Khazanah
Beranda » Berita » Kaya itu Tidak Dosa, Serakah yang Dosa

Kaya itu Tidak Dosa, Serakah yang Dosa

tangan menampung cahaya simbol kekayaan berkah
Ilustrasi tangan manusia menampung cahaya, melambangkan kekayaan yang membawa manfaat, bukan serakah.

Surau.co. Banyak orang keliru memandang kekayaan. Dalam benak sebagian kita, kaya sering dianggap sinonim dengan duniawi, materialistis, bahkan menjauh dari Tuhan. Padahal, Islam tidak pernah melarang umatnya untuk kaya, menjadi kaya tidak lah dosa. Akan tetapi, yang dilarang adalah serakah — sifat yang membuat manusia lupa batas, menumpuk harta tanpa manfaat, dan kehilangan makna ibadah dalam bekerja.

Kekayaan hanyalah alat, bukan tujuan. Alat untuk menebar manfaat, bukan menumbuhkan kesombongan. Dalam Al-Qur’an, Allah tidak pernah menyebut harta sebagai kejahatan, tetapi memperingatkan agar kita tidak diperbudak olehnya:

“وَلَا تَنْسَ نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا”
“Dan janganlah kamu lupakan bagianmu di dunia.” (QS. Al-Qashash [28]: 77)

Ayat ini menegaskan keseimbangan. Kita tidak diminta menjadi miskin untuk disebut zuhud. Kita diminta bijak: menguasai harta tanpa dikuasai olehnya.

Kaya Itu Amanah, Bukan Aib

Dalam sejarah Islam, banyak sahabat yang hidup makmur, tetapi tetap rendah hati dan dekat kepada Allah. Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf, misalnya, adalah dua contoh sahabat yang sangat kaya. Namun kekayaan mereka menjadi sumber kebaikan, bukan kesombongan.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Utsman bin Affan pernah membeli sumur Raumah dengan hartanya dan menyedekahkannya untuk umat. Rasulullah ﷺ bahkan bersabda:

“نِعْمَ الْمَالُ الصَّالِحُ لِلرَّجُلِ الصَّالِحِ”
“Sebaik-baik harta ialah harta yang dimiliki oleh orang saleh.” (HR. Ahmad)

Artinya, harta yang baik bukan musuh spiritualitas. Justru ia menjadi alat ibadah jika dimanfaatkan dengan niat benar. Orang kaya yang dermawan bukanlah simbol keserakahan, tetapi simbol tanggung jawab sosial.

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

“ليس الغنى بكثرة المال، ولكن الغنى بغنى النفس”
“Kekayaan sejati bukanlah banyaknya harta, tetapi kayanya jiwa.”

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Ungkapan ini mempertegas makna hakiki kekayaan: bukan soal angka di rekening, melainkan rasa cukup dan kemuliaan hati.

Antara Ambisi dan Serakah

Sering kali, ambisi disalahartikan sebagai keserakahan. Padahal, keduanya memiliki batas yang tegas. Ambisi adalah energi untuk tumbuh, sedangkan serakah adalah nafsu yang membakar. Ambisi mendorong kita bekerja keras dengan etika, sementara serakah membuat kita tak mengenal syukur dan batas.

Dalam kehidupan modern, di mana kompetisi begitu ketat, ambisi diperlukan agar kita tidak malas. Islam tidak memuji kemalasan. Rasulullah ﷺ sendiri adalah pribadi yang bekerja keras dan mendorong umatnya untuk produktif. Namun, ambisi harus disertai niat yang benar — bukan untuk pamer, melainkan untuk berkontribusi, sehingga kekayaan yang kita tuju tidak menjadi dosa.

Serakah berbeda. Ia muncul ketika harta bukan lagi alat, tetapi tujuan. Ketika seseorang menumpuk kekayaan demi status, bukan kebermanfaatan. Ketika seseorang kehilangan empati karena terlalu mencintai hasil kerjanya sendiri.

“وَمَن يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَـٰئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ”
“Dan barang siapa terhindar dari sifat kikir dirinya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (QS. Al-Hasyr [59]: 9)

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ayat ini bukan sekadar larangan, tapi terapi spiritual. Keserakahan tidak hanya merusak sosial, tetapi juga mengeringkan hati. Ia menutup ruang bagi syukur, dan menyalakan api iri di dada.

Etika Menjadi Kaya: Pelajaran dari al-Māwardī

Imam al-Māwardī mengajarkan bahwa setiap nikmat, termasuk kekayaan, harus dikelola dengan adab agar tidak menjadi dosa. Dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, beliau menerangkan:

“من آثر الدنيا على الدين خسرهما جميعاً، ومن آثر الدين على الدنيا ربحهما جميعاً”
“Barang siapa lebih mengutamakan dunia daripada agama, ia kehilangan keduanya. Dan siapa mengutamakan agama di atas dunia, ia memperoleh keduanya.”

Pesan ini menegaskan keseimbangan. Menjadi kaya boleh, tetapi harus diiringi dengan nilai spiritual dan moral. Orang kaya sejati bukan yang paling banyak memiliki, melainkan yang paling bermanfaat. Ia menempatkan hartanya dalam posisi khidmah (pelayanan), bukan izzah (kebanggaan).

Kaya yang beradab berarti tidak sombong atas pencapaian, tidak pelit kepada sesama, dan tidak menipu demi keuntungan. Dalam logika al-Māwardī, kekayaan tanpa adab hanya akan melahirkan kehinaan batin.

Kaya yang Memberdayakan, Bukan Memperbudak

Dalam masyarakat modern, banyak yang mengukur kesuksesan hanya dari materi. Padahal, kekayaan sejati adalah kemampuan menggunakan harta untuk memberdayakan, bukan memperbudak. Seorang muslim yang kaya seharusnya menjadi tumpuan bagi yang lemah, bukan tembok yang menutup akses.

Bayangkan jika kekayaan tidak hanya ditimbun, tetapi diputar menjadi peluang. Jika seorang pengusaha menjadikan bisnisnya sarana memberi lapangan kerja, maka ia bukan hanya kaya, tetapi juga beramal jariyah. Rasulullah ﷺ bersabda:

“اليد العليا خير من اليد السفلى”
“Tangan yang di atas lebih baik daripada tangan yang di bawah.” (HR. Bukhari & Muslim)

Hadis ini bukan glorifikasi kelas sosial, tetapi ajakan untuk menjadi pemberi, bukan peminta. Semakin banyak yang kita beri, semakin kaya hati kita.

Kekayaan yang menumbuhkan manfaat adalah bentuk syukur konkret. Ia bukan sekadar ucapan “alhamdulillah”, tetapi tindakan nyata: membangun, menolong, dan mendidik.

Serakah: Sumber Derita dan Kegelisahan

Serakah bukan hanya dosa sosial, tapi juga penyakit batin. Orang yang serakah tidak pernah merasa cukup, bahkan ketika semua sudah ia genggam. Ia hidup dalam ketakutan kehilangan, bukan kebahagiaan memiliki. Ia menghitung, bukan menikmati.

Al-Qur’an memberi gambaran tajam tentang manusia serakah:

“أَلْهَاكُمُ التَّكَاثُرُ، حَتَّىٰ زُرْتُمُ الْمَقَابِرَ”
“Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur.” (QS. At-Takatsur [102]: 1–2)

Ayat ini menohok: keserakahan adalah permainan tanpa ujung. Orang serakah tidak pernah berhenti mengejar angka, sampai akhirnya semua angka itu berhenti bersamanya di liang kubur.

Serakah membuat manusia terjebak dalam ilusi bahwa kebahagiaan ada di luar dirinya. Padahal, sebagaimana kata Imam al-Māwardī, “Orang yang tidak cukup dengan yang sedikit, tidak akan cukup dengan yang banyak.”

Jalan Tengah: Produktif tapi Qana‘ah

Islam mengajarkan jalan tengah antara malas dan rakus. Kita diminta produktif, tetapi tetap qana‘ah — merasa cukup dengan rezeki yang Allah tetapkan, tanpa berhenti berusaha. Inilah keseimbangan yang membentuk pribadi tangguh dan tenang.

Qana‘ah bukan pasrah. Ia adalah kemampuan untuk menikmati hasil kerja dengan syukur, tanpa iri kepada orang lain. Orang qana‘ah tetap bekerja keras, tetapi hatinya tidak dikendalikan oleh keinginan yang tak habis-habis.

“وَمَن تَوَكَّلَ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ”
“Barang siapa bertawakal kepada Allah, maka cukuplah Allah baginya.” (QS. Ath-Thalaq [65]: 3)

Dengan qana‘ah, kekayaan menjadi sumber ketenangan, bukan kegelisahan.

Kaya Itu Jalan Ibadah

Kaya dapat membuat seorang muslim mempunyai lebih banyak kesempatan untuk beramal. Dengan harta, seseorang bisa menolong yatim, membiayai pendidikan, membangun masjid, dan memperluas kebermanfaatan. Karena itu, Islam mendorong umatnya untuk kuat secara ekonomi.

Rasulullah ﷺ berdoa agar umatnya tidak miskin karena kemiskinan sering menjadi pintu keputusasaan dan dosa. Namun beliau juga mengingatkan agar kekayaan tidak membuat sombong. Dalam keseimbangan inilah letak kemuliaan hidup seorang muslim.

Kaya yang beriman tidak akan lupa zakat. Ia menunaikan hak Allah dalam hartanya, karena tahu bahwa setiap rupiah adalah titipan, bukan kepemilikan mutlak.

Penutup: Kaya yang Menghidupkan Jiwa

Menjadi kaya itu tidak haram. Yang haram adalah ketika harta menutup mata hati. Kaya yang benar justru menghidupkan jiwa, menyalakan semangat berbagi, dan menumbuhkan rasa syukur. Harta bisa menjadi cermin spiritualitas — apakah kita semakin dekat atau justru jauh dari Allah.

Maka jadilah kaya dengan niat memberi, bukan menimbun. Jadilah orang berharta yang ringan tangan, bukan ringan iman. Sebab pada akhirnya, kekayaan bukan tentang berapa yang kita miliki, tapi berapa yang kita bagi. Sesungguhnya, kaya yang sejati adalah mereka yang hatinya merdeka.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement