Khazanah
Beranda » Berita » Guru Itu Bukan Google: Menemukan Kembali Makna Pendidikan yang Manusiawi

Guru Itu Bukan Google: Menemukan Kembali Makna Pendidikan yang Manusiawi

ilustrasi guru mengajar dengan cahaya lembut, simbol guru bukan mesin pencari, kehangatan manusiawi dalam belajar
seorang guru duduk di ruang kelas sederhana dengan cahaya matahari masuk dari jendela. Di tangannya ada buku terbuka, sementara di depannya murid-murid belajar dengan penuh perhatian. Di luar jendela tampak layar digital besar yang penuh data, kontras dengan kehangatan di dalam ruangan.

Surau.co. Zaman kini menjadikan informasi lebih mudah diakses daripada udara segar. Cukup ketik satu kata di kotak pencarian, ribuan jawaban muncul dalam hitungan detik. Namun di tengah kemudahan itu, ada sesuatu yang perlahan hilang: makna belajar yang manusiawi. Kita kerap lupa bahwa guru itu bukan Google. Mesin bisa menjawab, tapi hanya manusia yang bisa membimbing.

Ilmu bukan sekadar data, melainkan cahaya yang menuntun hati. Dalam tradisi Islam, seorang guru bukan hanya pemberi informasi, tetapi juga penunjuk jalan menuju hikmah. Allah SWT berfirman:

هُوَ الَّذِي بَعَثَ فِي الْأُمِّيِّينَ رَسُولًا مِّنْهُمْ يَتْلُوا عَلَيْهِمْ آيَاتِهِ وَيُزَكِّيهِمْ وَيُعَلِّمُهُمُ الْكِتَابَ وَالْحِكْمَةَ
“Dialah yang mengutus kepada kaum yang buta huruf seorang Rasul di antara mereka, yang membacakan ayat-ayat-Nya kepada mereka, menyucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Kitab dan Hikmah.” (QS. Al-Jumu‘ah: 2)

Ayat ini menunjukkan bahwa pendidikan sejati tidak berhenti pada “mengajarkan kitab”, tetapi juga “menyucikan jiwa”. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang hidup, bukan oleh algoritma.

Antara Data dan Didikan: Mengapa Google Tak Bisa Menjadi Guru

Google bisa memberi jawaban tentang apa saja, dari sejarah hingga resep makanan. Tetapi Google tidak bisa membaca wajah murid yang kebingungan, tidak bisa merasakan semangat yang pudar, dan tidak bisa menenangkan jiwa yang gelisah. Itulah sebabnya guru tidak bisa digantikan oleh mesin pencari.

Tips Bisnis Berkah: Cara Efektif Menghindari Syubhat dalam Transaksi Modern

Seorang guru mengajar dengan empati. Ia melihat bukan hanya isi kepala murid, tetapi juga isi hatinya. Di tangan guru, ilmu menjadi hidup karena disampaikan dengan kasih. Dalam dunia digital, kita menemukan jawaban, tapi tidak menemukan makna.

Imam Al-Māwardi dalam Adāb ad-Dunyā wa ad-Dīn menerangkan:

العلمُ حياةُ القلوبِ من الجهلِ، ونورُ الأبصارِ من الظلمةِ
“Ilmu adalah kehidupan bagi hati dari kebodohan, dan cahaya bagi penglihatan dari kegelapan.”

Namun cahaya itu, kata beliau, hanya bisa menyala bila disampaikan oleh orang yang berilmu dengan adab dan keikhlasan. Maka guru bukan hanya sumber informasi, tapi juga sumber keteladanan yang menghidupkan ilmu.

Guru Menanam, Mesin Menyebar

Google menyebar informasi, tetapi guru menanam pemahaman. Informasi bisa ditemukan di mana saja, tetapi pemahaman hanya tumbuh lewat bimbingan. Itulah mengapa seorang murid membutuhkan guru sebagaimana bumi membutuhkan hujan.

Romantisme Rumah Tangga Rosululloh SAW

Seorang guru menuntun murid melewati kebingungan, bukan sekadar memberi jawaban. Ia tahu kapan harus mendorong, kapan harus mendengarkan. Ia menanam nilai kesabaran, kejujuran, dan cinta ilmu—hal-hal yang tidak bisa diunduh atau disalin.

Di era digital, banyak yang mengira belajar cukup dengan menonton video atau membaca artikel. Padahal, ilmu tanpa guru ibarat pohon tanpa akar—mudah roboh saat diterpa ujian. Rasulullah ﷺ bersabda:

من سلك طريقا يلتمس فيه علما سهل الله له به طريقا إلى الجنة
“Barangsiapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (HR. Muslim)

Hadits ini menegaskan bahwa jalan ilmu adalah perjalanan, bukan unduhan. Dan perjalanan itu membutuhkan penuntun: seorang guru.

Nilai yang Hilang Saat Guru Direduksi Menjadi Mesin

Banyak orang hari ini lebih menghargai jawaban cepat daripada proses mendalam. Mereka ingin hasil instan tanpa bimbingan. Akibatnya, pendidikan kehilangan ruhnya. Guru dianggap tak lebih dari penyampai materi, padahal sejatinya ia adalah penjaga peradaban.

Sikap yang Benar Terhadap Musibah

Guru sejati tidak sekadar mengajar apa yang harus dipelajari, tetapi juga mengapa harus belajar. Ia membentuk karakter, bukan hanya kemampuan. Di tangan guru, ilmu menjadi alat pembentuk akhlak. Sedangkan di tangan mesin, ilmu hanya menjadi data tanpa jiwa.

Imam Al-Māwardi mengingatkan dalam kitab yang sama:

من لم يعرف قدر العلماء فهو إلى الجهل أقرب
“Barangsiapa tidak mengenal kedudukan para ulama, maka ia lebih dekat kepada kebodohan.”

Kehormatan guru bukan karena pengetahuannya semata, tetapi karena perannya sebagai pembimbing moral. Ketika murid tidak lagi menghormati guru, sesungguhnya yang hilang bukan sekadar adab, tapi arah hidup.

Guru dan Sentuhan Kemanusiaan yang Tak Tergantikan

Di balik setiap ilmu yang kita pahami, ada wajah-wajah sabar yang pernah menjelaskan berulang kali tanpa lelah. Ada tangan yang menuntun, dan hati yang mendoakan. Itulah keajaiban seorang guru: ia memberi tanpa kehilangan, ia mendidik tanpa menghakimi.

Guru bukan sekadar menjawab pertanyaan, tapi mengajarkan cara bertanya dengan benar. Ia tidak memberi semua jawaban, tetapi menuntun murid agar bisa menemukan kebenaran dengan hati yang jernih.

Mesin pencari tidak memiliki hati. Ia tidak tahu bagaimana menumbuhkan keberanian murid yang ragu, tidak paham makna air mata di mata seorang yang gagal. Guru, dengan kebijaksanaannya, tahu bahwa setiap murid butuh pendekatan berbeda.

Menghidupkan Kembali Adab: Murid yang Cerdas dan Rendah Hati

Belajar dari guru juga berarti belajar tentang adab. Dalam Islam, adab bahkan lebih utama daripada ilmu. Dulu para ulama tidak hanya mencari guru yang berilmu, tetapi juga yang berakhlak mulia. Mereka rela menempuh perjalanan jauh untuk duduk di bawah bimbingan seorang guru, bukan sekadar membaca karyanya.

Rasulullah ﷺ bersabda:

ليس منا من لم يرحم صغيرنا، ويوقر كبيرنا، ويعرف لعالمنا حقه
“Bukan termasuk golongan kami orang yang tidak menyayangi yang muda, tidak menghormati yang tua, dan tidak mengenal hak orang berilmu di antara kami.” (HR. Ahmad)

Hadits ini menegaskan bahwa menghormati guru adalah bagian dari iman. Sebab, di balik guru ada barakah. Ilmu yang disampaikan dengan adab akan tumbuh menjadi hikmah. Tapi ilmu yang dicari tanpa penghormatan, akan hilang bersama ego.

Di sinilah perbedaan besar antara belajar dari Google dan belajar dari guru. Yang pertama hanya menambah tahu, yang kedua menumbuhkan jiwa.

Teknologi Sebagai Alat, Bukan Pengganti

Bukan berarti teknologi harus ditolak. Ia bisa menjadi sahabat yang baik bila digunakan dengan bijak. Namun, teknologi seharusnya menjadi alat bantu guru, bukan pengganti guru. Karena yang diajarkan guru bukan hanya “apa yang benar”, tapi juga “bagaimana menjadi benar”.

Seorang guru bisa menggunakan teknologi untuk memperkaya cara mengajar, tetapi tidak pernah menyerahkan peran membimbing kepada algoritma. Sebab, algoritma tidak mengenal cinta, sedangkan pendidikan sejati tumbuh dari cinta.

Pendidikan yang sejati memerlukan sentuhan manusia. Karena hanya manusia yang bisa menyentuh hati, mengilhami perubahan, dan menyalakan semangat. Google dapat menyalakan layar, tapi hanya guru yang dapat menyalakan nurani.

Mendidik dengan Cinta: Warisan Abadi Seorang Guru

Guru adalah pelita yang menerangi jalan murid. Bahkan setelah ia tiada, sinarnya tetap hidup melalui ilmu yang diamalkan. Rasulullah ﷺ bersabda:

إذا مات ابن آدم انقطع عمله إلا من ثلاث: صدقة جارية، أو علم ينتفع به، أو ولد صالح يدعو له
“Apabila anak Adam meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim)

Ilmu yang bermanfaat tidak lahir dari mesin, tapi dari hati yang tulus mengajar. Guru yang mendidik dengan cinta akan meninggalkan warisan abadi yang tak lekang oleh waktu. Maka menghormati guru bukan hanya bentuk kesopanan, tetapi juga bentuk rasa syukur. Sebab, di tangan mereka lahir generasi yang berpikir, berakhlak, dan beradab.

Penutup: Kembali Menjadi Murid yang Tulus

Guru itu bukan Google bukan kritik terhadap teknologi. Tetapi panggilan untuk kembali pada hakikat belajar. Belajar bukan hanya mencari jawaban, tetapi mencari makna. Guru mengajarkan kita untuk memahami, bukan sekadar mengetahui.

Di dunia yang semakin bising oleh informasi, kehadiran guru adalah keheningan yang meneduhkan. Ia menyalakan lentera di hati, bukan sekadar menyalakan layar di tangan. Maka, selama dunia masih membutuhkan budi, selama manusia masih mencari arah, guru akan selalu lebih berharga daripada Google.

*Gerwin Satria N

Pegiat literasi Iqro’ University Blitar


Eksplorasi konten lain dari Surau.co

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.

× Advertisement
× Advertisement