SURAU.CO– Dalam kitab Bidayatul Hidayah, Imam Abu Hamid Al-Ghazali menjelaskan banyak sekali hadis Rasulullah saw. yang membahas tentang takabur, hasud, dan ujub. Namun, cukup satu saja yang kita tampilkan di sini. Hadis ini berasal dari Abdillah bin Mubarrak.
Suatu hari Khalid bin Ma’dan mendatangi Mu’adz bin Jabal dan meminta: “Wahai Mu’adz, beritahukanlah aku satu hadis yang kamu dengar langsung dari Rasulullah saw.?”
Mendengar permintaan seperti itu, Mu’adz mulai menangis tersedu-sedu. Ia rindu pada Rasulullah saw. dan ingin segera bertemu. Sebab, bila Mu’adz membaca hadis itu, seakan ia telah bertemu dengan junjungannya itu. “Seakan beliau hadir langsung memberikan nasehatnya.”
“Aku memang pernah mendengar sebuah hadis,” kata Mu’adz. Kepada Khalid, Mu’adz menuturkan: Rasulullah saw. bersabda, “Wahai Mu’adz, Aku akan memberimu nasehat. Jika kamu berpegang teguh padanya, maka kamu akan mendapatkan manfaat di sisi-Nya. Namun, jika kamu mengabaikan atau mempermudahnya, maka di hari kiamat kelak hujjahmu akan terputus di hadapan Allah.”
Perjalanan Amal ke Tujuh Langit
Rasulullah saw. melanjutkan, “Wahai Mu’adz, sesungguhnya, sebelum Allah menciptakan langit dan bumi, Dia telah menciptakan tujuh Malaikat. Setelah Allah menciptakan tujuh langit dan tujuh bumi, Dia melantik para Malaikat itu. Dia menugaskan mereka untuk menjaga setiap pintu langit. Para malaikat Hafazhah yang bertugas mengontrol dan mengawasi amal perbuatan manusia. Mereka membawa amal perbuatan manusia sejak pagi sampai sore. Amal tersebut bersinar, bagai matahari.
Setelah amal tersebut dibawa naik sampai ke langit dunia (langit I), para malaikat Hafazhah pun memuji dan menyanjungnya. Mereka juga menghitung-hitung amal itu sebagai suatu amal yang banyak. Namun, setelah malaikat penjaga langit I melihat amal itu, spontan ia berkata kepada Malaikat Hafazhah:
“Amal ini tidak perlu engkau lanjutkan ke atas. Akulah yang mengawasi tentang ghibah (mengumpat). Allah telah memerintahkan kepadaku untuk melarang keras, bahwa amal seseorang yang suka ghibah sama sekali tidak boleh melewati tempatku ini. Apalagi sampai dinaikkan.”
Amal Tanpa Keikhlasan
Malaikat Hafazhah datang membawa amal kebajikan dan amal saleh seorang manusia. Para Malaikat Hafazhah itu memuja dan memuji amalan tersebut. Mereka juga menghitung-hitung amal kebajikan yang dapat dihaturkan kepada Allah, dan berhasil melewati langit dunia. Sesampainya di langit kedua, maka malaikat yang bertugas mengatakan kepada Malaikat Hafazhah:
“Amal ini sampai di sini saja. Jangan kau teruskan ke atas. Pukulkanlah amal ini pada pemiliknya! Dia beramal dengan tidak ikhlas, memamerkan diri, pembohong dan menginginkan kenikmatan duniawi! Akulah malaikat yang diberi tugas mengawasi kebohongan. Allah memerintahkan agar melarang amal seperti ini dibawa naik. Amal seperti ini tidak diperkenankan melewati tempatku ini, sebab, si empunya amal, ketika berkumpul dengan sesama manusia, ia merasa tinggi hatinya.”
Malaikat Hafazhah datang membawa amal seseorang dengan sinar yang berkilau, berasal dari amal sedekah, salat, dan puasa. Para Malaikat Hafazhah merasa kagum. Di langit I dan II, amal ini lolos sensor. Namun, setelah sampai langit yang III, malaikat penjaga menghentikannya.
“Pukulkanlah amal ini pada pemiliknya. Ia takabur sewaktu berkumpul dengan sesama manusia. Aku ditugaskan untuk mengontrol masalah takabur. Allah memerintahkan kepadaku bahwa amal orang yang takabur tidak boleh dinaikkan,” kata Malaikat penjaga langit ke III pada malaikat Hafazhah.
Tertolaknya Amalan Orang yang Ujub
Malaikat Hafazhah membawa amalan membaca tasbih, salat, puasa, haji, dan umrah, dengan cahaya terang dan suara gemuruh. Amal ini berhasil melewati Langit I, II, dan III. Tetapi, begitu memasuki langit ke IV, malaikat penjaga memberhentikannya.
“Amal ini tidak bisa dilanjutkan ke atas, kembalikan dan pukulkan kepada pemiliknya. Ia beramal dengan ujub. Allah melarang meluluskan amal orang yang ujub, juga untuk sampai ke atas.”
Malaikat Hafazhah pun membawa amal kebajikan manusia yang sangat baik. Bahkan, amal ini berhasil dibawa ke atas—sampai ke langit IV—dengan sukses. Namun, sesampainya di langit V, malaikat penjaganya menghentikannya. Malaikat Hafazhah bahkan disuruh memukul amal itu kepada pemiliknya, dan memukulkannya di bahunya. Ternyata, pemilik amal tersebut berbuat hasud terhadap orang yang menandingi amal kebajikan yang diperbuatnya, baik amal tersebut berupa menuntut ilmu, ibadah, dan lain sebagainya. Bahkan, ia tidak rela terhadap ibadah orang lain. Ia selalu hasud dan menyakiti hati.
“Aku ini diperintahkan oleh Allah agar mengoreksi orang yang hasud. Allah telah memerintahkan kepadaku untuk melarang amal yang hasud dibawa naik, melewati tempatku ini. Pukulkanlah amal itu pada pemiliknya.”
Ada lagi malaikat Hafazhah naik membawa amal manusia yang berupa amal salat, puasa, zakat, haji, umrah, dan jihad di jalan Allah. Amal yang bercahaya itu terang bagaikan matahari. Ketika hendak memasuki langit VI, amal ini terhenti. Malaikat penjaganya bahkan menyuruh Malaikat Hafazhah memukulkan amal itu kepada pemiliknya. Sebab, pemilik amal ini ternyata tidak punya rasa belas kasihan terhadap sesama. Bahkan, ketika ada orang yang terkena musibah, ia malah merasa gembira.
“Aku mengawasi tentang kasih sayang. Oleh karena Allah, aku mendapat perintah mengawasi amal orang yang tidak memiliki kasih sayang terhadap sesama. Ia tidak boleh melewati tempatku ini,” ucap malaikat penjaga langit VI pada malaikat Hafazhah.
Amalan Orang Riya’
Malaikat Hafazhah naik lagi. Kali ini ia membawa amal seseorang yang berasal dari puasa, salat, zakat, nafkah, jihad, dan wira’i (kehati-hatian). Suaranya bergemuruh, sinarnya terang benderang. Oleh karena kebaikan dari amal tersebut, 3000 malaikat pun mengawalnya. Dengan rasa optimis, Malaikat Hafazhah naik ke langit ketujuh. Amal ini berhasil melewati Langit I sampai VII dengan mulus, tanpa rintangan. Ternyata, sesampainya di langit ke VII, malaikat penjaganya menghentikan amal ini. Bahkan, Malaikat Hafazhah mereka mintakan memukul amal itu kepada pemiliknya dan mengelupas hatinya.
“Akulah yang mendapat tugas dari Allah agar menahan dan melarang amal perbuatan seseorang dibawa ke langit yang lebih tinggi. Sebab, yang dilakukannya bukanlah semata-mata karena keridaan Allah, tetapi dengan maksud agar mendapat pangkat Fuqaha (ilmuwan) dan sanjungan. Amal ini adalah amal riya’. Bukan Lillahi Ta’ala. Allah tidak mau menerima amal seperti itu,” kata malaikat penjaga memberikan penjelasannya.
Peringatan dan Laknat Allah
Sekali lagi, Malaikat Hafazhah membawa amal kebaikan seseorang, yang berasal dari salat, zakat, puasa, haji, umrah, bermoral, pendiam, zikir, dan sebagainya. Karena amal tersebut lengkap dan baik, maka malaikat yang berada di tujuh langit dan tujuh bumi mengiringinya. Malaikat Hafazhah dan para pengiringnya sukses menghadap pada Allah. Kepada Allah, amal kebajikan itu mereka serahkan Amal seorang hamba yang penuh ikhlas. Setelah Allah memeriksanya, Allah pun berfirman:
“Wahai para Malaikat (Hafazhah), kamu mengetahui dan melihat amal hamba-Ku. Sedangkan Aku senantiasa mengetahui apa yang terjadi di hatinya. Dan ketahuilah, bahwa hamba-Ku ini melakukan amal kebajikan bukan karena mencari keridaan-Ku, tapi karena yang lain. Oleh karenanya, hamba yang beramal ini tetap Aku laknati.” Oleh sebab itu pula, para malaikat itu berikrar:
“Ya Allah, semoga laknat-Mu tetap kepada si empunya amal ini. Kami juga ikut melaknatinya. Malaikat penghuni tujuh langit dan tujuh bumi juga ikut melaknatinya.”
Jalan Keselamatan dari Rasulullah
Mendengar penuturan dari Rasulullah saw. ini, Mu’adz bin Jabal menangis sejadi-jadinya. “Wahai Rasulullah saw., engkau adalah utusan-Nya, maka engkau jelas selamat. Tetapi, bagaimana dengan aku?” Tanya Mu’adz pada Rasul. “Jalan yang dapat menyelamatkanmu adalah mengikuti aku, sekalipun amalku ini masih ada kekurangan,” jawab Rasulullah saw. dengan bijak. Untuk itu, masih kata Rasulullah saw., “Wahai Mu’adz, perhatikan ini:
Pertama dan utama, jagalah lisanmu; jangan sampai kamu membicarakan keburukan saudaramu sesama muslim, terutama mereka yang ahli dalam membaca Al-Qur’an. Selain itu, tanggunglah dosamu sendiri dan jangan pernah kamu bebankan dosamu kepada orang lain.
Dalam interaksi sosial, hindari menyanjung dan memuji diri sendiri, serta jangan pula mencemooh atau mencela sesama manusia. Jauhi pula sikap tinggi hati dan meremehkan orang lain. Ketika bergaul, berhati-hatilah agar tidak takabur, sehingga orang lain dapat menjaga keburukanmu. Sangat penting juga untuk menghindari berbisik saat bersama orang lain, karena hal itu dapat menimbulkan syak wasangka atau kecurigaan.
Dalam urusan niat, jangan pernah mencampurkan amal akhirat dengan amal dunia, misalnya menuntut ilmu dengan tujuan semata-mata demi kemanfaatan duniawi. Meskipun kamu dikaruniai kekayaan dan ilmu, janganlah kamu merasa besar dan menganggap orang lain berada di bawahmu. Sebab, jika sikap ini sampai menguasai dirimu, engkau akan terputus dari kebaikan dunia dan akhirat.
Terakhir, berhati-hatilah agar tidak mencaci maki orang lain. Rasulullah saw. memperingatkan bahwa perbuatan ini akan menyebabkan anjing neraka Jahanam mengeroyokmu di hari kiamat kelak. Dengan menjalankan semua nasihat ini, kita dapat berharap untuk selamat.
Anjing Neraka (Nasythath)
Ingatlah firman Allah: “Dan (malaikat-malaikat) yang mencabut nyawa dengan lemah lembut.” (QS. An Naziat: 2)
“Tahukah kau, apakah Nasythath itu?” Tanya Rasulullah saw. pada Mu’adz.
“Aku tidak mengerti, apakah Nasythath itu, wahai Rasulullah saw.?” Mu’adz balik bertanya.
“Nasythath itu adalah anjing-anjing neraka, yang menggerogoti daging-daging manusia, hingga tinggal tulang belulang belaka,” jawab Rasulullah saw. memberikan penjelasan.
“Ya Rasulullah saw., siapa yang kuat merasakan, dan selamat dari itu?”
“Itu mudah, bagi orang yang Allah mudahkan. Kau tidak perlu prihatin,” jawab Rasulullah saw.
Jika kamu ingin selamat, masih kata Rasulullah saw., sayangilah apa yang kau dan orang lain sayangi. Sebaliknya, apa yang tidak kau senangi, janganlah kamu berlakukan pada orang lain. “Wahai Mu’adz, jika kamu dapat melakukan yang demikian ini, maka engkau akan selamat.”
Dari kisah tersebut, Khalid bin Ma’dan berkomentar: “Sepengetahuanku, tidak ada orang yang paling sungguh-sungguh dalam membaca Al-Qur’an, seperti Mu’adz. Dia membaca hadis Rasulullah saw. tersebut berulang-ulang, seperti dia membaca Al-Qur’an.”(St.Diyar)
Referensi: Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad ibn Ghozali at-Thusi , Bidayatul Hidayah
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
