Surau.co. Ilmu seharusnya menjadi cahaya yang menuntun manusia menuju kebijaksanaan, bukan senjata untuk menjatuhkan orang lain. Dalam era ketika opini bersaing di ruang publik dan suara mudah menggaung melalui media sosial, ilmu kerap terjebak menjadi alat pembuktian ego. Banyak yang belajar bukan lagi untuk memahami kebenaran, tetapi untuk memenangkan argumen. Padahal, hakikat ilmu yang sejati bukan terletak pada lidah yang fasih, melainkan pada hati yang tunduk.
Makna Ilmu dalam Pandangan Islam
Dalam Islam, ilmu tidak sekadar kumpulan informasi atau kemampuan logika. Ia adalah amanah, cahaya yang seharusnya menuntun pemiliknya mendekat kepada Sang Pencipta. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur’an:
يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ
“Allah meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.”
(QS. Al-Mujādilah: 11)
Ayat ini menegaskan bahwa ilmu adalah karunia yang membawa kemuliaan, namun hanya bila diiringi dengan keimanan. Ilmu tanpa iman hanyalah angka, bukan arah. Ketika ilmu digunakan untuk berdebat tanpa adab, cahaya itu justru meredup dan kehilangan maknanya.
Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn mengingatkan:
العِلْمُ دِينٌ يُعْتَمَدُ عَلَيْهِ، فَمَنْ تَعَلَّمَهُ لِلدُّنْيَا فَقَدْ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْآخِرَةَ
“Ilmu adalah bagian dari agama yang dijadikan sandaran. Maka siapa yang mempelajarinya untuk tujuan dunia, ia telah merugi di dunia dan akhirat.”
(Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn, hal. 53)
Ungkapan ini menegaskan bahwa niat dalam menuntut ilmu menjadi penentu nilai ibadahnya. Ilmu yang dipelajari untuk gengsi, status, atau debat, sejatinya telah kehilangan ruh spiritualnya.
Ketika Ilmu Menjadi Alat Pamer dan Perdebatan
Dalam kehidupan modern, banyak orang mempelajari sesuatu bukan untuk memperbaiki diri, melainkan untuk memperlihatkan diri. Di ruang digital, seseorang mudah menunjukkan “kecerdasannya” dengan mengoreksi orang lain, membantah tanpa empati, dan merasa paling benar. Padahal, di balik setiap kemenangan debat, bisa jadi terselip kekalahan hati.
Rasulullah ﷺ bersabda:
مَا ضَلَّ قَوْمٌ بَعْدَ هُدًى كَانُوا عَلَيْهِ إِلَّا أُوتُوا الْجَدَلَ
“Tidaklah suatu kaum tersesat setelah sebelumnya mendapat petunjuk, kecuali mereka diberikan sifat suka berdebat.”
(HR. Tirmidzi)
Hadis ini menjadi peringatan bahwa kebiasaan berdebat tanpa niat mencari kebenaran adalah tanda kehancuran batin. Ilmu yang seharusnya menjadi penuntun justru berubah menjadi hijab yang menutupi kebenaran. Ketika lidah lebih cepat dari hati, ilmu kehilangan arah.
Belajar untuk Memahami, Bukan Mengalahkan
Menuntut ilmu sejatinya adalah proses mendidik hati sebelum melatih akal. Ilmu tanpa adab hanya akan melahirkan kesombongan. Imam Malik pernah berkata, “Pelajarilah adab sebelum ilmu.” Sebab, tanpa adab, ilmu akan melahirkan debat, bukan hikmah.
Belajar untuk memahami berarti membuka diri terhadap kebenaran, bahkan ketika ia datang dari orang lain. Sementara belajar untuk mengalahkan hanya melahirkan dinding ego. Orang yang belajar untuk memahami, tenang dalam menerima perbedaan. Sedangkan yang belajar untuk berdebat, resah bila tidak dianggap benar.
Dalam proses menuntut ilmu, keikhlasan menjadi fondasi. Rasulullah ﷺ bersabda:
مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا مِمَّا يُبْتَغَى بِهِ وَجْهُ اللَّهِ، لَا يَتَعَلَّمُهُ إِلَّا لِيُصِيبَ بِهِ عَرَضًا مِّنَ الدُّنْيَا، لَمْ يَجِدْ عَرْفَ الْجَنَّةِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Barang siapa mempelajari ilmu yang seharusnya dipelajari demi mencari ridha Allah, tetapi ia mempelajarinya hanya untuk mendapatkan keuntungan duniawi, maka ia tidak akan mencium aroma surga pada hari kiamat.”
(HR. Abu Dawud)
Hadis ini menegaskan pentingnya niat. Belajar bukan sekadar untuk tahu, tetapi untuk tumbuh. Bukan untuk menonjolkan diri, melainkan untuk memperbaiki diri.
Ilmu yang Bermanfaat dan Ilmu yang Menyesatkan
Tidak semua ilmu membawa keberkahan. Ada ilmu yang menjadikan manusia rendah hati dan tunduk pada kebesaran Allah, tetapi ada pula ilmu yang membuat manusia angkuh dan merasa cukup tanpa Tuhan. Rasulullah ﷺ berdoa:
اللَّهُمَّ إِنِّي أَعُوذُ بِكَ مِنْ عِلْمٍ لَا يَنْفَعُ
“Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari ilmu yang tidak bermanfaat.”
(HR. Muslim)
Ilmu yang tidak bermanfaat adalah ilmu yang tidak membuahkan akhlak. Ia tidak mengajarkan kasih sayang, tidak melahirkan keikhlasan, dan tidak membawa kepada amal. Ilmu seperti ini justru menjadi beban bagi pemiliknya. Imam Al-Ghazali menyebutnya sebagai “ilmu lidah” — ilmu yang hanya berhenti pada retorika, bukan tindakan.
Sebaliknya, ilmu yang bermanfaat selalu menumbuhkan kerendahan hati. Semakin seseorang tahu, semakin ia sadar bahwa yang tidak ia ketahui jauh lebih banyak. Dari kesadaran inilah lahir rasa tawadhu’. Maka, ilmu sejati selalu melahirkan keheningan batin, bukan keramaian debat.
Adab dalam Berilmu dan Berdialog
Ilmu sejati menuntut adab. Dalam berilmu, adab lebih tinggi nilainya daripada sekadar kemampuan berbicara. Dalam berdialog, adab mengajarkan kita untuk mendengar sebelum menjawab, memahami sebelum menilai.
Ketika seseorang berdebat untuk membuktikan dirinya benar, ia telah menutup pintu hikmah. Namun, ketika ia berdialog untuk mencari kebenaran, ia membuka jalan ilmu. Imam Asy-Syafi‘i dikenal bukan karena lidahnya yang tajam, melainkan hatinya yang lembut. Ia berkata, “Pendapatku benar tapi mungkin salah, dan pendapat orang lain salah tapi mungkin benar.” Dari sanalah lahir keindahan ilmu yang sejati — ilmu yang merangkul, bukan menyingkirkan.
Budaya “berilmu untuk mengalahkan” telah menumbuhkan kesombongan intelektual. Padahal, orang berilmu sejati justru merasa takut. Allah berfirman:
إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ
“Sesungguhnya yang paling takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah para ulama.”
(QS. Fāṭir: 28)
Artinya, ilmu sejati melahirkan rasa takut dan hormat kepada Allah, bukan kesombongan untuk menunjukkan siapa paling benar.
Menata Niat: Belajar untuk Menjadi Lebih Manusiawi
Setiap perjalanan ilmu dimulai dengan niat. Apakah kita belajar untuk menambah pemahaman, atau sekadar memperbanyak pengakuan? Apakah kita ingin menjadi lebih berilmu, atau lebih beradab?
Menuntut ilmu yang benar menumbuhkan empati. Seseorang yang berilmu dengan hati akan mudah memahami kekurangan orang lain, bukan menertawakannya. Ia belajar untuk memberi manfaat, bukan untuk menguasai pembicaraan.
Imam Al-Mawardi menerangkan dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn:
العَالِمُ مَنْ يَنْتَفِعُ النَّاسُ بِعِلْمِهِ، لَا مَنْ يَفْتَخِرُ بِهِ عَلَيْهِمْ
“Orang berilmu sejati adalah yang memberi manfaat bagi manusia dengan ilmunya, bukan yang berbangga diri di hadapan mereka.”
Inilah esensi ilmu: memberi, bukan memamerkan. Menerangi, bukan membakar. Menuntun, bukan menaklukkan.
Penutup: Cahaya yang Menenangkan, Bukan Api yang Membakar
Ilmu sejatinya adalah cahaya yang menenangkan, bukan api yang membakar. Ia menerangi jalan pencari kebenaran, bukan menyoroti kesalahan orang lain. Ketika ilmu digunakan untuk memuliakan manusia, ia akan mengangkat derajat. Namun, ketika digunakan untuk menjatuhkan, ia menjadi beban yang menyesakkan.
Belajar seharusnya menjadi jalan menuju ketenangan, bukan gelanggang kompetisi. Dalam setiap proses memahami, ada ruang untuk rendah hati. Dalam setiap kata yang diucapkan, ada tanggung jawab kebenaran.
Maka, biarlah ilmu kita tumbuh dengan niat yang lurus — untuk mendekat kepada Allah, memperbaiki diri, dan menebar manfaat. Sebab pada akhirnya, ilmu bukanlah alat untuk memenangkan debat, melainkan untuk memenangkan hati.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
