SURAU.CO– Imam Abu Hamid Al-Ghazali, dalam karyanya yang monumental, Bidayatul Hidayah, dengan tegas menasihati kita tentang bahaya laten yang tersembunyi di balik kegiatan menuntut ilmu. Beliau menjelaskan bahwa sifat buruk dalam hati berasal dari niat yang salah: mencari ilmu pengetahuan karena adanya pamrih, yaitu semata-mata untuk mendapatkan sanjungan, ketenaran, atau kedudukan di mata manusia. Bagi orang awam atau yang bodoh, niat tersembunyi ini kecil kemungkinannya terjadi karena mereka belum memiliki “modal” intelektual untuk dipamerkan. Namun, bagi mereka yang pandai dan berilmu, niat buruk itu justru menjadi sasaran empuk. Dengan itu kerusakanlah yang menjadi akibatnya, merusak keikhlasan dan nilai amal mereka. Kita harus menghindarkan kerusakan batin ini dengan cara secara konsisten ber-tadharru’ (merendahkan diri) kepada Allah sepanjang siang dan malam, memohon perlindungan dari niat yang menyesatkan.
Pentingnya Mawas Diri
Oleh sebab itu, sangat penting bagi kita untuk mengawasi diri dalam segala urusan dan menjauhi hal-hal yang menyebabkan datangnya kerusakan spiritual. Al-Ghazali mengidentifikasi sifat-sifat destruktif seperti takabur (sombong), riya’ (pamer), hasud (iri), dan ujub (bangga diri) sebagai sebagian dari induk sifat hati yang buruk. Sifat-sifat negatif ini ibarat pohon dengan tiga cabang yang berasal dari satu akar tunggal yang sangat kuat: cinta kemewahan dunia. Menguatkan peringatan ini, Rasulullah saw. dengan tegas bersabda:
“Cinta dunia adalah awal timbulnya segala kesalahan.”
Ini menunjukkan betapa krusialnya kita mendiagnosis akar masalah, yaitu kecintaan yang berlebihan terhadap hal-hal yang bersifat materi dan fana.
Meskipun demikian, perlu pula kita ingat bahwa dunia bukanlah musuh mutlak, melainkan ladang untuk mendapatkan buah di akhirat kelak. Ini berarti, barangsiapa yang menggunakan dunia sekadar sebagai sarana untuk memperoleh kepentingan akhirat—menjadikan harta dan jabatan sebagai alat ibadah—maka dunia berfungsi sebagai ladangnya yang subur. Sebaliknya, bila seseorang mengejar kepentingan duniawi sebagai tujuan utama, maka dunia berubah menjadi media yang merusak diri sendiri dan mengancam kebahagiaan abadi. Karenanya, kita harus berhati-hati dalam mencari kepentingan dunia dan selalu menimbang niat kita.
Meramaikan Batin dengan Takwa yang Murni
Apa yang kita bahas ini adalah langkah awal dan penjelasan tentang takwa lahiriah, yang disebut sebagai Bidayatul Hidayah. Namun, puncak kesempurnaan tercapai jika kita sudah dapat meramaikan batin hati dengan ketakwaan yang murni. Pada titik ini, tabir pemisah (hijab) antara kita dengan Allah akan terbuka dengan luas. Cahaya ma’rifah (pengenalan sejati) akan bersinar terang, di samping sumber hikmah akan memancar ibarat air dari hati sanubari. Dengan terbukanya pintu ini, kita akan dapat melihat dengan jelas rahasia-rahasia Allah yang tersimpan di langit dan bumi. Dengan demikian, kesuksesan sejati akan terbentang dengan cemerlang. Bahkan, segala ilmu formal yang para ulama definisikan—seperti Fikih, Nahwu, dan Shorof—yang tidak pernah disebut-sebut secara spesifik pada masa sahabat dan tabi’in—semuanya akan kita anggap mudah. Karena kita memahaminya dari sumber hikmah yang murni.
Sebaliknya, apabila kita menuntut ilmu dengan fokus pada perdebatan, debat, dan diskusi yang bertujuan hanya untuk mengungguli lawan, maka kita menjadi orang yang tertimpa musibah yang sangat besar. Sungguh amat disayangkan, kita telah mengalami kesukaran yang amat sangat, yakni, berjuang keras mempertahankan pendapat tetapi tidak mendapatkan hasil apa-apa, kecuali hanya kerugian belaka karena hilangnya keikhlasan.
Pentingnya Niat yang Tulus
Jika kita tidak mau merasakan kesulitan untuk melakukan kewaspadaan dan ketelitian dalam segala hal—terutama dalam niat—maka, lakukanlah segala sesuatu dengan kehendak hati yang tulus. Namun, ketahuilah, kesenangan duniawi bersifat sementara. Jika kita mencarinya dengan menjual agama, maka kita sama sekali tidak akan selamat. Bahkan, akhirat yang selama ini kita harapkan akan menjadi hampa dan hilang sama sekali. Barangsiapa mencari kemewahan dunia dengan berkedok agama, ia telah merusak keduanya: dunia dan agama! Ia tidak akan mendapat pahala di akhirat dan tidak pula mendapat kemewahan duniawi yang langgeng. Sebaliknya, barangsiapa meninggalkan dunia (menjadikannya sekadar alat) dengan tujuan menegakkan agama. Menurut Imam A-Ghazali dia akan mendapat kebahagiaan dunia dan akhirat secara bersamaan.(St.Diyar)
Referensi: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ghozali at-Thusi , Bidayatul Hidayah
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
