Khazanah
Beranda » Berita » Minuman Memabukkan: Pandangan Mālik Tentang Kehormatan Akal

Minuman Memabukkan: Pandangan Mālik Tentang Kehormatan Akal

Muslim merenung di depan cermin menolak minuman memabukkan sebagai bentuk menjaga kehormatan akal.
Lukisan simbolis yang menggambarkan keteguhan manusia menjaga akalnya dari godaan yang memabukkan, dalam suasana cahaya lembut dan reflektif.

Surau.co. Dalam pandangan Imām Mālik ibn Anas, sebagaimana terekam dalam karya monumentalnya Al-Muwaṭṭa’, akal adalah anugerah besar yang membedakan manusia dari makhluk lainnya. Karena itu, segala sesuatu yang merusak fungsi akal, termasuk minuman memabukkan, merupakan bentuk penghinaan terhadap karunia Allah. Bagi Mālik, larangan terhadap khamr (minuman memabukkan) bukan hanya masalah moralitas, tetapi juga perlindungan terhadap kemanusiaan dan kehormatan diri.

Di tengah masyarakat modern, fenomena penyalahgunaan alkohol dan zat adiktif menjadi isu global yang mengancam struktur sosial dan spiritual. Dalam kerangka itu, pemikiran Mālik terasa sangat relevan: ia menegaskan bahwa menjaga akal berarti menjaga kemuliaan hidup.

Akal sebagai Cahaya Kehidupan

Dalam Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik menempatkan akal pada posisi yang luhur. Ia memahami bahwa manusia tidak dapat mengenal Tuhan, menegakkan keadilan, atau membangun masyarakat tanpa kesadaran akal yang sehat. Karena itu, segala bentuk tindakan yang menumpulkan kesadaran dipandang sebagai ancaman terhadap fitrah manusia.

Beliau meriwayatkan hadits penting tentang larangan khamr:

عَنْ عُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّهُ قَالَ عَلَى الْمِنْبَرِ: “إِنَّ الْخَمْرَ حُرِّمَتْ لِأَنَّهَا أُمُّ الْخَبَائِثِ.”
(Dari Umar bin al-Khaṭṭāb ra. beliau berkata di mimbar: “Sesungguhnya khamr diharamkan karena ia adalah induk dari segala keburukan.”)

Meredam Polarisasi Bangsa Melalui Esensi Bab “Mendamaikan Manusia”

Imām Mālik menafsirkan ucapan Umar ini bukan hanya sebagai peringatan hukum, tetapi sebagai refleksi sosial. Ia menulis dalam komentarnya bahwa khamr “membuka pintu dosa lain”, karena ketika akal lenyap, batas antara benar dan salah pun kabur. Maka, melindungi akal adalah langkah awal menjaga kehormatan diri dan tatanan masyarakat.

Fenomena Kehidupan: Ketika Akal Hilang dari Kesadaran

Dalam kehidupan sehari-hari, kita sering menyaksikan dampak destruktif dari minuman memabukkan: kekerasan dalam rumah tangga, kecelakaan, hingga kehancuran moral. Fenomena ini membenarkan pandangan Mālik bahwa mabuk bukan hanya kehilangan kendali, melainkan hilangnya arah hidup.

Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “كُلُّ مُسْكِرٍ حَرَامٌ، وَمَنْ شَرِبَ الْخَمْرَ فِي الدُّنْيَا فَمَاتَ وَهُوَ يُدْمِنُهَا، لَمْ يَشْرَبْهَا فِي الْآخِرَةِ.”
(Dari Abu Hurairah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Setiap yang memabukkan adalah haram. Siapa yang minum khamr di dunia lalu mati dalam keadaan terus meminumnya, ia tidak akan meminumnya di akhirat.”)

Makna hadits ini, menurut Imām Mālik, adalah bentuk peringatan kasih sayang: Allah melarang khamr bukan untuk menyulitkan manusia, tetapi agar mereka tidak kehilangan kemuliaan yang telah diberikan kepadanya. Larangan ini adalah bentuk penjagaan Ilahi terhadap akal, agar manusia tetap menjadi khalifah yang bertanggung jawab di bumi.

Mengapa Allah Menolak Taubat Iblis?

Kehormatan Akal dan Nilai Tanggung Jawab

Imām Mālik memandang akal bukan sekadar alat berpikir, tetapi sumber tanggung jawab moral. Dalam salah satu riwayat Al-Muwaṭṭa’, beliau mengutip:

قَالَ مَالِكٌ: “مَنْ شَرِبَ الْمُسْكِرَ فَقَدْ ذَهَبَ عَقْلُهُ، وَإِذَا ذَهَبَ الْعَقْلُ لَا يُقِيمُ لَهُ الدِّينَ وَلَا الدُّنْيَا.”
(Mālik berkata: “Barang siapa meminum sesuatu yang memabukkan, maka akalnya hilang; dan jika akalnya hilang, ia tidak dapat menegakkan agama maupun dunia.”)

Kutipan ini memperlihatkan filosofi Mālik yang dalam: akal bukan hanya milik pribadi, melainkan amanah publik. Seseorang yang merusak akalnya berarti turut merusak harmoni sosial. Karena itu, bagi Mālik, hukuman bagi peminum khamr bukan sekadar sanksi, melainkan pendidikan — agar manusia belajar menghargai karunia pikirannya.

Dalam masyarakat Mālikī, khamr dipandang sebagai penghalang spiritual: ia memutus hubungan antara manusia dan Tuhan, mengaburkan dzikir, serta menghapus rasa malu — fondasi moralitas Islam.

Kasih Sayang dalam Ketegasan Hukum

Meski keras terhadap larangan khamr, Imām Mālik tetap menempatkan keadilan dan kasih sayang di atas segalanya. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan sebuah kisah menarik:

Budaya Hustle Culture vs Berkah: Meninjau Ulang Definisi Sukses

عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيِّبِ أَنَّهُ قَالَ: “لَا يُجْلَدُ شَارِبُ الْخَمْرِ حَتَّى يُثْبَتَ عَلَيْهِ وَيُسْتَتَابَ.”
(Dari Sa‘īd ibn al-Musayyib berkata: “Seorang peminum khamr tidak dijatuhi hukuman sampai benar-benar terbukti dan ia diajak bertaubat.”)

Imām Mālik menekankan bahwa hukum hudud terhadap peminum khamr harus ditegakkan dengan bukti yang jelas dan dengan niat memperbaiki, bukan mempermalukan. Ini menegaskan bahwa dalam mazhab Mālikī, keadilan selalu diiringi belas kasih — sebuah prinsip yang menunjukkan kematangan spiritual.

Refleksi Modern: Menjaga Akal di Era Hedonisme

Dalam konteks modern, larangan khamr dan zat memabukkan dapat dibaca sebagai pesan universal tentang pengendalian diri. Dunia hari ini penuh dengan bentuk “khamr” baru — bukan hanya alkohol, tetapi juga candu digital, kemarahan, dan keserakahan yang membius akal.

Pandangan Imām Mālik memberi arah bagi umat Islam untuk menjaga kesadaran dalam berpikir dan bertindak. Akal adalah jendela wahyu; ketika ia tertutup, cahaya kebenaran pun padam.

Firman Allah menegaskan:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالْأَنْصَابُ وَالْأَزْلَامُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya khamr, judi, berhala, dan undian panah adalah perbuatan keji dari pekerjaan setan, maka jauhilah agar kamu beruntung.” (QS. Al-Mā’idah [5]: 90)

Ayat ini, dalam tafsir Mālikī, bukan sekadar larangan, melainkan ajakan menuju kejernihan jiwa dan kebebasan sejati dari kendali hawa nafsu.

Menutup Renungan: Akal sebagai Amanah Ilahi

Imām Mālik memandang akal sebagai cermin ruhani yang harus dijaga dengan kesadaran penuh. Dalam setiap larangan Allah, tersimpan kasih yang mengajarkan manusia bagaimana menghormati dirinya sendiri.

Minuman memabukkan, dalam pandangan Mālik, bukan hanya dosa pribadi, tetapi bentuk pengkhianatan terhadap kehormatan akal — anugerah yang menjadikan manusia layak menerima wahyu.

Dengan menjaga akal, manusia sejatinya sedang menjaga cahaya Tuhan di dalam dirinya. Karena itu, larangan terhadap khamr bukan sekadar hukum, tetapi jalan menuju kesempurnaan moral dan kemanusiaan.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement