Opinion
Beranda » Berita » Propaganda Kata dalam Kurikulum: Analisis Islam atas Istilah “Cinta” dan “Merdeka” dalam Pendidikan Nasional

Propaganda Kata dalam Kurikulum: Analisis Islam atas Istilah “Cinta” dan “Merdeka” dalam Pendidikan Nasional

Propaganda Kata dalam Kurikulum: Analisis Islam atas Istilah "Cinta" dan "Merdeka" dalam Pendidikan Nasional
Propaganda Kata dalam Kurikulum: Analisis Islam atas Istilah "Cinta" dan "Merdeka" dalam Pendidikan Nasional

 

SURAU.CO – Abstrak: Tulisan ini menganalisis infiltrasi ideologis dalam dunia pendidikan melalui penggunaan istilah “cinta” dan “merdeka” dalam kurikulum pendidikan agama dan umum di Indonesia.

Fenomena ini bukan sekadar pembaruan terminologi, melainkan bagian dari rekayasa semantik (semantic engineering) global yang berupaya menggeser makna keagamaan dan moral menuju paradigma sekuler-humanistik.

Makalah ini mengupas kontradiksi antara propaganda cinta dan merdeka dalam sistem pendidikan dengan konsep cinta dan kebebasan dalam Islam berdasarkan Al-Qur’an, Sunnah, dan prinsip epistemologi tauhid.

Hasil analisis menunjukkan bahwa istilah-istilah tersebut digunakan sebagai instrumen ideologis untuk menjauhkan generasi dari orientasi ketuhanan dan menjadikan pendidikan sebagai wahana penjinakan spiritual.

Menggali Peran Pemuda dalam Riyadus Shalihin: Menjadi Agen Perubahan Sejati

Kata Kunci: Propaganda, Kurikulum Cinta, Kurikulum Merdeka, Sekularisasi Pendidikan, Islamisasi Ilmu, Epistemologi Tauhid.

Pendahuluan

Dalam dua dekade terakhir, dunia pendidikan Indonesia mengalami transformasi besar melalui proyek globalisasi nilai dengan dua istilah kunci yang paling masif: “Cinta” dan “Merdeka.”

Keduanya tampak indah, humanis, dan universal, namun di balik estetika katanya tersembunyi ideologi sekuler yang menggeser makna ilahiah menjadi makna antropocentris.

Islam telah lama mengenal istilah cinta (mahabbah) dan kebebasan (hurriyah), namun keduanya selalu terikat pada ketaatan kepada Allah dan syariat-Nya.

Ketika kedua kata itu dipisahkan dari wahyu dan dijadikan jargon kurikulum, maka ia bukan lagi nilai spiritual, tetapi telah menjadi alat propaganda untuk mengubah cara berpikir generasi Muslim. Analisis Semantik dan Ideologis.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

𝗣𝗿𝗼𝗽𝗮𝗴𝗮𝗻𝗱𝗮 𝗕𝗮𝗵𝗮𝘀𝗮: 𝗦𝘁𝗿𝗮𝘁𝗲𝗴𝗶 𝗠𝗲𝗻𝗴𝘂𝗯𝗮𝗵 𝗠𝗮𝗸𝗻𝗮

Bahasa adalah pintu masuk ideologi.
Mereka yang menguasai makna, menguasai arah berpikir masyarakat.
Dalam pandangan Islam, bahasa bukan netral; setiap kata memiliki muatan moral dan epistemologis.

Rasulullah ﷺ telah memperingatkan bahwa ucapan yang mengandung kesesatan dapat menjerumuskan manusia ke neraka walau hanya sebaris kalimat.

Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya seseorang mengucapkan suatu perkataan yang diridhai Allah, ia tidak menganggapnya besar, namun Allah mengangkatnya karenanya; dan seseorang mengucapkan suatu perkataan yang dimurkai Allah, ia tidak menganggapnya besar, namun Allah mencampakkannya ke dalam neraka.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Artinya, kata memiliki kekuatan spiritual dan moral.

Jika digunakan tanpa panduan wahyu, ia menjadi alat sihir maknawi sebagaimana Rasulullah ﷺ Sabdakan:

Birrul Walidain: Membangun Peradaban dari Meja Makan untuk Generasi Mulia

“Sesungguhnya di antara perkataan itu ada yang benar-benar mengandung sihir.”
(HR. Ahmad)

“𝗞𝘂𝗿𝗶𝗸𝘂𝗹𝘂𝗺 𝗖𝗶𝗻𝘁𝗮”: 𝗥𝗼𝗺𝗮𝗻𝘁𝗶𝘀𝗶𝘀𝗺𝗲 𝗦𝗲𝗸𝘂𝗹𝗲𝗿 𝗱𝗮𝗻 𝗛𝗶𝗹𝗮𝗻𝗴𝗻𝘆𝗮 𝗞𝗲𝘁𝘂𝗻𝗱𝘂𝗸𝗮𝗻

Program “Kurikulum Berbasis Cinta” di madrasah negeri (MTSN) adalah contoh klasik dari romantisisme pendidikan sekuler.
Cinta dijadikan inti pembelajaran tanpa definisi teologis yang jelas.
Cinta diartikan sebagai empati universal, kasih tanpa batas, bahkan penerimaan terhadap perbedaan akidah.

Padahal, dalam Islam, mahabbah memiliki hirarki teologis yang tegas:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:
“Katakanlah: Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Rasulullah), niscaya Allah mencintaimu.”
(QS. Ali Imran: 31)

Artinya, cinta sejati dalam Islam adalah ketaatan kepada Rasul, bukan perasaan netral tanpa iman.

Ketika kurikulum menempatkan “cinta” sebagai nilai tertinggi tanpa menyebut ketaatan, maka ia telah mengganti sumber moral dari wahyu menjadi rasa dan di situlah propaganda bekerja: mendewakan emosi, menghapus ketaatan.

Cinta tanpa batas iman melahirkan relativisme moral: semua benar, semua baik, semua sah bahkan ketika melanggar syariat.
Inilah bentuk soft power sekularisasi, yang menjadikan kata lembut sebagai alat penjinakan ideologis yang sengaja dimasukan oleh agen-agen sekuler barat dalam pemerintah saat ini untuk merusak bangsa dari dasar generasi Islam khususnya sebagai mayoritas penduduk terbesar.

“𝗞𝘂𝗿𝗶𝗸𝘂𝗹𝘂𝗺 𝗠𝗲𝗿𝗱𝗲𝗸𝗮”: 𝗞𝗲𝗯𝗲𝗯𝗮𝘀𝗮𝗻 𝗧𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗪𝗮𝗵𝘆𝘂

Kata merdeka dalam “Kurikulum Merdeka” dipromosikan sebagai pembebasan siswa dan guru dari tekanan sistem.
Namun secara filosofis, istilah ini berakar dari konsep liberal humanism kebebasan absolut individu dalam menentukan nilai dan kebenaran.

Islam tidak menolak kebebasan, tetapi menempatkannya dalam bingkai taklif (tanggung jawab syar’i).

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:
“Maka barangsiapa menghendaki, hendaklah ia beriman, dan barangsiapa menghendaki, hendaklah ia kafir.”
(QS. Al-Kahfi: 29)

Namun, ayat ini diikuti dengan ancaman neraka bagi yang menolak kebenaran menegaskan bahwa kebebasan dalam Islam bukan hak absolut, melainkan ujian moral di bawah hukum Allah.

Kurikulum Merdeka, di sisi lain, menanamkan kebebasan berpikir tanpa batas wahyu.
Siswa diajak menafsirkan nilai, moral, bahkan agama sesuai persepsi personal.
Ini adalah bentuk dekonstruksi epistemologis, memindahkan pusat kebenaran dari Allah kepada “akal manusia.” dampak nya siswa akan kehilangan jati diri semangat juang dan jadi menerawang yang akan jadi sasaran empuk sekuler kapitalis memanfaatkan situasi ini nanti untuk mengekploitasi kebodohan masal generasi dan seluruh kekayaan alam bumi Pertiwi.

𝗦𝗶𝗵𝗶𝗿 𝗞𝗮𝘁𝗮 𝗱𝗮𝗻 𝗥𝗮𝘀𝗶𝗼𝗻𝗮𝗹𝗶𝘁𝗮𝘀 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗦𝘂𝗻𝗻𝗮𝗵

Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Sesungguhnya sebagian dari perkataan itu adalah sihir.”
(HR. Bukhari)

Hadis ini bukan sekadar peringatan terhadap retorika, melainkan peringatan terhadap manipulasi makna. Kata yang disusun indah dapat memikat akal, mematikan nalar, dan menipu hati.

Bahkan dalam bercanda, Rasulullah tetap menjaga kebenaran makna.
Beliau tidak pernah berbicara kecuali benar, meski dalam humor.
Hal ini menunjukkan bahwa bahasa dalam Islam adalah amanah akal dan iman.

Maka, ketika lembaga pendidikan mengajarkan “cinta” tanpa wahyu dan “merdeka” tanpa tanggung jawab syar’i,
mereka sebenarnya sedang mengajarkan sihir makna yang merusak rasionalitas dan iman generasi. Upaya pembodohan masal ini akan semakin memberikan dampak moral,sosial dan ekonomi pada sebuah keluarga yang terbodohkan oleh sistem demokrasi sekuler yang mereka pilih sendiri. Mendukung kerusakan dan ancaman pada diri sendiri dan generasi mereka masing-masing. Mereka hidup dikendalikan oleh pemilik modal, kekayaan alam bangsa nya dirampas tapi melalui partai politik sebagai motor utamanya berhasil meyakinkan para pendukungnya masing-masing bahwasanya mereka paling NKRI harga mati walaupun dengan cara korupsi dan saling mengkhianati.

𝗣𝗿𝗼𝗽𝗮𝗴𝗮𝗻𝗱𝗮 𝗱𝗮𝗹𝗮𝗺 𝗣𝗲𝗻𝗱𝗶𝗱𝗶𝗸𝗮𝗻: 𝗧𝘂𝗷𝘂𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗗𝗮𝗺𝗽𝗮𝗸𝗻𝘆𝗮

Dalam teori propaganda modern, istilah emosional seperti cinta, damai, dan kebebasan digunakan untuk:

Melemahkan resistensi ideologis masyarakat;

Menanamkan nilai global tanpa perlawanan;

Mengaburkan batas antara kebenaran dan kebatilan.

Ketika kata-kata itu dimasukkan dalam kurikulum, ia menjadi alat rekayasa kesadaran.
Generasi muda dibentuk bukan untuk taat kepada Allah, tetapi taat kepada nilai global yang tampak moral, padahal kosong dari wahyu.

𝗣𝗲𝗿𝘀𝗽𝗲𝗸𝘁𝗶𝗳 𝗜𝘀𝗹𝗮𝗺 𝘁𝗲𝗿𝗵𝗮𝗱𝗮𝗽 𝗞𝘂𝗿𝗶𝗸𝘂𝗹𝘂𝗺 𝗱𝗮𝗻 𝗔𝗸𝗮𝗹 𝗦𝗲𝗵𝗮𝘁

Islam menempatkan akal sebagai alat, bukan sumber nilai.
Akal yang sehat harus tunduk pada wahyu.
Ketika pendidikan menuhankan kebebasan berpikir tanpa panduan wahyu, maka akal menjadi liar dan kehilangan arah.

Rasulullah ﷺ menegaskan bahwa manusia yang tidak lagi menimbang dengan wahyu akan tersesat oleh pikirannya sendiri.
Inilah yang terjadi ketika pendidikan dikendalikan oleh ide cinta dan merdeka versi sekuler akal kehilangan fitrahnya, dan iman kehilangan arah ilmunya sehingga kepastian kebodohan masal lintas generasi akan terus diproduksi oleh sistem demokrasi sekuler barat ini. Hal ini adalah sebuah kebodohan masal yang sangat berbahaya. Pada umumnya mereka ini akan hidup penuh dengan ilusi, merasa pintar, merasa kaya, merasa trend padahal kehidupan mereka setiap hari ditindas dan dirusak bahkan hak-haknya disodomi terus oleh pemerintahan sekulerisasi dan demokrasi. Inilah kebodohan sejati yang harus cepat diperbaiki. Jika tidak wabah rakyat yang sudah kehilangan nyali dan jati diri ini akan terus jatuh kedalam kemaksiatan disegala lini kehidupannya dan terus ditindas oleh sistem demokrasi.

Dampak dari kecintaan dunia diatas akhidah Islam akhirnya menjadikan mayoritas penduduk Islam terbesar dunia hannya lah sebagai budak-budak kapitalis yang di kelola oleh kepentingan sekuler dan elit-elit kapital global dengan pola hidup penuh penyimpangan. Mereka sangat naas sekali walaupun pendidikan dan jabatannya mereka ada yang tinggi tapi tidak berfungsi ketika sudah kehilangan nyali untuk hidup sebagai manusia yang mulia dan terhormat diatas negara nya yang kaya. Inilah dampak dari sekulerisasi yang akan mengikis terus kemulian manusia khususnya umat Islam yang sudah dijanjikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala sebagai umat Terbaik dimuka Bumi tapi karena individu umat justru memilih demokrasi sekulerisasi akhirnya menjadi umat yang terbaik-balik tanpa jati diri.

𝗞𝗲𝘀𝗶𝗺𝗽𝘂𝗹𝗮𝗻 𝗱𝗮𝗻 𝗥𝗲𝗸𝗼𝗺𝗲𝗻𝗱𝗮𝘀𝗶

  1. Kata “Cinta” dan “Merdeka” dalam konteks kurikulum modern adalah alat propaganda ideologis, bukan pengembangan spiritual.
    Keduanya diarahkan untuk mengubah paradigma teistik menjadi humanistik.

  2. Islam memiliki definisi cinta dan kebebasan sendiri, yang bersumber dari wahyu, bukan dari perasaan dan rasionalisme otonom.

  3. Pendidikan Islam harus kembali pada epistemologi tauhid, dengan merevisi seluruh istilah yang mengandung bias ideologis.

  4. Negara dan umat perlu membentuk Dewan Kurikulum Islam Nasional yang meninjau seluruh kata dan konsep pendidikan agar selaras dengan syariat.

  5. Pendidik harus memahami bahwa bahasa adalah medan jihad, dan mempertahankan makna Qurani adalah bentuk perlawanan terhadap penjajahan intelektual.

Penutup

Perang modern adalah perang makna.
Musuh tidak datang dengan senjata, tetapi dengan kata-kata yang meninabobokan: “cinta”, “merdeka”, “moderasi”, “damai”.
Namun, setiap kata yang dipisahkan dari wahyu adalah racun bagi akal dan hati.

Maka, benteng terakhir umat bukan sekadar masjid dan pesantren, tetapi makna dalam bahasa.

Selama kita menjaga makna Qurani tetap murni, umat ini akan tetap hidup dan memimpin dunia dengan ilmu dan iman.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala Berfirman:
> “Mereka hendak memadamkan cahaya Allah dengan mulut-mulut mereka, tetapi Allah tetap menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya.”
(QS. Ash-Shaff: 8).

BANGKITKAN UMAT, LAWAN PENJAJAHAN!

Wahai umat Islam sudah cukup kita dibuai!
Anak-anak kita tidak dirampok dengan terang-terangan — mereka 𝗱𝗶𝗿𝗮𝗺𝗽𝗼𝗸 𝗱𝗲𝗻𝗴𝗮𝗻 𝗸𝗮𝘁𝗮.
“Kurikulum Cinta” dan “Kurikulum Merdeka” bukan sekadar kata manis: itu adalah 𝗿𝗮𝗰𝘂𝗻 𝗶𝗱𝗲𝗼𝗹𝗼𝗴𝗶𝘀 yang mengebiri iman dan menjual jiwa generasi kepada nilai-nilai Barat.

Berhentilah jadi gemoy lembek! Jadilah manusia sejati!
Kita ditipu oleh istilah yang terdengar suci tapi kosong 𝗰𝗶𝗻𝘁𝗮 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝗶𝗺𝗮𝗻, 𝗺𝗲𝗿𝗱𝗲𝗸𝗮 𝘁𝗮𝗻𝗽𝗮 𝘄𝗮𝗵𝘆𝘂.
Itu bukan kemajuan: itu 𝗽𝗲𝗻𝗰𝘂𝗹𝗶𝗸𝗮𝗻 𝗮𝗸𝗶𝗱𝗮𝗵. Mereka menabur empati palsu agar kita lupa akan taklif pada Rabb.

Kepada guru, orang tua, dan ulama:
Jangan jadi penonton ketika anak-anak kita dicuci otaknya.
Tegur, cabut, revisi!
Larung istilah yang menyesatkan dari kurikulum!
Kembalikan makna kepada Al-Qur’an dan Sunnah!
Jadikan pendidikan medan perlawanan, bukan lahan produksi budak kapital dan sekularisme!

Kepada seluruh kaum Muslim:
Bangkit dari bius duniawi yang gemerlap dan memabukkan itu adalah jebakan.
Jangan lagi kagum pada label “modern” yang merusak aqidah.
Buka mata, buka kitab, serbu ruang pendidikan dengan kebenaran!

Ini peringatan keras:
Jika makna wahyu tidak dijaga, generasi kita akan jadi pion tanpa ruh, tunduk pada modal dan sekulerisme, kehilangan harga diri sebagai umat pilihan.

𝗦𝗲𝗯𝗮𝗿𝗸𝗮𝗻 𝗦𝗘𝗞𝗔𝗥𝗔𝗡𝗚 𝗷𝘂𝗴𝗮: unggah, forward, cetak, tempel, bacakan di majelis biarkan setiap Muslim membaca dan sadar. Jadikan pesan ini virus kebaikan yang menular, bukan racun yang disebarkan musuh. (Rahmat Daily)


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement