Surau.co Hari ini, menuntut ilmu sering kali tampak seperti perlombaan. Nilai, ranking, sertifikat, dan gelar menjadi tolok ukur keberhasilan. Banyak yang belajar bukan lagi untuk memahami, tapi untuk menang. Di ruang-ruang kelas dan dunia digital, semangat mencari ilmu kadang berubah menjadi ajang unjuk prestasi.
Padahal, dalam pandangan Islam, menuntut ilmu itu ibadah, bukan kompetisi. Ia adalah perjalanan spiritual, bukan sekadar upaya intelektual. Ibadah karena dilakukan dengan niat mendekat kepada Allah, bukan untuk mengalahkan orang lain. Ketika belajar dipersempit menjadi lomba, maknanya menjadi dangkal. Namun ketika ia dimaknai sebagai ibadah, setiap huruf yang dipelajari menjadi cahaya yang menuntun hidup.
Belajar dengan Niat yang Benar
Dalam Islam, niat menjadi fondasi utama setiap amal. Rasulullah ﷺ bersabda:
{ إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى }
“Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya, dan setiap orang akan mendapatkan sesuai dengan apa yang ia niatkan.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Menuntut ilmu pun demikian. Jika niatnya untuk mencari ridha Allah, maka proses belajar menjadi ibadah yang berpahala. Namun jika niatnya hanya untuk kebanggaan, kekuasaan, atau sekadar menyaingi orang lain, maka ilmu itu kehilangan nilai ruhaniahnya.
Sayangnya, dalam budaya modern yang kompetitif, niat sering terpinggirkan. Kita berlomba-lomba menjadi “yang terbaik” bukan karena cinta ilmu, tetapi karena takut tertinggal. Padahal, ilmu sejati bukan tentang siapa yang lebih dulu tahu, tapi siapa yang lebih ikhlas memahami.
Menuntut Ilmu sebagai Jalan Menuju Allah
Dalam Al-Qur’an, Allah meninggikan derajat orang berilmu dengan jelas:
{ يَرْفَعِ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنكُمْ وَالَّذِينَ أُوتُوا الْعِلْمَ دَرَجَاتٍ }
“Allah akan meninggikan derajat orang-orang yang beriman di antara kamu dan orang-orang yang diberi ilmu beberapa derajat.” (QS. Al-Mujadilah: 11)
Ayat ini menunjukkan bahwa ilmu adalah jalan menuju derajat yang tinggi di sisi Allah. Tetapi derajat itu tidak diberikan hanya karena kecerdasan, melainkan karena keimanan dan keikhlasan dalam menuntut ilmu.
Imam Al-Māwardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
{ العلم عبادة بالنية لا بالرياء }
“Ilmu adalah ibadah karena niatnya, bukan karena riya (pamer).”
Kalimat ini mengingatkan bahwa belajar dengan niat yang lurus lebih berharga daripada belajar dengan semangat pamer. Maka, menuntut ilmu sejatinya adalah latihan untuk memurnikan hati—bukan sekadar mengasah logika, tapi juga membersihkan jiwa.
Bahaya Menjadikan Ilmu Sebagai Ajang Kompetisi
Ketika ilmu dijadikan alat kompetisi, yang tumbuh bukanlah kebijaksanaan, tetapi kesombongan. Orang yang belajar hanya untuk mengalahkan orang lain akan kehilangan makna hakiki dari pengetahuan itu sendiri.
Ilmu tanpa keikhlasan hanya melahirkan ego. Seorang pelajar yang haus pujian tidak akan tenang dalam proses belajar, karena yang ia cari bukan kebenaran, melainkan pengakuan. Dalam hadits, Rasulullah ﷺ mengingatkan bahaya ini:
{ مَنْ تَعَلَّمَ عِلْمًا لِيُبَاهِيَ بِهِ الْعُلَمَاءَ أَوْ يُمَارِيَ بِهِ السُّفَهَاءَ أَوْ يَصْرِفَ وُجُوهَ النَّاسِ إِلَيْهِ أَدْخَلَهُ اللَّهُ النَّارَ }
“Barang siapa mempelajari ilmu untuk menyombongkan diri di hadapan ulama, memperdebatkan orang bodoh, atau menarik perhatian manusia, maka Allah akan memasukkannya ke dalam neraka.” (HR. Tirmidzi).
Hadits ini keras, tapi jujur. Ia menegaskan bahwa orientasi belajar bukanlah untuk bersaing dalam gengsi, tapi untuk mendekat kepada kebenaran. Belajar tanpa adab dan niat ibadah bisa menjadi racun yang mematikan jiwa.
Ilmu yang Berkah Tumbuh dari Kerendahan Hati
Ilmu yang berkah selalu lahir dari kerendahan hati. Orang yang rendah hati dalam belajar akan terus merasa haus akan pengetahuan. Ia tidak membandingkan dirinya dengan orang lain, tetapi dengan dirinya sendiri kemarin.
Kerendahan hati membuat seseorang menghargai proses. Ia tidak tergesa untuk terlihat pintar, melainkan sabar dalam memahami. Imam Al-Māwardi menerangkan:
{من تواضع للعلم رفعه الله به }
“Barang siapa merendahkan diri di hadapan ilmu, maka Allah akan meninggikannya dengan ilmu itu.”l
Kata “merendahkan diri” di sini bukan berarti minder, melainkan sikap menerima bahwa ilmu tidak bisa ditaklukkan dengan kesombongan. Ilmu hanya bisa didekati dengan hati yang tunduk.
Di era sekarang, di mana setiap orang bisa tampil sebagai “pakar” dalam hitungan menit di media sosial, sikap rendah hati dalam ilmu menjadi langka. Padahal, semakin tinggi ilmu seseorang, semakin dalam seharusnya rasa tawadhu’-nya.
Belajar Sebagai Amal yang Terus Mengalir
Salah satu keindahan dari menuntut ilmu dengan niat ibadah adalah pahala yang terus mengalir. Rasulullah ﷺ bersabda:
{ إِذَا مَاتَ الْإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَنْهُ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ }
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Ilmu yang dipelajari dengan niat ibadah bukan hanya memberi manfaat bagi diri sendiri, tetapi juga menjadi amal jariyah yang abadi. Setiap kali ilmu itu diamalkan atau diajarkan kepada orang lain, pahala terus mengalir bahkan setelah kita tiada.
Oleh karena itu, belajar bukan sekadar kegiatan duniawi, tapi juga investasi akhirat. Setiap halaman yang dibaca, setiap makna yang dipahami, setiap kebaikan yang diajarkan—semuanya dicatat sebagai ibadah yang tak pernah berhenti.
Mengembalikan Ruh Ibadah dalam Dunia Pendidikan
Dunia pendidikan modern sering kali menilai keberhasilan dari angka, bukan akhlak. Namun dalam pandangan Islam, keberhasilan sejati adalah ketika ilmu membawa manusia semakin dekat kepada Allah.
Menuntut ilmu bukan tentang memenangkan perlombaan akademik, tapi memenangkan perjuangan batin. Ia menuntut kejujuran, kerendahan hati, dan kesabaran. Seorang murid yang belajar dengan niat ikhlas, meskipun hasilnya kecil di mata dunia, sesungguhnya telah menang di mata Allah.
Kita perlu mengembalikan ruh ibadah dalam belajar. Para guru perlu menanamkan nilai bahwa ilmu bukan untuk bermegah-megahan, dan para pelajar perlu menyadari bahwa keberkahan ilmu lahir dari adab dan keikhlasan, bukan dari pujian dan pengakuan.
Menuntut Ilmu dengan Ikhlas di Era Digital
Era digital membawa kemudahan luar biasa dalam akses ilmu. Namun di saat yang sama, ia juga menghadirkan godaan untuk menjadikan ilmu sebagai ajang eksistensi. Banyak yang belajar hanya agar terlihat pintar di dunia maya, bukan agar tercerahkan di dunia nyata.
Menuntut ilmu dengan ikhlas di era ini berarti belajar dengan kesadaran bahwa Allah Maha Melihat. Ia berarti menahan diri dari riya, dan menjadikan ilmu sebagai sarana kebaikan, bukan kebanggaan.
Belajar bukan untuk viral, bukan untuk validasi, tapi untuk kebermanfaatan. Karena yang paling mulia di sisi Allah bukan yang paling banyak tahu, tetapi yang paling bermanfaat bagi sesama.
{خَيْرُ النَّاسِ أَنْفَعُهُمْ لِلنَّاس }
“Sebaik-baik manusia adalah yang paling bermanfaat bagi manusia lain.” (HR. Ahmad)
Penutup: Ilmu yang Menyucikan Jiwa
Menuntut ilmu itu ibadah, bukan kompetisi. Ia adalah perjalanan batin untuk mengenal diri dan mengenal Tuhan. Ketika belajar dilakukan dengan hati yang tulus, setiap pengetahuan menjadi cahaya yang menyucikan jiwa.
Dalam ibadah, yang dinilai bukan kecepatan, tapi keikhlasan. Dalam menuntut ilmu pun demikian—yang berharga bukan seberapa banyak yang diketahui, tapi seberapa dalam ia mengubah diri.
Ilmu yang diberkahi bukan yang membuat kita sombong, tetapi yang membuat kita semakin tunduk. Maka berjalanlah pelan, belajarlah dengan tenang, dan niatkan semuanya untuk Allah. Sebab ilmu sejati bukan tentang siapa yang paling tinggi, tapi siapa yang paling ikhlas.
- Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
