Surau.co. Setiap orang bisa bersyukur ketika hidupnya lapang, rezekinya lancar, dan hatinya tenang. Namun, hanya sedikit yang mampu tetap bersyukur ketika keadaan terasa berat, ketika doa belum dijawab, dan ketika air mata menjadi teman setiap malam. Di titik inilah sesungguhnya ukuran keimanan diuji: mampu bersyukur di saat sulit.
Kalimat “bersyukur di saat sulit” sering terdengar sederhana, tetapi praktiknya membutuhkan kekuatan batin yang luar biasa. Bersyukur bukan hanya mengucap alhamdulillah di bibir, melainkan menerima dengan tulus bahwa setiap cobaan membawa makna. Dalam kesempitan, iman diuji apakah ia benar-benar percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkan hamba-Nya.
Al-Qur’an mengingatkan:
وَلَئِن شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِن كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu; tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS. Ibrahim [14]: 7)
Ayat ini tidak membedakan antara syukur dalam kelapangan dan kesulitan. Ia berlaku universal. Maka, siapa yang tetap bersyukur bahkan di tengah penderitaan, ia sedang naik ke level tertinggi keimanan — karena ia memandang cobaan dengan mata keyakinan, bukan keluhan.
Menemukan Hikmah di Tengah Ujian
Hidup tidak selalu berjalan lurus. Ada masa di mana segala usaha tampak sia-sia, doa terasa menggantung, dan hati mulai bertanya: mengapa harus aku? Namun, justru pada saat itulah ruang untuk bersyukur terbuka lebar. Syukur bukan karena keadaan membaik, tapi karena masih diberi kekuatan untuk bertahan.
Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
الصَّبْرُ عِنْدَ الشَّدَائِدِ وَالشُّكْرُ عِنْدَ النَّوَائِبِ مِنْ أَشْرَفِ خِصَالِ الْمُؤْمِنِينَ
“Sabar di saat kesulitan dan bersyukur di tengah musibah adalah kemuliaan tertinggi bagi orang beriman.”
Ungkapan ini menegaskan bahwa syukur tidak berhenti pada nikmat, tapi juga merangkul musibah. Orang beriman melihat ujian bukan sebagai hukuman, melainkan kesempatan untuk mendekat kepada Tuhan.
Setiap kesulitan menyimpan hikmah tersembunyi. Kadang Allah menunda kebahagiaan untuk mengajari kita makna kesabaran. Kadang Allah menutup satu jalan agar kita menemukan jalan yang lebih benar. Syukur di saat sulit berarti mempercayai proses itu sepenuhnya, meski mata belum melihat hasilnya.
Ketika Doa Belum Terjawab: Ujian Syukur yang Tersulit
Salah satu bentuk kesulitan yang paling berat adalah menunggu jawaban dari doa yang tak kunjung terkabul. Dalam penantian itu, hati bisa mudah rapuh. Tapi di sanalah kesempatan untuk memperlihatkan kedewasaan iman.
Rasulullah ﷺ bersabda:
عَجَبًا لِأَمْرِ الْمُؤْمِنِ، إِنَّ أَمْرَهُ كُلَّهُ لَهُ خَيْرٌ، وَلَيْسَ ذَاكَ لأَحَدٍ إِلَّا لِلْمُؤْمِنِ، إِنْ أَصَابَتْهُ سَرَّاءُ شَكَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ، وَإِنْ أَصَابَتْهُ ضَرَّاءُ صَبَرَ، فَكَانَ خَيْرًا لَهُ
“Sungguh menakjubkan urusan orang beriman, karena semua urusannya adalah kebaikan. Bila ia mendapat nikmat, ia bersyukur dan itu baik baginya. Bila ia mendapat musibah, ia bersabar dan itu juga baik baginya.” (HR. Muslim)
Hadis ini menggambarkan keseimbangan antara sabar dan syukur. Namun, pada tingkat tertinggi, seseorang bisa mencapai titik di mana kesabarannya berubah menjadi syukur. Ia tidak hanya menahan diri, tetapi juga berterima kasih atas ujian itu. Karena di balik rasa sakit, ia merasakan kedekatan dengan Allah yang tidak bisa digantikan oleh kenikmatan dunia.
Syukur di saat sulit berarti percaya bahwa Allah tahu apa yang terbaik, bahkan ketika jalan yang ditempuh terasa gelap. Doa yang belum dijawab bukan tanda penolakan, melainkan bentuk penjagaan. Kadang Allah menunda sesuatu karena Ia ingin kita lebih siap menerimanya.
Bersyukur Tidak Berarti Menolak Kesedihan
Ada anggapan keliru bahwa orang yang bersyukur tidak boleh bersedih. Padahal, kesedihan adalah bagian dari kemanusiaan. Bersyukur bukan berarti menolak air mata, tapi mengizinkan diri menangis sambil tetap percaya bahwa Allah punya rencana indah di baliknya.
Ketika Nabi Ya‘qub kehilangan putranya, Yusuf, beliau menangis bertahun-tahun hingga matanya memutih. Namun, Al-Qur’an mencatat bahwa hatinya tetap penuh harapan:
إِنَّمَا أَشْكُو بَثِّي وَحُزْنِي إِلَى اللَّهِ وَأَعْلَمُ مِنَ اللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ
“Sesungguhnya aku hanya mengadukan kesusahan dan kesedihanku kepada Allah, dan aku mengetahui dari Allah apa yang tidak kamu ketahui.” (QS. Yusuf [12]: 86)
Ayat ini menunjukkan bahwa kesedihan tidak menghapus keimanan. Justru dalam tangisan itulah tersimpan bentuk syukur paling jujur — karena kita masih mengingat Allah saat hati remuk.
Bersyukur di saat sulit tidak menuntut kita untuk pura-pura bahagia. Ia hanya mengajak kita untuk tetap berprasangka baik pada Tuhan, meskipun hidup sedang tidak baik-baik saja.
Keikhlasan: Jalan Menuju Syukur Hakiki
Seseorang tidak akan mampu bersyukur di saat sulit tanpa keikhlasan. Ikhlas adalah kemampuan untuk menerima kenyataan tanpa mengeluh berlebihan, tanpa membandingkan nasib dengan orang lain. Ia adalah kesadaran bahwa segala sesuatu datang dari Allah dan akan kembali kepada-Nya.
Imam al-Māwardī menjelaskan:
مَنْ عَرَفَ نِعَمَ اللَّهِ عَلَيْهِ رَضِيَ بِمَا قُسِمَ لَهُ
“Barang siapa mengenal nikmat Allah atas dirinya, ia akan ridha terhadap apa yang telah ditentukan baginya.”
Orang yang ikhlas tidak sibuk menyesali apa yang hilang. Ia fokus menjaga apa yang tersisa. Ia tahu bahwa kehilangan juga bisa menjadi bentuk kasih sayang Allah — karena mungkin, sesuatu yang kita inginkan justru akan menjauhkan kita dari kebaikan.
Keikhlasan melahirkan ketenangan, dan dari ketenangan itulah tumbuh rasa syukur yang sejati. Orang yang bersyukur bukan karena keadaan, tapi karena keyakinan bahwa semua yang terjadi mengandung kasih Tuhan, akan menemukan kebahagiaan bahkan di tengah luka.
Belajar Bersyukur dari Kesunyian dan Keterbatasan
Tidak semua syukur bersuara. Ada syukur yang diam, yang hanya terasa dalam dada. Seperti seseorang yang kehilangan pekerjaan namun tetap menunduk dalam doa. Seperti ibu yang menahan air mata di depan anak-anaknya sambil berbisik, “Alhamdulillah, kita masih punya hari ini.”
Kesunyian kadang menjadi guru terbaik untuk belajar syukur. Ketika dunia menolak, hanya Allah yang mendengar. Ketika semua pintu tertutup, hanya Dia yang membuka jalan dari arah yang tak disangka.
Syukur tidak selalu tentang hasil besar, tetapi tentang kesadaran kecil yang tumbuh dari hari ke hari. Syukur karena masih bisa bernafas, karena masih ada keluarga, karena masih diberi kesempatan memperbaiki diri. Dalam kesederhanaan itulah, iman menemukan bentuk tertingginya.
Penutup: Ketika Syukur Menjadi Cahaya di Tengah Gelap
Bersyukur di saat sulit bukan perkara mudah. Ia membutuhkan hati yang matang, sabar yang luas, dan iman yang teguh. Namun, begitu seseorang mampu melakukannya, hidupnya akan berubah. Ia tidak lagi hidup dari apa yang ia punya, tapi dari makna yang ia rasakan.
Dalam diamnya orang yang bersyukur, ada doa yang tidak pernah putus. Dalam kesedihannya, ada cahaya yang terus tumbuh. Dan dalam keterbatasannya, ada kebesaran jiwa yang sulit dijelaskan.
Karena pada akhirnya, bersyukur di saat sulit bukan sekadar ucapan — ia adalah perjalanan jiwa menuju kedewasaan iman. Saat semua terasa berat, dan hati tetap berkata “Alhamdulillah,” di situlah seseorang telah mencapai level tertinggi dalam beriman.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
