Khazanah
Beranda » Berita » Hudud dalam Fiqh Imām Mālik: Antara Keadilan dan Kasih Sayang

Hudud dalam Fiqh Imām Mālik: Antara Keadilan dan Kasih Sayang

Hakim Islam dalam pengadilan klasik menegakkan keadilan dengan penuh kasih sayang.
Ilustrasi menampilkan suasana pengadilan Islam era klasik yang menggambarkan keseimbangan antara hukum dan kemanusiaan.

Surau.co. Pembahasan tentang hudud — hukuman yang ditetapkan oleh syariat — sering kali menjadi titik sensitif dalam wacana hukum Islam. Sebagian orang memandangnya keras, sementara sebagian lain menganggapnya bentuk keadilan sejati. Namun, dalam pandangan Imām Mālik ibn Anas, sebagaimana terekam dalam Al-Muwaṭṭa’, hudud bukanlah ekspresi kekejaman, melainkan bentuk rahmah (kasih sayang) yang menjaga keseimbangan masyarakat.

Sebagai pendiri mazhab Mālikī, Imām Mālik menekankan bahwa hukum tidak boleh dipisahkan dari nurani. Baginya, hudud adalah pagar keadilan yang bertujuan melindungi kehormatan, bukan sekadar menghukum. Perspektif ini penting di tengah masyarakat modern yang sering menilai hukum ilahi tanpa memahami konteks spiritualnya.

Keadilan yang Menjaga Martabat Manusia

Dalam Al-Muwaṭṭa’, Imām Mālik meriwayatkan banyak hadits yang menyingkap esensi hudud. Ia menempatkannya bukan pada aspek kekerasan fisik, melainkan pada prinsip moral: mencegah dosa dan menjaga kehormatan manusia.

Salah satu riwayat penting yang ia kutip berbunyi:

عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “أَقِيلُوا ذَوِي الْهَيْئَاتِ عَثَرَاتِهِمْ إِلَّا فِي حُدُودِ اللَّهِ.”
(Dari ‘Āisyah, Rasulullah ﷺ bersabda: “Maafkanlah orang-orang yang memiliki kehormatan atas kesalahannya, kecuali dalam hal hudud Allah.”)

Burnout dan Kelelahan Jiwa: Saatnya Pulang dan Beristirahat di Bab Ibadah

Imām Mālik menafsirkan bahwa hukum hudud bukanlah ruang untuk balas dendam, tetapi garis batas yang menjaga masyarakat dari kekacauan moral. Hukum ini ditegakkan bukan karena Allah ingin menghukum, tetapi agar manusia belajar menjaga diri.

Dalam pandangan Mālikī, sebelum hudud ditegakkan, segala upaya pemaafan, edukasi, dan taubat harus diutamakan. Inilah titik yang menunjukkan keseimbangan antara ‘adl (keadilan) dan raḥmah (kasih sayang).

Kasih Sayang dalam Ketegasan Hukum

Fenomena modern menunjukkan kecenderungan manusia menganggap hukum tegas sebagai kejam. Namun, Imām Mālik membalik pandangan itu. Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau menegaskan bahwa kasih sayang sejati adalah menegakkan kebenaran agar masyarakat tidak terjerumus dalam kehancuran moral.

Beliau meriwayatkan:

قَالَ مَالِكٌ: “إِنَّمَا أُقِيمَتِ الْحُدُودُ رَحْمَةً لِعِبَادِ اللَّهِ، وَلَيْسَ لِلتَّشَفِّي وَلَا لِلتَّشْفِيَةِ.”
(Mālik berkata: “Hudud ditegakkan sebagai rahmat bagi hamba-hamba Allah, bukan untuk pelampiasan atau kepuasan dendam.”)

Seni Mengkritik Tanpa Melukai: Memahami Adab Memberi Nasihat yang Elegan

Kalimat ini menunjukkan betapa dalam pemikiran Mālik, hukum bukanlah alat kekuasaan, melainkan sarana pendidikan moral. Ia memandang masyarakat sebagai taman iman — bila satu bagian rusak, seluruh taman terancam layu. Maka hudud hadir untuk menumbuhkan kembali rasa takut kepada Allah dan tanggung jawab sosial.

Menimbang Taubat Sebelum Hukuman

Imām Mālik juga memberikan penekanan besar pada aspek taubat dalam kasus hudud. Ia menyebut bahwa orang yang bertaubat sebelum kasusnya dibawa ke hakim, maka dosanya diampuni di sisi Allah.

Dalam Al-Muwaṭṭa’, beliau meriwayatkan:

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: “تَعَافُوا الْحُدُودَ فِيمَا بَيْنَكُمْ، فَمَا بَلَغَنِي مِنْ حَدٍّ فَقَدْ وَجَبَ.”
(Dari Abdullah bin Umar, Rasulullah ﷺ bersabda: “Maafkanlah perkara hudud di antara kalian. Namun bila telah sampai kepadaku, maka wajib aku menegakkannya.”)

Imām Mālik memahami hadits ini secara mendalam: keadilan Allah senantiasa memberi ruang bagi manusia untuk berubah. Hudud hanya ditegakkan ketika pelanggaran sudah menjadi terang dan publik, bukan ketika dosa masih tersembunyi.

Krisis Keteladanan: Mengapa Kita Rindu Sosok dalam Riyadus Shalihin?

Dalam masyarakat modern, pandangan ini bisa menjadi refleksi hukum restoratif — hukum yang memberi kesempatan bagi penyembuhan moral, bukan hanya hukuman.

Hudud Sebagai Penjaga Keteraturan Sosial

Bagi Imām Mālik, hudud bukan semata-mata perkara individu, melainkan pelindung tatanan masyarakat. Ia menegaskan pentingnya menegakkan hukum secara adil agar tidak ada celah bagi ketimpangan sosial.

Dalam Al-Muwaṭṭa’, terdapat riwayat yang menggambarkan keteguhan Rasulullah ﷺ dalam menegakkan hukum tanpa pandang bulu:

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: “إِنَّمَا أَهْلَكَ الَّذِينَ قَبْلَكُمْ أَنَّهُمْ كَانُوا إِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الشَّرِيفُ تَرَكُوهُ، وَإِذَا سَرَقَ فِيهِمُ الضَّعِيفُ أَقَامُوا عَلَيْهِ الْحَدَّ.”
(Dari ‘Āisyah ra., ia berkata: Rasulullah ﷺ bersabda: “Sesungguhnya yang membinasakan umat sebelum kalian adalah ketika orang terpandang mencuri, mereka biarkan; namun bila orang lemah mencuri, mereka menegakkan hukuman atasnya.”)

Imām Mālik menempatkan hadits ini sebagai peringatan keras terhadap kezaliman hukum. Hudud tidak akan menjadi rahmat bila ditegakkan secara diskriminatif. Ia harus berlaku adil — bagi penguasa maupun rakyat biasa.

Keseimbangan antara Hukum dan Kemanusiaan

Dalam semangat Mālikī, hudud bukanlah ujung dari hukum Islam, melainkan bagian dari sistem moral yang lebih besar. Ia terikat pada prinsip maqāṣid al-sharī‘ah — menjaga agama, jiwa, akal, kehormatan, dan harta.

Jika penerapan hudud mengancam salah satu dari lima tujuan ini, maka Imām Mālik membuka ruang ijtihad: hukum harus ditegakkan dengan pertimbangan maslahat. Dengan begitu, kasih sayang tetap menjadi dasar dari keadilan.

Pandangan ini menjadikan fikih Mālikī sangat relevan untuk konteks kekinian, di mana umat Islam perlu menghidupkan nilai-nilai hukum Islam dengan penuh kebijaksanaan, bukan sekadar formalitas.

Refleksi: Hudud Sebagai Cermin Cinta Ilahi

Dalam pemikiran Imām Mālik, hudud adalah cermin kasih sayang Allah yang tegas. Ia menjaga manusia dari kehancuran moral dan menuntun mereka kembali kepada kesucian fitrah.

Sebagaimana firman Allah:

إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ
“Sesungguhnya Allah memerintahkan (kalian) berlaku adil dan berbuat ihsan (kebaikan).” (QS. An-Naḥl [16]: 90)

Imām Mālik mengajarkan bahwa setiap hukum, bahkan yang paling keras, lahir dari rahmat. Hudud adalah pagar, bukan cambuk; pelindung, bukan ancaman.

Ketika hukum ditegakkan dengan hati yang bersih, maka ia menjadi cahaya peradaban — sebagaimana yang dikehendaki oleh Imām Mālik dalam Al-Muwaṭṭa’: menegakkan keadilan yang berwajah kasih sayang.


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement