Khazanah
Beranda » Berita » Sains dan Zikir: Dua Sayap yang Harus Terbang Bersama

Sains dan Zikir: Dua Sayap yang Harus Terbang Bersama

ilustrasi ilmuwan Muslim dengan dua sayap cahaya melambangkan sains dan zikir
Seorang ilmuwan Muslim berdiri di bawah langit malam penuh bintang, satu tangannya memegang kitab, satu lagi menyentuh cahaya

Surau.co Dalam kehidupan modern yang serba cepat dan berpusat pada data, manusia sering kali menatap dunia melalui kacamata sains semata. Ia meneliti, menghitung, dan memverifikasi segala sesuatu melalui rumus dan logika. Namun, di tengah gemerlap teknologi dan kecerdasan buatan, satu hal kerap terlupakan: dimensi ruhani dan kesadaran spiritual. Padahal, dalam Islam, sains dan zikir bukan dua hal yang bertentangan, melainkan dua sayap yang harus terbang bersama agar manusia mampu mencapai keseimbangan sempurna antara akal dan hati.

Dalam Al-Qur’an, Allah ﷻ berfirman:

{إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَاخْتِلَافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لَآيَاتٍ لِأُولِي الْأَلْبَابِ}

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 190)

Ayat ini menegaskan bahwa mengamati alam — inti dari sains — adalah bagian dari perjalanan spiritual. Orang yang berakal tidak hanya berhenti pada pengetahuan rasional, tetapi juga mengaitkannya dengan dzikrullah, kesadaran akan kebesaran Sang Pencipta.

Pendidikan Adab Sebelum Ilmu: Menggali Pesan Tersirat Imam Nawawi

Ilmu yang Mencerahkan dan Zikir yang Menenangkan

Ilmu pengetahuan, dalam Islam, bukanlah sekadar alat untuk mengejar kemajuan material. Ia adalah jalan menuju ma’rifatullah — mengenal Allah melalui tanda-tanda kebesaran-Nya di semesta. Setiap rumus fisika, setiap hukum biologi, dan setiap fenomena kosmik hanyalah cerminan dari keteraturan ilahi. Ketika ilmuwan Muslim memandang mikroskop atau teleskop, ia seharusnya melihat lebih dari sekadar objek materi. Ia sedang menatap jejak Tuhan di balik realitas.

Imam Al-Mawardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

{العلمُ قِوامُ الدينِ والدنيا، فمَن أحسنَ استعمالَهُ نجا، ومن أساءَ فيهِ هلك}

“Ilmu adalah penegak agama dan dunia. Siapa yang menggunakannya dengan baik akan selamat, dan siapa yang menyalahgunakannya akan binasa.”

Kutipan ini memperingatkan kita bahwa ilmu pengetahuan tanpa adab, tanpa arah spiritual, dapat menjadi bumerang. Sains yang lepas dari nilai ilahiah justru menciptakan kesombongan, bukan kebijaksanaan.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Zikir sebagai Penyeimbang Rasionalitas

Sementara itu, zikir hadir sebagai penyeimbang dari kecepatan berpikir yang kadang membuat manusia lupa bernapas. Dalam zikir, seseorang belajar menundukkan ego dan menenangkan gelombang pikirannya. Zikir bukan hanya tentang mengulang nama Allah dengan lisan, tetapi tentang menghadirkan-Nya dalam kesadaran — sebuah latihan mental dan spiritual yang membuat ilmu menjadi cahaya, bukan beban.

Rasulullah ﷺ bersabda:

{مَثَلُ الَّذِي يَذْكُرُ رَبَّهُ وَالَّذِي لَا يَذْكُرُ رَبَّهُ، مَثَلُ الْحَيِّ وَالْمَيِّتِ}

“Perumpamaan orang yang berzikir kepada Tuhannya dengan orang yang tidak berzikir adalah seperti orang hidup dengan orang mati.” (HR. Bukhari)

Zikir menghidupkan hati. Tanpanya, ilmu hanya berputar di kepala, tanpa mengalir ke dalam perilaku dan kasih.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Ketika Sains Lupa Zikir: Krisis Makna di Era Modern

Kita hidup di zaman di mana informasi berlimpah, namun hikmah menipis. Sekolah-sekolah berlomba melahirkan ilmuwan dan insinyur, tetapi lupa menanamkan nilai. Ilmu dipisahkan dari spiritualitas, seolah-olah keduanya saling meniadakan. Hasilnya? Lahir manusia-manusia cerdas, namun mudah cemas; unggul dalam teori, tapi rapuh dalam makna.

Budaya kompetitif dalam dunia akademik pun kadang menjerumuskan. Ilmu menjadi alat pamer, bukan pengabdian. Seorang ilmuwan mungkin tahu banyak, tapi tanpa zikir, ia kehilangan arah. Sains tanpa ruh ibarat burung bersayap satu — ia mungkin bisa melompat, tapi tak akan pernah terbang tinggi.

Dalam konteks ini, kita perlu mengembalikan spiritualitas ke dalam ruang laboratorium, ruang kelas, dan ruang diskusi. Karena belajar adalah ibadah, bukan perlombaan.

Zikir yang Melahirkan Keingintahuan

Zikir sejati bukan hanya di sajadah, tapi juga di laboratorium, di kebun, di observatorium. Setiap kali seorang peneliti menatap bintang dan berkata, “Subhanallah,” ia sedang melakukan dzikir ilmiah. Ia tidak memisahkan pengetahuan dari keimanan, karena baginya setiap penemuan adalah wahana untuk mengagumi Sang Pencipta.

Allah ﷻ berfirman:

{الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللَّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمْ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْض}

“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri, duduk, dan berbaring, serta mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 191)

Ayat ini menggambarkan integrasi indah antara zikir (mengingat Allah) dan tafakkur (berpikir mendalam). Keduanya bukan dua hal terpisah, tapi dua bentuk ibadah yang saling menyempurnakan.

Zikir yang Mengarahkan Ilmu

Zikir tidak menghambat kemajuan ilmu; justru ia menjadi kompas moralnya. Zikir membuat ilmuwan berhenti sejenak dari kesombongan penemuan dan menyadari bahwa di atas segala pengetahuan manusia, masih ada Yang Maha Mengetahui.

Seperti dalam firman Allah:

{وَفَوْقَ كُلِّ ذِي عِلْمٍ عَلِيم}

“Dan di atas setiap orang yang berpengetahuan itu ada yang Maha Mengetahui.” (QS. Yusuf [12]: 76).

Kesadaran ini membentuk karakter ilmuwan yang rendah hati, terbuka, dan tidak menuhankan akalnya sendiri.

Menyatukan Akal dan Hati: Jalan Menuju Kebijaksanaan

Ketika sains berjalan tanpa zikir, ia kehilangan arah; dan ketika zikir dijalankan tanpa ilmu, ia kehilangan kedalaman. Islam mengajarkan keseimbangan. Rasulullah ﷺ adalah contoh terbaik seorang manusia yang berzikir di tengah kerja, berpikir di tengah ibadah. Ia bukan hanya seorang nabi, tapi juga seorang pemikir, organisator, dan pendidik.

Dalam pandangan Imam Al-Mawardi, keseimbangan ini adalah ciri orang beradab:

{ كمالُ الإنسانِ بالعقلِ والدينِ، فمَن فَقَدَ أحدَهُما كان ناقصًا.}

“Kesempurnaan manusia terletak pada akal dan agama. Siapa yang kehilangan salah satunya, maka ia belum sempurna.”

Akal dan agama adalah dua sisi dari satu mata uang kehidupan. Sains memberi kita cara memahami ciptaan, sedangkan zikir memberi kita alasan untuk menghormatinya.

Membangun Peradaban dengan Dua Sayap

Peradaban Islam klasik lahir bukan dari dikotomi antara rasionalitas dan spiritualitas, melainkan dari harmoni keduanya. Al-Khawarizmi, Ibnu Sina, Al-Biruni, dan Al-Farabi — mereka semua adalah ahli sains sekaligus ahli zikir. Mereka memandang ilmu sebagai ibadah. Itulah sebabnya karya mereka abadi, karena ditulis bukan untuk kompetisi, tapi untuk pengabdian.

Kini, tugas kita adalah menghidupkan kembali semangat itu. Di tengah era digital yang bising, kita perlu menanamkan kembali kesadaran bahwa kemajuan teknologi tanpa moralitas akan hampa, dan zikir tanpa pemikiran akan stagnan.

Penutup: Terbanglah dengan Dua Sayap

Sains dan zikir adalah dua sayap kehidupan yang tak boleh dipatahkan. Satu mengangkat manusia ke langit pengetahuan, yang lain menjaga agar ia tidak jatuh dalam kesombongan. Kita harus belajar seperti ilmuwan, tapi bersujud seperti hamba. Kita meneliti dengan akal, tapi juga merenung dengan hati.

Karena sejatinya, menuntut ilmu adalah ibadah, dan berzikir adalah pengetahuan yang hidup. Mari kita jadikan ilmu bukan sekadar alat untuk menang, tetapi jalan untuk mengenal Tuhan. Mari kita jadikan zikir bukan sekadar ritual, tetapi napas yang menghidupkan pengetahuan.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement