Surau.co. Zaman kini berjalan secepat kedipan mata. Setiap orang berlomba menjadi yang tercepat—cepat sukses, cepat terkenal, cepat kaya, cepat paham. Dunia seolah tidak memberi ruang bagi proses yang perlahan. Di tengah derasnya arus kecepatan ini, banyak yang lupa bahwa belajar pelan, tapi pasti justru merupakan jalan yang paling kokoh.
Kita hidup dalam era budaya instan, di mana kesabaran dianggap kuno, dan proses dianggap hambatan. Namun sejatinya, ilmu tidak tumbuh dalam kecepatan, melainkan dalam ketekunan. Dalam Al-Qur’an, Allah menegaskan pentingnya bertahap dalam memahami dan menjalani kehidupan:
وَقُرْآنًا فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَىٰ مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ تَنْزِيلًا
“Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar engkau membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi bagian.” (QS. Al-Isra: 106)
Ayat ini menegaskan bahwa bahkan wahyu Ilahi pun tidak turun sekaligus. Ia turun perlahan agar hati manusia siap menerimanya. Begitulah juga dengan ilmu dan kehidupan—segala yang berharga membutuhkan waktu.
Budaya Instan dan Ilusi Kecepatan
Budaya instan membuat banyak orang ingin hasil tanpa usaha, ingin mengerti tanpa belajar, ingin berubah tanpa proses. Kita terjebak dalam logika “sebentar” — ingin pandai dalam sehari, ingin hafal dalam sejam, ingin berhasil dalam sekejap.
Namun, segala yang tumbuh cepat sering pula layu cepat. Ilmu yang didapat secara tergesa hanya menempel di kepala, tidak masuk ke hati. Dalam dunia pendidikan, fenomena ini terlihat jelas: murid ingin nilai tinggi tanpa memahami makna, ingin gelar tanpa perjuangan.
Imam Al-Māwardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:
مَنِ اسْتَعْجَلَ الشَّيْءَ قَبْلَ أَوَانِهِ عُوقِبَ بِحِرْمَانِهِ
“Barang siapa tergesa-gesa menginginkan sesuatu sebelum waktunya, maka ia akan dihukum dengan tidak mendapatkannya.”
Kata “dihukum” di sini bermakna simbolis: orang yang terburu-buru dalam mencari ilmu kehilangan keberkahan proses. Ia mungkin mendapat pengetahuan, tapi kehilangan kedalaman.
Belajar Adalah Proses, Bukan Perlombaan
Belajar bukan tentang siapa yang tercepat, tapi siapa yang paling sabar. Ilmu tidak bisa diserbu; ia harus dijemput dengan kerendahan hati dan ketekunan. Seseorang yang belajar dengan tergesa hanya mengisi pikirannya, tapi yang belajar dengan sabar akan menumbuhkan kebijaksanaan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
التأنِّي من الله والعجلة من الشيطان
“Ketenangan dan kehati-hatian berasal dari Allah, sedangkan tergesa-gesa berasal dari setan.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menegaskan bahwa tergesa-gesa bukan hanya masalah sikap, tetapi juga cermin spiritual. Dalam belajar, ketenangan adalah kunci agar ilmu benar-benar masuk ke dalam diri.
Belajar pelan berarti memberi ruang bagi pemahaman untuk berakar. Ia bukan tanda kelemahan, tapi bukti kesungguhan. Karena sesungguhnya, yang pelan tapi pasti selalu sampai lebih jauh daripada yang cepat tapi goyah.
Belajar dari Alam: Semua yang Bernilai Tumbuh Perlahan
Alam semesta memberi pelajaran tentang kesabaran. Lihatlah bagaimana pohon tumbuh: dari biji kecil, ia menembus tanah, lalu tumbuh sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi rindang. Tidak ada yang instan dalam keindahan ciptaan Tuhan.
Begitu pula ilmu. Ia tumbuh perlahan dalam hati yang sabar. Bahkan Nabi Muhammad ﷺ sendiri menerima wahyu selama 23 tahun—bukan seketika. Karena kebenaran butuh waktu untuk dipahami, dan kebijaksanaan butuh waktu untuk dihayati.
Budaya instan menolak ritme alamiah ini. Ia menuntut hasil segera tanpa memahami prosesnya. Padahal, proses adalah bagian dari takdir yang mengasah manusia menjadi matang. Tanpa kesabaran, seseorang hanya menjadi penikmat hasil, bukan pencipta makna.
Kesabaran Sebagai Jalan Kecerdasan
Banyak orang mengira bahwa kecerdasan adalah soal kecepatan berpikir. Padahal, kecerdasan sejati justru terletak pada kemampuan menahan diri, merenung, dan memahami makna di balik pengetahuan.
Orang yang belajar dengan sabar akan menemukan kejelasan dalam kebingungan. Ia mampu melihat pola di balik kekacauan. Sebaliknya, orang yang tergesa akan kehilangan arah di tengah ketergesaan sendiri.
Imam Al-Māwardi menerangkan dalam kitabnya:
من داوم على القليل نال الكثير
“Barangsiapa yang terus-menerus melakukan sedikit demi sedikit, maka ia akan memperoleh banyak.”
Kalimat ini sederhana tapi dalam. Ia menggambarkan rahasia kemajuan sejati: konsistensi. Dalam belajar, satu halaman yang dibaca dengan pemahaman lebih berharga daripada seratus halaman yang dibaca terburu-buru.
Melawan Budaya Instan: Mengembalikan Makna Proses
Melawan budaya instan bukan berarti menolak kemajuan. Ini bukan tentang kembali ke masa lalu, tapi tentang menegakkan kembali nilai proses di tengah derasnya arus hasil cepat.
Kita perlu belajar untuk menikmati pelan-pelan. Belajar dengan hati, bukan dengan ego. Proses yang lambat sering kali memberi ruang untuk berpikir, merenung, dan memperbaiki kesalahan. Di situlah ilmu menjadi bagian dari diri, bukan sekadar tumpukan informasi.
Dalam dunia pendidikan modern, penting untuk menanamkan kembali nilai ini. Guru bukan hanya mentransfer pengetahuan, tapi menanamkan kesabaran. Murid bukan hanya penghafal, tapi penempuh jalan panjang menuju hikmah.
Belajar Pelan, Tapi Mengakar
Ada pepatah Arab yang berbunyi:
العجلة أم الندامة
“Tergesa-gesa adalah ibu dari penyesalan.”
Orang yang belajar dengan terburu-buru sering menyesal karena tak benar-benar memahami apa yang ia pelajari. Namun mereka yang berjalan perlahan, justru membangun fondasi yang kokoh.
Ilmu yang tumbuh pelan akan bertahan lama. Ia tidak sekadar dihafal, tapi diresapi. Ilmu seperti itu akan membentuk karakter, bukan sekadar kemampuan.
Belajar pelan bukan berarti malas. Ia justru menuntut kesabaran yang luar biasa. Sebab, menahan diri dari keinginan instan jauh lebih sulit daripada berlari tanpa arah.
Refleksi Spiritual: Hikmah di Balik Perlahan
Kesabaran adalah bagian dari iman. Dalam Al-Qur’an, Allah berulang kali memuji orang-orang yang sabar. Salah satunya dalam firman-Nya:
إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
“Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar.” (QS. Al-Baqarah: 153)
Ayat ini bukan hanya motivasi, tetapi juga prinsip hidup. Allah tidak menjanjikan kecepatan, tapi kebersamaan bagi mereka yang sabar. Maka, belajar perlahan bukan tanda keterlambatan, tetapi tanda kedekatan dengan kehendak Allah.
Belajar dengan sabar berarti percaya pada waktu Tuhan. Setiap halaman yang dipahami dengan niat baik adalah ibadah. Setiap kesulitan yang dilalui dengan ketenangan adalah ujian yang mematangkan jiwa.
Menumbuhkan Budaya Tumbuh, Bukan Budaya Cepat
Kita perlu membangun kembali budaya tumbuh—budaya yang menghargai proses, menghormati waktu, dan memuliakan usaha. Dalam budaya tumbuh, gagal bukan aib, tapi bagian dari perjalanan.
Sekolah, universitas, bahkan ruang kerja perlu menanamkan nilai bahwa hasil besar lahir dari langkah kecil yang dilakukan terus-menerus. Bahwa kesuksesan bukan soal cepat, tapi soal istiqamah.
Budaya instan akan mencetak generasi lelah; budaya tumbuh akan melahirkan generasi tangguh. Maka, melawan budaya instan berarti memerdekakan diri dari tekanan dunia yang selalu berteriak “sekarang!”.
Penutup: Menyemai Kesabaran di Ladang Ilmu
Belajar pelan, tapi pasti adalah bentuk ibadah yang halus. Ia mengajarkan kerendahan hati, kesabaran, dan ketulusan. Dalam setiap langkah pelan, ada kebijaksanaan yang tumbuh diam-diam.
Hidup ini bukan perlombaan untuk cepat sampai, tapi perjalanan untuk memahami makna. Bukan siapa yang tiba duluan, tapi siapa yang benar-benar memahami arah. Maka berjalanlah perlahan, tapi dengan hati yang penuh keyakinan.
Karena setiap langkah yang sabar akan sampai, dan setiap proses yang tulus akan berbuah. Seperti benih yang disiram perlahan—tumbuhnya mungkin lama, tapi buahnya manis dan meneduhkan.
*Gerwin Satria N
Pegiat literasi Iqro’ University Blitar
Eksplorasi konten lain dari Surau.co
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.
