Khazanah
Beranda » Berita » Jangan Jadi Orang Pinter yang Susah Ditegur

Jangan Jadi Orang Pinter yang Susah Ditegur

ilustrasi filosofis laki-laki Muslim melihat cermin, simbol introspeksi dan kerendahan hati menerima nasihat.
Seorang laki-laki berwajah tenang berdiri di depan cermin besar di ruangan sederhana. Di dalam pantulan, terlihat bayangan dirinya yang tersenyum lembut sambil menunduk.

Surau.co. Kecerdasan sering dianggap puncak kemuliaan manusia. Namun, secerdas apa pun seseorang apabila tidak dibarengi kerendahan hati dalam mensifati ilmunya, justru hal ini itu akan merusak dirinya. Banyak orang pintar gagal menjadi bijak karena enggan ditegur, merasa sudah benar, dan menolak nasihat. Padahal, dalam pandangan Islam, kecerdasan sejati bukan hanya kemampuan berpikir, tetapi juga kesiapan hati untuk belajar dari siapa pun.

Allah menegaskan dalam Al-Qur’an:

وَلَا تُزَكُّوا أَنفُسَكُمْ ۖ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنِ اتَّقَىٰ
“Maka janganlah kamu menganggap dirimu suci. Dialah yang paling mengetahui siapa yang paling bertakwa.” (QS. An-Najm [53]: 32)

Ayat ini mengingatkan bahwa kesombongan dalam ilmu adalah akar kebutaan hati. Orang yang merasa paling tahu kehilangan kemampuan untuk melihat kebenaran di luar dirinya.

Ilmu dan Adab: Dua Sayap yang Tak Terpisahkan

Dalam Islam, ilmu dan adab tidak bisa dipisahkan. Ilmu tanpa adab melahirkan keangkuhan, sedangkan adab tanpa ilmu melahirkan kebodohan. Keduanya harus seimbang agar manusia tidak terjebak dalam kesalahan intelektual maupun moral.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Imam Al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

العِلْمُ بِلَا أَدَبٍ كَالنَّارِ بِلَا حَطَبٍ، وَالأَدَبُ بِلَا عِلْمٍ كَالْجَسَدِ بِلَا رُوحٍ.
“Ilmu tanpa adab seperti api tanpa kayu, dan adab tanpa ilmu seperti jasad tanpa ruh.”

Ilmu seharusnya menumbuhkan kerendahan hati, bukan kesombongan. Orang yang berilmu tetapi sulit ditegur sesungguhnya sedang kehilangan ruh dari ilmunya sendiri. Ia terjebak dalam ilusi bahwa kepintaran adalah izin untuk menghakimi, bukan untuk memperbaiki diri.

Sikap terbuka terhadap kritik adalah tanda bahwa seseorang benar-benar memahami hakikat ilmu. Sebab, ilmu sejati tidak berhenti pada kepintaran, tetapi terus berkembang bersama kerendahan hati.

Mengapa Orang Pinter Sering Susah Ditegur

Fenomena “orang pinter yang susah ditegur” bukan hal baru. Sejak dahulu, para ulama memperingatkan bahwa ujian terbesar bagi orang berilmu adalah kesombongan terhadap ilmunya. Orang cerdas sering kali merasa tak perlu diajari lagi. Ia memandang teguran sebagai serangan terhadap harga dirinya, bukan sebagai bentuk kasih sayang.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Padahal Rasulullah ﷺ bersabda:

الدِّينُ النَّصِيحَةُ
“Agama itu adalah nasihat.” (HR. Muslim)

Nasihat adalah inti kehidupan beragama. Menolak nasihat berarti menutup pintu kebaikan. Orang yang sulit ditegur bukan hanya merugikan dirinya, tetapi juga menghambat perbaikan di lingkungannya.

Ada tiga sebab utama mengapa orang pintar sulit ditegur:

  1. Ego intelektual: merasa lebih tahu daripada orang lain.
  2. Takut kehilangan citra: khawatir terlihat lemah jika mengakui kesalahan.
  3. Salah memahami kritik: mengira teguran adalah hinaan, bukan perhatian.

Padahal, orang yang berani menerima teguran justru menunjukkan kekuatan batin. Kesalahan bukan aib bagi orang yang mau memperbaikinya.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Teladan Ulama: Rendah Hati di Puncak Ilmu

Para ulama besar tidak pernah menutup diri dari nasihat. Imam Syafi‘i, misalnya, dikenal sangat lembut dalam berdialog. Beliau pernah berkata:

“Pendapatku benar namun mungkin salah, dan pendapat orang lain salah namun mungkin benar.”

Kerendahan hati ini lahir dari kesadaran bahwa ilmu manusia terbatas. Setinggi apa pun pengetahuan seseorang, tetap ada ruang untuk keliru. Hanya Allah yang Maha tahu.

Imam Al-Māwardī juga menjelaskan:

مَنْ لَمْ يَقْبَلِ التَّنْبِيهَ عَلَى خَطَائِهِ، فَقَدْ أَعْجَبَ بِنَفْسِهِ، وَمَنْ أَعْجَبَ بِنَفْسِهِ فَقَدْ ضَلَّ عَقْلُهُ.
“Barang siapa enggan menerima peringatan atas kesalahannya, maka ia telah kagum pada dirinya sendiri. Dan siapa yang kagum pada dirinya, sesungguhnya akalnya telah tersesat.”

Pernyataan ini menggambarkan betapa berbahayanya kesombongan intelektual. Orang yang menolak nasihat menutup pintu bimbingan dari Allah. Ia hidup dalam keyakinan palsu bahwa dirinya tak mungkin salah.

Teguran: Cermin untuk Menemukan Diri

Teguran bukan tanda kebencian, melainkan bentuk kasih sayang. Dalam sebuah hadits, Rasulullah ﷺ bersabda:

المُؤْمِنُ مِرْآةُ المُؤْمِنِ
“Seorang mukmin adalah cermin bagi mukmin yang lain.” (HR. Abu Dawud)

Cermin tidak pernah berbohong. Ia hanya menampilkan kenyataan agar seseorang bisa memperbaikinya. Begitu pula teguran: ia membantu kita melihat noda yang tak terlihat oleh diri sendiri.

Orang yang bijak tidak marah saat ditegur, justru bersyukur karena Allah mengirimkan pengingat melalui sesama manusia. Sebaliknya, orang yang menolak teguran kehilangan kesempatan untuk tumbuh. Ia seperti kaca yang buram—tidak lagi memantulkan kebenaran.

Teguran memang terasa pahit, tetapi di situlah obatnya. Tidak ada kesembuhan tanpa rasa perih di awal. Orang yang mencintai kebenaran akan menerima nasihat walau datang dari orang yang lebih muda, miskin, atau sederhana.

Ketika Ilmu Tidak Membuat Rendah Hati

Dalam kehidupan modern, banyak orang menilai kecerdasan dari gelar dan prestasi, bukan dari sikap. Akibatnya, muncul generasi yang cerdas secara akademik tetapi miskin adab. Mereka cepat menilai, namun lambat mendengarkan.

Padahal, ilmu sejati bukan yang hanya mengisi kepala, tetapi yang menenangkan hati. Ilmu yang benar seharusnya membuat seseorang lebih lembut, bukan keras. Lebih sabar, bukan arogan.

Orang pintar yang susah ditegur sebenarnya sedang menunjukkan ketidaksempurnaan ilmunya. Sebab, ilmu yang benar selalu mengajarkan keikhlasan untuk menerima kebenaran dari mana pun datangnya.

Sebagaimana firman Allah:

فَبَشِّرْ عِبَادِ، الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ
“Maka sampaikanlah kabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, yaitu mereka yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti yang terbaik di antaranya.” (QS. Az-Zumar [39]: 17–18)

Ayat ini menggambarkan kecerdasan spiritual: kemampuan memilah dan menerima kebenaran dengan lapang dada. Itulah ciri orang berilmu yang sejati.

Menjadi Orang Pinter yang Rendah Hati

Menjadi pintar itu penting, tetapi menjadi rendah hati jauh lebih berharga. Orang yang rendah hati mudah belajar, mudah bergaul, dan mudah memperbaiki diri. Sementara orang yang arogan kehilangan kesempatan untuk berkembang.

Ada beberapa cara agar ilmu tidak melahirkan kesombongan:

  1. Ingat bahwa ilmu adalah titipan, bukan milik mutlak.
  2. Biasakan menerima nasihat tanpa defensif.
  3. Gunakan ilmu untuk menolong, bukan menghakimi.
  4. Sering merenung bahwa masih banyak hal yang belum kita tahu.

Imam Al-Ghazali pernah berkata: “Ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan.” Maka, ilmu yang tidak mengubah akhlak sejatinya hanya menambah beban tanggung jawab di hadapan Allah.

Nasihat untuk Zaman yang Bising

Di era media sosial, setiap orang bisa bicara, tapi tidak semua bisa mendengarkan. Banyak orang merasa paling benar hanya karena punya sedikit pengetahuan. Padahal, kebenaran bukan milik suara yang paling keras, melainkan hati yang paling jernih.

Jangan jadi orang pintar yang sulit ditegur, apalagi di zaman ketika nasihat dianggap serangan pribadi. Justru, di tengah bisingnya opini, kemampuan untuk mendengar adalah bentuk kecerdasan yang paling luhur.

Belajar mendengar adalah jalan menuju kebijaksanaan. Karena itu, ketika ada yang menegur, berhentilah sejenak, dengarkan, lalu renungkan. Mungkin Allah sedang berbicara melalui orang itu.

Penutup

Ilmu adalah cahaya, tetapi kesombongan adalah kabut yang menutupinya. Orang yang rendah hati akan bersinar karena cahayanya tidak terhalang oleh ego. Orang pintar yang mau ditegur akan tumbuh menjadi bijak, Sementara yang menolak teguran akan terjebak dalam kegelapan dirinya sendiri.

Jangan jadi orang pinter yang susah ditegur, karena kesalahan bukan aib, melainkan kesempatan untuk disembuhkan. Setiap teguran adalah hadiah, setiap nasihat adalah kasih sayang.
Dan di balik setiap kritik, mungkin Allah sedang mengetuk pintu hatimu.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement