Khazanah
Beranda » Berita » Akhlak Mulia dalam Al-Muwaṭṭa’: Cermin Keindahan Islam di Madinah

Akhlak Mulia dalam Al-Muwaṭṭa’: Cermin Keindahan Islam di Madinah

Muslim Madinah membantu sesama di bawah cahaya lembut pagi, simbol akhlak dan kasih sayang Islam.
Lukisan simbolis tentang kasih sayang dan kebersamaan sebagai wujud akhlak mulia dalam masyarakat Madinah zaman klasik.

Surau.co. Dalam khazanah Islam klasik, Al-Muwaṭṭa’ karya Imām Mālik ibn Anas berdiri sebagai karya monumental yang tidak hanya membahas hukum, tetapi juga menampilkan wajah Islam yang lembut dan penuh kasih. Di tengah kerasnya wacana hukum yang sering menonjolkan sisi larangan dan sanksi, Al-Muwaṭṭa’ justru memancarkan keindahan akhlak — fondasi peradaban Madinah yang dicontohkan oleh Rasulullah ﷺ.

Sejak awal, Imām Mālik menegaskan bahwa akhlak mulia bukan sekadar pelengkap agama, melainkan inti dari seluruh ajaran. Dalam masyarakat Madinah — kota tempat Nabi membangun peradaban — akhlak menjadi bukti bahwa iman telah berbuah nyata. Oleh karena itu, beliau menulis dan meriwayatkan berbagai kisah dalam Al-Muwaṭṭa’ yang menunjukkan hubungan erat antara iman dan budi pekerti.

Akhlak sebagai Cermin Iman

Imām Mālik memandang akhlak sebagai cermin iman yang sejati. Ia menukil sabda Rasulullah ﷺ:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلَاقِ.”
“Sesungguhnya aku diutus hanya untuk menyempurnakan akhlak yang mulia.” (HR. Abu Hurairah)

Menurut Imām Mālik, misi kenabian tidak berhenti pada penegakan hukum, tetapi meluas pada pembentukan hati yang lembut dan perilaku yang santun. Ia menyebut akhlak sebagai hiasan iman yang menjadikan seseorang bukan hanya beragama secara formal, melainkan juga berperilaku ilahi dalam kehidupan sehari-hari.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Selain itu, beliau menilai bahwa masyarakat yang berakhlak adalah masyarakat yang beradab. Dengan kata lain, iman yang tidak memunculkan keindahan budi hanyalah kulit tanpa isi. Oleh karena itu, Imām Mālik menempatkan pendidikan moral sebagai poros utama dalam pembinaan umat.

Di tengah masyarakat modern yang penuh kompetisi dan kemarahan, pesan ini terasa semakin mendesak. Islam, sebagaimana hidup di Madinah, bukan sekadar agama ritual, tetapi sistem kehidupan yang menegakkan kemuliaan manusia.

Kelembutan sebagai Dasar Kepemimpinan

Imām Mālik hidup di Madinah — kota ilmu dan adab, tempat para sahabat menanamkan nilai kepemimpinan berbasis kasih sayang. Dari sana, beliau memahami bahwa kepemimpinan sejati lahir dari kelembutan, bukan kekuasaan. Ia meriwayatkan sabda Rasulullah ﷺ:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ، وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ.”
“Sesungguhnya kelembutan tidaklah ada pada sesuatu melainkan ia memperindahnya, dan tidaklah dicabut dari sesuatu melainkan ia memperburuknya.”

Dalam pandangan Mālikī, kelembutan bukan tanda kelemahan, melainkan wujud kebijaksanaan. Dengan bersikap lembut, seseorang dapat mengendalikan amarah, menjaga martabat, dan memelihara keharmonisan sosial.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Selain itu, Imām Mālik memberi contoh melalui perilakunya sendiri. Meskipun beliau ulama besar, ia enggan menjawab pertanyaan hukum secara tergesa. Ia lebih memilih diam dan berkata, “Aku tidak tahu,” bila belum jelas baginya. Sikap ini menunjukkan kerendahan hati sekaligus kejujuran ilmiah — dua pilar penting dalam tradisi akhlak Islam.

Oleh karena itu, kelembutan menurut Imām Mālik bukan sekadar sikap, tetapi strategi kepemimpinan spiritual yang menumbuhkan kepercayaan dan kedamaian.

Menjaga Lisan, Menjaga Kehormatan

Lebih lanjut, Imām Mālik menekankan pentingnya menjaga lisan. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan sabda Rasulullah ﷺ:

عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ.”
“Barang siapa menjamin bagiku apa yang ada di antara dua rahangnya dan dua kakinya, maka aku jamin baginya surga.”

Menurut Imām Mālik, hadits ini mengandung pesan sosial yang kuat. Masyarakat akan damai bila setiap individu menjaga ucapan dan perilakunya. Di Madinah, kata-kata bukan alat untuk menyerang, tetapi jembatan untuk menyatukan.

Filosofi Bathok Bolu Isi Madu: Kemuliaan Hati di Balik Kesederhanaan

Selain itu, beliau menegaskan bahwa kehormatan manusia bergantung pada cara ia berbicara. Ucapan yang baik memelihara hubungan, sedangkan kata yang kasar menumbuhkan permusuhan. Karena itu, menjaga lisan berarti menjaga kehormatan diri dan masyarakat.

Dalam konteks digital masa kini, pesan ini semakin relevan. Media sosial sering menjadi ruang kehilangan adab — tempat orang mudah mencela, menebar fitnah, dan menghapus empati. Padahal, dalam tradisi Mālikī, lisan adalah amanah yang harus dijaga dengan penuh tanggung jawab.

Kasih Sayang dan Tanggung Jawab Sosial

Sementara itu, Imām Mālik juga menempatkan kasih sayang sebagai inti dari akhlak sosial. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan hadits Rasulullah ﷺ:

عَنْ النُّعْمَانِ بْنِ بَشِيرٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ: “مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ، تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى.”
“Perumpamaan orang beriman dalam kasih sayang dan kepedulian mereka seperti satu tubuh; jika satu anggota sakit, seluruh tubuh ikut merasakan demam dan tidak tidur.”

Imām Mālik menjelaskan bahwa kasih sayang sejati harus diwujudkan dalam tindakan sosial yang nyata. Penduduk Madinah mencontohkan hal itu melalui sistem zakat, wakaf, dan saling tolong antar tetangga.

Dengan demikian, akhlak bukan hanya urusan pribadi, tetapi kekuatan sosial yang membangun peradaban. Masyarakat yang saling peduli akan lebih mudah menegakkan keadilan dan menumbuhkan solidaritas. Oleh karena itu, kasih sayang menurut Imām Mālik adalah sumber energi moral bagi kehidupan umat.

Akhlak sebagai Jalan Kedewasaan Ruhani

Selain itu, Imām Mālik menegaskan bahwa akhlak mulia tidak lahir secara instan. Ia merupakan hasil pembiasaan, latihan jiwa, dan pendidikan rohani (tarbiyyah al-nafs). Menurutnya, ilmu tanpa akhlak ibarat pohon tanpa buah.

Beliau sering berkata, “Belajarlah adab sebelum ilmu.” Maka dalam madrasah Mālikī di Madinah, murid diajarkan bukan hanya hukum, tetapi juga cara duduk, cara berbicara, dan cara menghormati guru. Proses itu melatih kerendahan hati dan membentuk karakter yang utuh.

Oleh karena itu, Imām Mālik menilai bahwa kedewasaan spiritual tidak diukur dari banyaknya pengetahuan, melainkan dari kemampuan seseorang menjaga adabnya. Di era modern yang menyanjung kecerdasan tanpa kebijaksanaan, pesan ini kembali relevan sebagai panggilan moral.

Refleksi: Akhlak sebagai Wajah Indah Islam

Akhlak yang diajarkan dalam Al-Muwaṭṭa’ bukan sekadar idealisme, melainkan panduan hidup nyata. Madinah menjadi kota damai karena penduduknya hidup dengan adab dan saling menghormati.

Firman Allah menggambarkan keterkaitan antara iman dan akhlak:

وَقُولُوا لِلنَّاسِ حُسْنًا
“Dan berkatalah kepada manusia dengan perkataan yang baik.” (QS. Al-Baqarah [2]: 83)

Ayat ini, menurut tafsir Mālikī, bukan hanya nasihat, melainkan fondasi peradaban. Manusia diperintahkan untuk menebarkan kebaikan melalui kata, tindakan, dan sikap.

Dengan demikian, Imām Mālik mengajarkan bahwa akhlak adalah napas Islam itu sendiri. Ia menumbuhkan kedamaian batin, memperkuat hubungan sosial, dan mencerminkan kasih Allah di bumi. Ketika umat menghidupkan akhlak, mereka tidak hanya meneladani Nabi, tetapi juga menjadi cermin keindahan Islam yang sesungguhnya — lembut, jujur, dan penuh kasih.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement