Surau.co. Kita hidup di zaman ketika segala sesuatu bisa menjadi tontonan. Setiap kebaikan ingin diabadikan, setiap kerja ingin diumumkan, dan setiap langkah ingin mendapat tepuk tangan. Fenomena ini bukan hanya terjadi di dunia selebritas, tapi juga merembes ke keseharian kita. Di kantor, di sekolah, bahkan dalam kegiatan sosial dan keagamaan. Padahal, hakikat dari bekerja dan berbuat baik tidak membutuhkan panggung. Ia hanya membutuhkan ketulusan.
Kita sering lupa bahwa bekerja sejatinya adalah ibadah. Ibadah tidak perlu sorotan kamera, apalagi drama yang dibuat-buat. Allah menilai dari niat, bukan dari sorak-sorai manusia. Rasulullah ﷺ bersabda:
“إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ”
“Sesungguhnya segala amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari & Muslim)
Hadis ini sederhana tapi dalam. Ia mengingatkan bahwa nilai dari suatu perbuatan tidak ditentukan oleh seberapa besar perhatian yang kita terima, melainkan seberapa jernih niat yang kita tanam.
Bekerja Itu Ibadah, Bukan Pertunjukan
Bekerja tanpa drama berarti bekerja dengan hati, bukan dengan pamrih. Dalam pandangan Islam, pekerjaan bukan sekadar aktivitas ekonomi, tetapi juga bentuk pengabdian. Saat seseorang bekerja dengan sungguh-sungguh, ia sedang menunaikan amanah. Ketika ia jujur dan bertanggung jawab, ia sedang menegakkan nilai ibadah.
Sayangnya, banyak orang sekarang terjebak dalam mentalitas panggung. Setiap gerak diatur untuk ditonton, setiap kerja ingin diakui. Padahal, pengakuan manusia itu fana, sedangkan keridaan Allah abadi. Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“قُلِ اعْمَلُوا فَسَيَرَى اللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُ وَالْمُؤْمِنُونَ”
“Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu.” (QS. At-Taubah [9]: 105)
Ayat ini memberi ketenangan bagi mereka yang bekerja dengan tulus. Tidak perlu khawatir jika kerja kerasmu tidak dilihat atasan, teman, atau publik. Allah melihatnya. Rasulullah dan para mukmin akan menjadi saksi atas kesungguhanmu, walau tanpa drama, tanpa sorotan kamera.
Ikhlas Itu Tenang, Pamer Itu Letih
Bekerja dengan niat yang bersih melahirkan ketenangan. Sebaliknya, bekerja demi pengakuan hanya melahirkan kelelahan. Karena pengakuan itu tidak pernah cukup. Hari ini dipuji, besok dilupakan. Hari ini viral, besok tenggelam. Sedangkan ketenangan batin hanya bisa lahir dari niat yang lurus.
Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
“الإخلاص سر بين العبد وربه لا يعلمه ملك فيكتبه، ولا عدو فيفسده”
“Keikhlasan adalah rahasia antara hamba dan Tuhannya, tidak diketahui malaikat untuk ditulis, dan tidak diketahui musuh untuk dirusak.”
Kalimat ini menegaskan bahwa ikhlas tidak perlu penonton. Ia cukup antara diri dan Allah. Orang ikhlas bekerja dengan senyum, meski tak ada yang melihat. Ia berbuat baik diam-diam, karena yang ia cari bukan tepuk tangan, melainkan keridaan Ilahi.
Ketika seseorang berbuat baik hanya untuk dilihat, kebaikan itu kehilangan ruh. Ia berubah menjadi pencitraan. Allah memperingatkan dalam Al-Qur’an:
“فَوَيْلٌ لِّلْمُصَلِّينَ، الَّذِينَ هُمْ عَن صَلَاتِهِمْ سَاهُونَ، الَّذِينَ هُمْ يُرَاءُونَ”
“Maka celakalah bagi orang-orang yang salat, yaitu mereka yang lalai dalam salatnya, yang berbuat riya.” (QS. Al-Ma‘un [107]: 4–6)
Riya bukan hanya dalam ibadah ritual, tapi juga dalam pekerjaan, dalam kebaikan sosial, bahkan dalam sedekah. Berbuat baik bukan untuk dipuji, tetapi untuk menumbuhkan kebaikan itu sendiri.
Budaya “Konten” dan Ujian Ketulusan
Kita hidup di zaman di mana kebaikan bisa menjadi konten. Memberi bantuan direkam, sedekah difoto, bahkan tangisan empati pun bisa diunggah. Tidak salah jika niatnya untuk inspirasi, tapi sering kali niat itu bergeser menjadi pamer kebaikan.
Fenomena ini menuntut kebijaksanaan hati. Boleh saja mendokumentasikan kebaikan, tapi jangan menjadikannya panggung ego. Tanyakan pada diri sendiri: apakah aku ingin menebar inspirasi atau mencari validasi?
Islam tidak menolak publikasi kebaikan, tapi menekankan agar niatnya tetap lurus. Allah berfirman:
“إِن تُبْدُوا الصَّدَقَاتِ فَنِعِمَّا هِيَ ۖ وَإِن تُخْفُوهَا وَتُؤْتُوهَا الْفُقَرَاءَ فَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ”
“Jika kamu menampakkan sedekahmu maka itu baik, tetapi jika kamu menyembunyikannya dan memberikannya kepada orang miskin, itu lebih baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah [2]: 271)
Ayat ini menunjukkan bahwa ada nilai lebih dalam kesunyian. Berbuat baik tanpa kamera adalah latihan hati — latihan untuk tidak butuh tepuk tangan selain dari langit.
Bekerja Diam-Diam, Tapi Berdampak Besar
Sejarah Islam penuh dengan teladan orang-orang yang bekerja dalam diam, tetapi memberi dampak besar. Utsman bin Affan menyumbangkan hartanya tanpa pengumuman. Umar bin Khattab sering memberi bantuan pada malam hari agar tak diketahui siapa pun. Bahkan Rasulullah ﷺ sendiri menegur sahabat yang suka menampakkan amalnya dengan berlebihan.
Mereka bekerja tanpa drama, berbuat tanpa kamera, tetapi dunia mengingat nama mereka justru karena ketulusan itu.
Imam al-Māwardī berkata:
“من طلب ثناء الناس بما لم يعمله فقد رضي بالزيف”
“Barang siapa mencari pujian manusia atas sesuatu yang tidak ia lakukan, maka ia telah ridha dengan kepalsuan.”
Ungkapan ini terasa relevan di zaman media sosial. Banyak yang berupaya tampak baik daripada benar-benar menjadi baik. Padahal, manusia mungkin tertipu oleh pencitraan, tapi Allah tidak pernah tertipu oleh niat.
Keikhlasan Adalah Sumber Ketenangan
Bekerja tanpa drama bukan berarti tanpa semangat. Justru, orang yang ikhlas bekerja lebih fokus, lebih tenang, dan lebih tahan terhadap tekanan. Ia tidak sibuk memikirkan siapa yang menonton, tapi bagaimana hasil kerjanya bermanfaat.
Ketulusan melahirkan keteguhan. Ia membuat seseorang terus melangkah meski tak disorot. Ia menanam meski tak dipuji. Ia mengerti bahwa hasil besar dimulai dari kerja kecil yang terus dilakukan dengan konsisten.
“إِنَّ اللَّهَ لَا يُضِيعُ أَجْرَ الْمُحْسِنِينَ”
“Sesungguhnya Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang berbuat baik.” (QS. At-Taubah [9]: 120)
Ayat ini menenangkan hati para pekerja tulus. Tidak ada kebaikan yang hilang. Setiap keringat, setiap langkah, setiap doa dalam diam — semuanya dicatat oleh Allah, meski dunia tidak tahu.
Berbuat Tanpa Kamera, Bekerja untuk Langit
Berbuat tanpa kamera bukan berarti anti-teknologi atau menolak media sosial. Artinya adalah membangun kesadaran spiritual: bahwa ada ruang sakral dalam hidup kita yang tidak perlu diunggah. Ada amal yang lebih indah jika hanya diketahui oleh Allah.
Ketika kita menolong orang, cukup biarkan mereka tersenyum tanpa perlu tahu siapa yang membantu. Ketika kita bekerja keras, cukup biarkan hasilnya berbicara, bukan caption panjang di dunia maya. Inilah makna mendalam dari amal yang tersembunyi (amal khafi) — amal yang murni karena cinta, bukan karena gengsi.
“رِجَالٌ لَا تُلْهِيهِمْ تِجَارَةٌ وَلَا بَيْعٌ عَن ذِكْرِ اللَّهِ”
“Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan jual beli dari mengingat Allah.” (QS. An-Nur [24]: 37)
Mereka bekerja, tapi hatinya tetap berdzikir. Mereka berbuat, tapi tidak butuh kamera. Karena cahaya keikhlasan lebih terang dari sorotan apa pun.
Penutup: Ketenangan Orang yang Tidak Butuh Sorotan
Pada akhirnya, bekerja tanpa drama dan berbuat tanpa kamera bukan soal menolak dunia modern, melainkan soal menjaga kemurnian hati. Dunia ini penuh dengan panggung, tapi tidak semua hal harus dipertunjukkan. Ada nilai yang lebih tinggi dalam kesunyian, ada makna yang lebih dalam dalam diam.
Kita tidak bisa mengendalikan bagaimana orang menilai kita, tapi kita bisa menjaga niat kita sendiri. Bekerjalah dengan tulus, tanpa drama. Berbuatlah dengan ikhlas, tanpa kamera. Sebab ketulusan adalah cahaya yang tidak bisa dipadamkan oleh waktu.
Dan kelak, ketika semua sorotan padam, hanya cahaya amal yang ikhlas yang akan tetap menyala di hadapan Allah.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
