Khazanah
Beranda » Berita » Beragama Tanpa Drama: Menemukan Kedamaian dalam Kesederhanaan Iman

Beragama Tanpa Drama: Menemukan Kedamaian dalam Kesederhanaan Iman

Seorang Muslim bermeditasi dalam keheningan, melambangkan beragama tanpa drama.
Seorang laki-laki duduk tenang di bawah pohon rindang di tepi sungai, dengan langit sore memantulkan cahaya lembut. Nuansa damai dan kontemplatif.

Surau.co. Beragama semestinya menghadirkan ketenangan, bukan kebisingan. Namun, di zaman yang serba tampil, agama sering berubah menjadi panggung drama. Kita melihat banyak orang lebih sibuk memperdebatkan citra kesalehan daripada menumbuhkan makna iman. Padahal, inti dari beragama bukanlah sorotan, melainkan ketulusan hati.

Beragama tanpa drama berarti kembali kepada substansi: menghidupkan nilai kasih, kejujuran, dan keseimbangan. Al-Qur’an menegaskan,

قَدْ أَفْلَحَ مَنْ زَكَّاهَا ۝ وَقَدْ خَابَ مَنْ دَسَّاهَا
“Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya.” (QS. Asy-Syams [91]: 9–10)

Ayat ini mengajarkan bahwa keberagamaan sejati lahir dari upaya menyucikan jiwa, bukan dari citra sosial. Iman tumbuh dalam kesunyian hati, bukan dalam hiruk-pikuk pembuktian diri.

Kesalehan yang Tampil dan Kesalehan yang Tumbuh

Fenomena beragama kini sering terbelah antara dua kutub: yang satu sibuk menampilkan kesalehan, yang lain berusaha menumbuhkannya secara diam-diam. Kesalehan yang tampil mudah diukur oleh pandangan manusia, tetapi kesalehan yang tumbuh hanya Allah yang tahu.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Imam al-Māwardī dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

فَإِذَا أَرَادَ اللَّهُ بِعَبْدٍ خَيْرًا جَعَلَ نِيَّتَهُ فِي الْخَيْرِ، وَصَدَّقَ عَمَلَهُ بِالنِّيَّةِ.
“Apabila Allah menghendaki kebaikan bagi seorang hamba, maka Dia menjadikan niatnya baik, dan perbuatannya sesuai dengan niat itu.”

Pesan Imam al-Māwardī menegaskan pentingnya keseimbangan antara niat dan amal. Agama tidak menolak tampilan kesalehan, tetapi menolak kepura-puraan. Sebab, drama dalam beragama lahir dari keinginan untuk terlihat lebih baik dari yang lain, bukan untuk menjadi lebih baik di hadapan Tuhan.

Ketulusan dalam Ibadah: Ruh dari Keberagamaan

Ketulusan (ikhlas) adalah napas utama dalam beragama tanpa drama. Ia membebaskan manusia dari jebakan penilaian sosial. Nabi Muhammad ﷺ bersabda:

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى.
“Sesungguhnya amal itu tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Ikhlas menjadikan ibadah sebagai perjumpaan spiritual, bukan pertunjukan sosial. Orang yang tulus tidak sibuk memastikan orang lain tahu amalnya, tetapi memastikan Allah ridha atas amalnya. Dalam ketulusan, tidak ada kompetisi, yang ada hanyalah perjalanan menuju kebaikan.

Sayangnya, di era digital, bahkan ibadah pun bisa jadi konten. Kebaikan direkam, lalu disebar. Padahal, kebaikan sejati adalah yang dilakukan tanpa pamrih, bahkan tanpa perlu diketahui siapa pun. Iman sejati tidak haus tepuk tangan.

Agama sebagai Jalan, Bukan Pertunjukan

Agama bukanlah tujuan akhir, tetapi jalan menuju Tuhan dan kemanusiaan. Namun, ketika agama dijadikan alat pembenaran diri, ia kehilangan fungsinya sebagai penuntun. Dalam banyak kasus, “drama” dalam beragama muncul karena kita menjadikan simbol lebih penting daripada nilai, bentuk lebih utama daripada makna.

Rasulullah ﷺ pernah mengingatkan,

يَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ لَا يَبْقَى مِنَ الإِسْلَامِ إِلَّا اسْمُهُ، وَلَا يَبْقَى مِنَ الْقُرْآنِ إِلَّا رَسْمُهُ.
“Akan datang suatu masa kepada manusia, tidak tersisa dari Islam kecuali namanya, dan tidak tersisa dari Al-Qur’an kecuali tulisannya.” (HR. Al-Baihaqi)

Bahaya Sinkretisme dan Pluralisme Agama

Hadis ini bukan sekadar nubuat, tapi cermin yang mengingatkan agar kita tidak menjadikan agama sebagai formalitas kosong. Beragama tanpa drama berarti menapaki jalan agama dengan keheningan hati dan kesadaran moral yang dalam.

Keseimbangan antara Lahir dan Batin

Agama mengajarkan keseimbangan antara lahir dan batin, antara syariat dan hakikat. Kesalehan lahiriah penting sebagai manifestasi iman, tetapi tanpa kesalehan batiniah, ia menjadi kering. Imam al-Māwardī kembali menasihati:

الدِّينُ أَسَاسٌ، وَالدُّنْيَا بِنَاءٌ، فَمَا لَمْ يُؤَسَّسْ عَلَى الْأَسَاسِ فَهُوَ خَرَابٌ.
“Agama adalah fondasi, dan dunia adalah bangunan. Apa pun yang tidak didirikan di atas fondasi, akan runtuh.”

Beragama tanpa drama adalah membangun keseimbangan antara fondasi iman dan bangunan amal. Kita tidak menolak dunia, tapi menempatkannya di bawah kendali iman. Dengan begitu, agama tidak kehilangan arah, dan dunia tidak menelan ruh spiritual kita.

Menjadi Muslim yang Tenang di Tengah Kegaduhan

Beragama tanpa drama bukan berarti pasif. Justru sebaliknya: ia menuntut kedewasaan spiritual. Orang yang matang imannya tidak mudah bereaksi terhadap perbedaan. Ia memahami bahwa setiap manusia sedang dalam perjalanan menuju kebenaran yang sama, meski jalannya berbeda.

Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:

لَكُمْ دِينُكُمْ وَلِيَ دِينِ
“Bagimu agamamu, dan bagiku agamaku.” (QS. Al-Kafirun [109]: 6)

Ayat ini bukan ajakan untuk eksklusif, melainkan seruan untuk toleran dan rendah hati. Ketika kita tidak memaksakan kebenaran versi diri sendiri, kita sedang memuliakan agama dengan cara yang paling damai.

Beragama tanpa drama berarti memberi ruang bagi orang lain untuk tumbuh, tanpa perlu menghakimi. Ini bukan tanda kelemahan, melainkan puncak kematangan spiritual.

Menyemai Kedamaian, Bukan Kehebohan

Agama sejatinya hadir untuk menumbuhkan kedamaian. Nabi ﷺ disebut sebagai rahmatan lil ‘ālamīn — rahmat bagi seluruh alam. Maka, setiap ekspresi keberagamaan semestinya menghadirkan rahmat, bukan kebencian.

Ketika keberagamaan dipenuhi drama, maka cinta berubah menjadi klaim, dan nasihat berubah menjadi vonis. Padahal, seperti pesan Al-Qur’an:

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ
“Serulah (manusia) ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik.” (QS. An-Nahl [16]: 125)

Ayat ini menegaskan bahwa beragama adalah soal hikmah, bukan drama. Hikmah menenangkan, drama menggelisahkan. Beragama dengan hikmah berarti memahami waktu, konteks, dan perasaan sesama. Ia tidak menonjolkan diri, tetapi menumbuhkan makna.

Penutup: Beragama dengan Hati yang Lapang

Beragama tanpa drama adalah beragama dengan hati yang lapang. Ia tidak mudah tersinggung, tidak terburu-buru menilai, dan tidak haus pengakuan. Ia berjalan pelan tapi pasti menuju Tuhan. Dalam keheningan, ia menemukan makna terdalam iman: kedamaian batin.

Kesalehan tanpa drama adalah taman yang tumbuh diam-diam. Ia tak butuh tepuk tangan, karena ridha Allah lebih indah dari segala sorotan dunia. Jadilah seperti bumi yang diinjak, tetapi tetap menumbuhkan kehidupan; seperti langit yang diam, tetapi menaungi seluruh semesta.

 

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement