerja yang bermartabat adalah kerja yang memberi manfaat. Ia bukan hanya memperkaya diri, tapi juga menghidupi orang lain. Guru, petani, perawat, buruh, semuanya bekerja dalam jalur yang berbeda, tetapi memiliki satu tujuan: memberikan manfaat bagi kehidupan.

Allah berfirman:

“وَجَعَلْنَا النَّهَارَ مَعَاشًا”
“Dan Kami jadikan siang untuk mencari penghidupan.” (QS. An-Naba’ [78]: 11)

Ayat ini menandaskan bahwa kerja adalah bagian dari keseimbangan ciptaan. Siang untuk bekerja, malam untuk istirahat dan ibadah. Allah menciptakan ritme itu agar manusia tidak hanya mengejar uang, tapi juga menjaga keharmonisan hidup.

Martabat dalam Etika Kerja

Kerja yang bermartabat bukan hanya tentang hasil, tapi juga cara. Etika kerja adalah jantung dari kemuliaan profesi apa pun. Tanpa etika, kerja berubah menjadi eksploitasi; tanpa moral, kesuksesan kehilangan makna.

Dalam Islam, etika kerja meliputi kejujuran, tanggung jawab, amanah, dan kesungguhan. Bekerja dengan etika berarti menjaga diri dari korupsi, kecurangan, dan ketidakadilan. Karena setiap tindakan akan dimintai pertanggungjawaban.

Rasulullah ﷺ bersabda:

“كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ”
“Setiap kamu adalah pemimpin, dan setiap kamu akan dimintai pertanggungjawaban atas yang kamu pimpin.” (HR. Bukhari & Muslim)

Etika kerja berarti menyadari bahwa setiap posisi, sekecil apa pun, memiliki amanah. Seorang pegawai yang menunaikan tugasnya dengan jujur sama mulianya dengan pemimpin yang memimpin dengan adil.

Kerja dan Harga Diri: Sebuah Cermin Spiritualitas

Kerja adalah cara kita mempertahankan harga diri. Orang yang mau bekerja keras menolak untuk menjadi beban. Ia memilih berdiri tegak, bukan mengulurkan tangan meminta belas kasihan. Inilah makna spiritual dari kerja: menjaga kehormatan diri di hadapan manusia dan Tuhan.

“اليَدُ العُلْيَا خَيْرٌ مِنَ اليَدِ السُّفْلَى”
“Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini mengandung pesan mendalam tentang kemandirian dan martabat. Tangan di atas adalah simbol orang yang memberi, bekerja, dan menafkahi. Sedangkan tangan di bawah adalah simbol ketergantungan.

Dengan bekerja, seseorang menjaga kehormatannya. Ia tidak hanya mencari nafkah, tapi juga membangun karakter. Ia belajar menahan diri, menghargai proses, dan bersyukur atas hasil.

Penutup: Bekerja dengan Hati, Hidup dengan Martabat

Bekerja bukan sekadar cari duit. Ia adalah cara manusia merawat harga diri dan membuktikan eksistensinya sebagai khalifah di bumi. Melalui kerja, manusia menunjukkan bahwa ia bukan makhluk yang menyerah, tapi makhluk yang berjuang dengan iman.

Bekerjalah bukan hanya untuk mengisi rekening, tapi untuk mengisi hati dengan rasa bangga dan syukur. Jadikan setiap tetes keringat sebagai saksi cinta kita kepada kehidupan. Karena kerja yang jujur dan penuh dedikasi adalah bentuk ibadah paling nyata di tengah dunia yang terus bergerak.

Dan ketika malam tiba, setelah seharian berjuang, tidurlah dengan tenang — sebab engkau telah menjaga martabatmu, bukan hanya mencari uangmu.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement